Politik Dinasti Mengancam Demokrasi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Shafiyah Imarah (Pegiat Literasi Pena Langit)

Dinasti politik dimaknai sebagai kekuasaan yang secara turun temurun dilakukan dalam kelompok keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. Tujuannya untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Dalam demokrasi yang menjaga kedaulatan rakyat, justru oligarki politik mulus bagai jalan tol bagi pemegang kekuasaan hari ini.

Dikutip dari kompas.com tampak Presiden Joko Widodo tengah berupaya membangun dinasti politik. Hal itu terlihat dari langkah putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang maju dalam pemilihan wali kota Solo 2020. Selain Gibran, Bobby Nasution menantu Jokowi juga berupaya mendapatkan dukungan parpol untuk maju di pemilihan wali kota Medan 2020.

Penguasa memiliki kekuatan besar mengendalikan pemerintahannya mulai dari birokrasi, hukum, keuangan, kekuasaan dan lain lain. Meloloskan anak dan menantu Jokowi tentu bukan hal yang sulit, jika pemilu itu bukan persoalan memilih tapi persoalan menghitung. Menghitung disini bukan rakyat tapi panitia pemilu yang tidak sepenuhnya orang yang jujur dan adil. Maka manipulasi suara bisa terjadi.

Politik dinasti menjadi menjadi isu tersendiri dalam percaturan perpolitikan di Negeri ini. Majunya Gibran menjadi sorotan, begitu juga Siti Azizah putri KH. Ma’ruf Amin maju dipilkada desember 2020 nanti. Rocky Gerung dalam forum diskusi dan dialog kebangsaan menyampaikan bahwa cara lain menjelaskan demokrasi saat ini tentu namanya bukan lagi oligarki atau demokrasi. Lebih tepatnya disebut Bapakkrasi kekuasaan, bapak yang bisa transaksi, tukar tambah.

Sedang yang berbahaya dalam bapak krasi adalah yang naik indeks feodalisme dan itu yang terjadi di semua lokasi politik kita hari ini. Kita seolah memperoleh kelengkapan variabel tentang buruknya demokrasi. Telah dicontohkan di Solo, tentang rapuhnya institusi hukum oleh Djoko Candra. Tentang gugupnya media massa yang dicontohkan pemimpin-pemimpinnya. Pembusukan politik berlangsung hari ini dan inilah the beginning of end bermulanya sebuah akhir dari keadaan.

Benarkah Demokrasi telah mati?

J. Kristiadi, Penulis Senior for Strategic of International Studies (CSIS) mengungkapkan bahwa demokrasi memang cacat sejak lahir. Kedaulatan ada ditangan rakyat mengebiri hukum Tuhan yang menciptakan manusia. Demokrasi juga telah bertindak lancang menghukumi dengan keterbatasan dan kelemahannya. Kekuasaan dijadikan alat meraup keuntungan bagi golongannya sementara rakyat diperas tanpa nurani juga tak manusiawi. Kini orde baru terulang kembali bahkan kekuasaan Jokowi lebih arogansi, bukan demokrasi lagi.

Demokrasi yang mengatasnamakan rakyat hanya menjadi doktrin yang tidak pernah terealisasi. Rakyat hanya memiliki otoritas memilih wakil mereka dari yang telah ditunjuk oleh parpol peserta pemilu dengan pertimbangan atas nama kepentingannya. Tentu penyaringan atas parpol memuluskan upaya membangun dinasti politik yang mengaburkan calon yang cakap, cerdas, dan amanah.

Politik dinasti hasil mutlak yang terjadi dalam sistem demokrasi bukan sekedar anomali dalam praktek demokrasi. Kekuasaan bisa diraih dengan dana besar, ketenaran juga pengaruh jabatan. Keniscayaan pemenangnya jika bukan dari lingkar kekeluargaan adalah mahar jabatan.

Tolak demokrasi wujudkan Islam Kaffah

Islam adalah agama sekaligus ideologi yang memancarkan aturan kehidupan manusia. Islam mewujudkan kepemimpinan untuk melaksanakan syariat Islam demi kemaslahatan rakyat. Pilar utama dari tegaknya Islam adalah kedaulatan ditangan syara’ dan kekuasaan ditangan rakyat. Pemimpin harus memenuhi syarat dan dipilih umat dengan metode baiat. Syarat pemimpin harus orang yang bertakwa, adil dan amanah.

Allah berfirman yang artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
Rasul SAW juga telah mengingatkan,
“Siapa yang diamanati Allah untuk memimpin rakyat, lalu ia tidak memimpinnya dengan tuntunan yang baik, maka ia tidak akan dapat merasakan bau surga.” (HR Al-Bukhari dan Muslim)

Semoga kita terhindar dari pemimpin yang Allah laknat dan memiliki pemimpin yang mewujudkan pelaksaan hukum Islam secara sempurna.

Allahu a’lam bishowab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *