Oleh: Ukhiya Rana
(Member Pena Muslimah Cilacap)
Membahas perihal dinamika politik di Provinsi Banten, selalu tidak lepas dari keluarga mantan Gubernur, Ratu Atut Chosiyah. Pada Pilkada serentak 2020, calon kepala daerah yang berasal dari keluarga Ratu Atut bakal bisa dipastikan menyapu kemenangan di tiga daerah, Kabupaten Serang, Kabupaten Pandeglang, dan Kota Tangerang Selatan.
Pengamat politik dari Untirta, Leo Agustino, mengatakan bahwa dinasti politik bukan lagi istilah yang negatif dalam kontestasi politik. Aktivis anti korupsi, Ade Irawan, menggaris bawahi dua aspek penting mengenai dinasti politik. Pertama, harus adanya pengawalan ketat selama periode pemerintahan. Tujuannya adalah agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan. Kedua, harus adanya transparasi dari kepala daerah, termasuk keterbukaan publik mengenai perusahaan yang dimiliki.
“Bagusnya kalau ada inisiatif dari mereka. Misalnya mereka ada deklarasi konflik kepentingan, mereka deklarasikan perusahaan mereka apa saja. Jadi, ketika ada tender orang lain bisa aware dan dipastikan tidak ada intervensi yang membuat persaingan tidak sehat. Bagusnya seperti itu. Dibuat transparan, APBD, proses pengadaan barang dan jasa. Sehingga mereka bisa buktikan ke publik bahwa dinasti ini ujungnya bukan untuk mengambil uang rakyat,” terang Ade. (merdeka.com, 12/12/2020)
Kemenangan keluarga petahana dalam kontestasi Pilkada serempak 2020 semakin menegaskan bahwa demokrasi tidak mampu melepaskan diri dari politik dinasti. Bukan kali ini saja politik dinasti terjadi pada keluarga sang mantan Gubernur Banten, yang memang telah identik dengan dinasti politiknya. Namun jauh sebelum dinasti politik Ratu Atut, politik dinasti tersukses sepanjang sejarah Amerika Serikat telah lama terjadi. Yaitu, dinasti politik keluarga Bush. Yang menghasilkan dua Presiden (George H.W. Bush dan George W. Bush), satu Gubernur Texas ( George W. Bush), satu Gubernur Florida (Jeb Bush), satu Direktur CIA (George H.W. Bush), dan satu Senator A.S dari Connecticut (Prescott Bush). Selain itu semua, ada pejabat penting seperti Perwakilan A.S, Banker, dan Industrialis yang berasal dari keluarga Bush.
Di Indonesia sendiri—yang memaksakan dirinya sebagai negara demokrasi—politik dinasti telah tumbuh subur dan menjamur. Dan ini merupakan salah satu hasil mutlak dari sistem demokrasi yang diterapkan. Sebab, demokrasi lah yang memastikan bahwa pemenang adalah dia yang mendapatkan suara terbanyak. Dan suara terbanyak ini memerlukan dukungan kekuatan finansial sebuah dinasti. Sehingga berakibat pada pengerukan sumber pembiayaan politik dengan memanfaatkan nepotisme melalui pembusukan sistem pembiayaan atau korupsi.
Politik dinasti yang telah banyak terjadi saat ini, justru banyak pengamat yang memandang bahwa politik dinasti merupakan ancaman bagi demokrasi. Sebab, politik dinasti akan mengebiri peran masyarakat dalam memilih dan menentukan pemimpin karena yang menjadi kandidat dalam pemilihan telah diskenario. Serta tidak lagi memandang kualitas sang calon, sebab modal lah yang menentukan kemenangan. Dimana yang bermodal kuat akan mengalahkan calon yang bermodal lemah. Walhasil, maraknya politik dinasti saat ini ibarat ‘duri dalam daging’ di dalam tubuh demokrasi. Dan upaya untuk mempertahankan kedudukan melalui politik dinasti ini akan menjadi akhir dari perjalanan demokrasi.
Sistem demokrasi, dengan slogannya ‘Kedaulatan Ada di Tangan Rakyat’ faktanya hanya ilusi. Menimbang maraknya politik dinasti yang justru jauh dari cerminan negara yang demokratis. Sebab kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat, melainkan di tangan kaum kapitalis dan para pemilik kursi (penguasa). Rakyat hanya akan dibutuhkan di saat pengumpulan suara sebagai formalitas belaka. Sebab, yang menentukan hasil adalah ‘modal’.
Sehingga tidak ada jaminan bagi orang-orang yang terpilih dapat mewakili ratusan juta rakyat. Padahal, sistem demokrasi mengharuskan adanya keterwakilan rakyat untuk menjalankan roda pemerintahan. Ini diungkapkan oleh J. Kristiadi, peneliti senior Centre for Strategic of International Studies (CSIS), bahwa demokrasi ternyata sudah cacat sejak lahir.
Kecacatan sistem demokrasi memanglah sesuatu yang wajar. Sebab, demokrasi merupakan sistem buatan manusia yang serba terbatas. Sehingga buah dari penerapan sistem ini pun tidak akan sempurna. Demokrasi yang dibangun di atas asas sekularisme—yaitu pemisahan agama dari kehidupan—hanya menjadikan manfaat sebagai tolok ukur untuk membuat aturan yang akan diterapkan. Termasuk memilih pemimpin yang akan melanggengkan ‘kemanfaatannya’. Jadi, politik dinasti akan tumbuh subur dalam sistem ini. Meskipun akan menjadi ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Walhasil, satu-satunya cara untuk menyingkirkan politik dinasti di negeri ini adalah dengan menyingkirkan sumber kemunculannya, yaitu sistem demokrasi. Lalu menggantikannya dengan sistem Islam.
Sistem Islam sangat berbeda dengan demokrasi. Kekuasaan tertinggi bukan lagi di tangan rakyat melainkan di tangan syara’. Islam telah menetapkan bahwa syari’at yang bersumber dari Allah swt. sebagai aturan yang wajib dijalankan oleh penguasa yang dipilih rakyatnya. Dan menjadikan syari’at sebagai satu-satu nya sumber hukum.
“Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Alquran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi Keputusan yang paling baik.” (TQS. al-An’am: 57)
Wallahu a’lam bish-showab.