Politik Dinasti dan Oligarki dalam Pusaran Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Siti Amelia Q.A S.IP,. M.IP

Perhelatan pilkada 2020 di tengah pandemi dan di tengah kemerosotan ekonomi Indonesia, tidak menyurutkan langkah para pelaku politik untuk menuntaskan perhelatan mencari kursi kekuasaan. Baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional. Yang tak kalah menariknya, perhelatan pilkada 2020 ini diwarnai oleh fenomena politik dinasti juga termasuk fenomena politik oligarki.

Seperti dikutip dari harian kompas.com, sabtu (18/07/20). Pengamat politik dari universitas Al Azhar yakni, Ujang Komarudin berpendapat, bahwa Indonesia yang saat ini dipimpin oleh presiden Joko Widodo, tengah membangun politik dinasti. Hal ini dapat terlihat dari pencalonan Gibran yang notabene putra dari Presiden Joko Widodo. Gibran maju bersaing dalam pemilihan wali kota solo 2020 dan sudah mendapat dukungan resmi dari partai politik yang menaungi presiden Jokowi dan Gibran yakni PDIP. Selain itu, menantu Jokowi yakni Bobby Nasution juga tengah berupaya untuk maju dalam pemilihan wali kota Medan 2020. Tak hanya politik dinasti keluarga Jokowi yang akan dibangun, namun juga putri wakil presiden Indonesia yakni KH. Ma’ruf Amin yakni Siti Azizah yang diusung oleh PKS Kota Tangerang Selatan serta Pilar Saga Ichsan anak bupati Serang Ratu Tatu Chasanah yang mendapat dukungan dari PPP dan Golkar, turut meramaikan kenyataan adanya politik dinasti dalam perhelatan pilkada 2020 ini.

Politik dinasti yang dilakukan individu berkuasa dan politik oligarki yang dibangun partai politik berkuasa adalah keniscayaan dalam demokrasi. Adanya dua fenomena ini memang tidak terlepas dari rusaknya sistem yang menaungi perpolitikan kita saat ini.

Politik dinasti dan oligarki dalam pusaran politik dianggap hal yang wajar dan lumrah terjadi. Padahal pencalonan dari parpol yang berkuasa atau seseorang yang sedang berkuasa akan sangat berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Hal ini secara tidak langsung akan semakin merusak nilai demokrasi itu sendiri, walaupun sejatinya sistem demokrasi yang ada memang telah rusak dari awal kelahirannya. Yakni asas yang menopangnya adalah sekulerisme. Pemisahan agama dari sendi sendi kehidupan bernegara.

Politik dinasti dan oligarki membuka peluang besar bahwa sosok sosok yang menghiasi panggung politik secara garis besar adalah orang orang yang tidak capable, jauh dari kapabilitas, jauh dari visi misi serta hanya memanfaatkan previledge yang ada pada diri mereka. Hal ini dapat dilihat dari track record mereka dalam membangun negeri.

Kontestasi yang terjadi dalam perhelatan pesta demokrasi tak lain hanyalah ilusi belaka, hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Rakyat hanya dimanfaatkan untuk meraup suara hingga mereka berhasil duduk dalam kekuasaan.

Demokrasi membuka peluang besar para calon untuk mendapatkan suara terbanyak, butuh dana besar, pengaruh jabatan yang besar bahkan pamoritas seorang calon untuk meraih kekuasaan. Karena itu politik dinasti dianggap cara instans untuk meraih itu semua.

Bukan tidak mungkin untuk menghilangkan politik dinasti dan oligarki yang sudah mendarah daging dalam sistem politik kita saat ini. Jalan satu satunya adalah dengan menyingkirkan demokrasi serta mencari sistem alternatif yang terbukti unggul dalam penerapannya, yakni kembali kepada sistem Islam.

Bagaimana kisah nyata seorang Amirul Mukminin, yakni Khalifah Umar bin khattab yang melarang anak turunannya menjadikan penggantinya, padahal beberapa kaum muslimin menyarankan agar Umar menunjuk anaknya agar menjadi khalifah penggantinya.

Lalu apa yang dikatakan Umar bin khattab. “Tidak ada kaum keturunan Al Khattab hendak mengambil pangkat khalifah ini untuk mereka, Abdullah tidak akan turut memperebutkan pangkat ini.” tegas Khalifah Umar. Dan Abdullah anak Umar pun menempati apa yang ayahandanya katakan.

Oleh sebab itu sistem Islam secara nyata mampu menghasilkan politisi yang amanah, bertanggung jawab, memiliki kapabilitas dan yang terpenting beriman serta bertaqwa kepada Alloh SWT. Karena menjadi pemimpin dalam sistem Islam adalah sebuah panggilan keimanan, bekal untuk akhirat jika kemaslahatan umat tercapai. Kepemimpinan dalam sistem Islam demi menerapkan aturan Alloh SWT, bukan aturan selain itu. Islam menggariskan pemimpin diraih dengan syarat yang ditentukan oleh syari’at dan mendapat dukungan umat secara nyata. Karena yang diraih adalah ketaqwaan dalam menjalankan hukum syara’.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *