Politik dan Ulama, Sebuah Dikotomi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Zahida Arrosyida

Ulama ialah mereka yang berbuat kebaikan tanpa berharap imbalan, tidak senang publikasi apalagi pencitraan, tidak terima suap meski memiliki kesempatan. Politisi itu yang ketika berbuat berharap ada balasan, senang pencitraan demi kedudukan, suap dilakukan demi pertahankan jabatan. Beginilah anggapan sebagian besar masyarakat.

Ada fenomena dikotomi ketika memandang ulama dan dunia politik. Ulama adalah sebutan untuk orang-orang berilmu yang aktif memberikan nasihat, terutama ilmu agama. Sedangkan politik sangat identik dengan perkara dunia. Posisi ulama dalam kancah politik selalu terpinggirkan, mereka hanya diperlukan saat giliran pembacaan doa atau saat kampanye untuk menarik simpati umat.

Pendapat seorang tokoh tentang wajah baru pengurus MUI, setidaknya dapat dikatakan merepresentasikan hal tersebut. Saat mengomentari terpilihnya Miftachu Akhyar sebagai Ketua Umum MUI periode 2020-2025 menggantikan KH Ma’ruf Amin, yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan di MUI. Sejumlah nama yang dinilai aktif mengkritik pemerintah, seperti Tengku Zulkarnain, Bakhtiar Nasir, Din Syamsudin dan Yusuf Muhammad Martak terlihat absen menjadi pengurusnya.

Wakil Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Golkar, Ace Hasan Syadzily berkomentar terkait sejumlah nama seperti Din Syamsuddin hingga Tengku Zulkarnain yang lekat dengan PA 212 hilang dari kepengurusan MUI periode 2020-2025.
Ace awalnya mengucapkan selamat atas lancarnya acara Munas MUI. Dia berharap pengurus terpilih bisa menjadi wadah hingga pelayan umat. Kemudian Ace mengingatkan bahwa MUI bukan untuk kepentingan politik (www.detiknews.com, 27/11/2020).

Ulama dalam Lingkaran Sekularisme

Sistem kehidupan sekular yang diadopsi oleh negara selama ini berperan besar mengkerdilkan peran ulama. Ulama dipisahkan dari peran politiknya. Selama 350 tahun masa penjajahan, ditambah lebih dari 70 tahun pasca kemerdekaan, Islam dan Ulama dimarjinalkan. Dimunculkan anggapan bahwa politik itu kotor dan najis sehingga harus ditinggalkan.

Patut disyukuri, adanya aktivitas dakwah yang menjelaskan Islam sebagai solusi dan pengatur kehidupan telah memberikan pencerahan pada semua elemen. Pemahaman Islam yang jernih terus digaungkan, di antaranya tentang kebutuhan kembali berhukum pada aturan Allah dalam semua aspek kehidupan. Untuk menuju ke sana maka Islam sebagai sistem politik mutlak diperlukan. Bukan politik ala kapitalis, namun politik yang bersandar pada ideologi Islam.

MUI sebagai wadah berkumpulnya cendekiawan muslim yang menjadi rujukan umat Islam di Indonesia selama ini telah banyak memainkan peran penting. Diantaranya dalam memberikan fatwa dan pandangan terkait berbagai perkara yang terjadi di tengah masyarakat. Peran MUI makin menonjol ketika mengarahkan pandangan umat saat merebak kasus penistaan agama oleh seorang kepala daerah, yang melahirkan aksi 212. Dari sana kepercayaan umat terus terbangun pada MUI.

Nampaknya ada pihak yang merasa gerah melihat benih-benih persatuan umat. Perasaan bersatu yang kemudian membawa pergeseran pada sosok panutan umat. Ya, ada figur pemimpin (selain para pemegang kekuasaan) yang diharapkan umat Islam mampu membawa mereka ke arah yang lebih baik. Merekalah para ulama yang selama ini telah membersamai umat memberikan petunjuk cahaya Islam. Sehingga umat mampu melihat ada kezaliman, kemudian berupaya menghilangkan kezaliman dengan berjuang menerapkan Islam dalam kehidupan.

Falsafah sistem hidup yang didasari oleh ideologi, pastilah akan melakukan beragam cara untuk tetap eksis. Begitu pun dengan sistem kapitalisme sekuler yang hari ini menjadi tumpuan kehidupan yang dijalankan oleh penguasa. Penguasa perlu dukungan umat agar eksis menerapakan ideologis yang diyakini, maka salah satu upaya yang dilakukan adalah mengendalikan suara-suara yang muncul dari umat agar senada dengan kepentingan rezim.

Maka wajar jika pemerintah memandang perlu merangkul MUI. Agar suara ulama lebih mudah diseragamkan sehingga sejalan dengan keinginan rezim. Dengan merangkul MUI, diharapkan nada-

nada sumbang tak lagi muncul untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diluncurkan penguasa.

Indikasi ini tersirat saat KH Ma’ruf Amin menyampaikan sambutan dalam penutupan Munas X MUI dengan menyebut MUI sebagai lembaga besar umat Islam Indonesia diharapkan mampu memberi teladan karakter organisasi karakter organisasi tenda besar. Tenda besar yang dimaksud adalah menggerakkan dan melindungi dalam rangka menjaga kesatuan dan persatuan umat sebagai bangsa yang berbhineka tunggal ika (tribunnews.com, 27 November 2020).

Umat Butuh Ulama yang Sadar Politik

Ulama seharusnya berperan penting dalam politik, yakni politik yang berorientasi pada pemeliharaan urusan umat berdasarkan syariah Islam.

Bagi kaum Muslim, apalagi para ulamanya, bergelut dalam masalah politik adalah hal yang wajar, bahkan kewajiban. Alasannya, politik di dalam ajaran Islam didefinisikan sebagai sebagai langkah-langkah strategis dalam kerangka untuk memelihara urusan umat. Pelaksana praktis aktifitas politik adalah daulah (negara), sedangkan umat melakukan muhasabah (kritik, saran, dan nasihat) kepada kepala negara.

Pengertian ini diambil dari hadits Rasulullah yang menunjukkan aktifitas penguasa, kewajiban untuk melakukan koreksi (muhasabah), dan pentingnya mengurus berbagai kemaslahatan kaum Muslim. Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan oleh Ma’qil ibn Yasar, bersabda:
“Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat, sementara dia tidak memberikan nasihat kepada mereka (umat), maka dia tidak akan mencium bau surga” (HR al-Bukhari).

Khudzayfah ra menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda : ” Siapa saja yang bangun pagi hari, sementara perhatiannya tertuju kepada selain Allah, maka ia tidak berurusan dengan Allah. Siapa saja yang bangun dan tidak memperhatikan urusan kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka” (HR.al-Hakim dan Khathib).

Hadist-hadist di atas dan beberapa hadist lainnya, berkenaan dengan penguasa dan kedudukannya, pengoreksian umat Muslim dalam mengurus kepentingan mereka dan saling menasehati. Semua itu menunjukkan makna politik yang sesungguhnya, yaitu mengurus kepentingan umat.

Ulama adalah warasah al-anbiya (pewaris para nabi). Merekalah yang mewarisi tugas para nabi dan rasul dalam menyampaikan dakwah dan melakukan amar makruf nahi mungkar.

Di hadapan penguasa, ulama adalah barisan terdepan yang mengontrol, menjaga, memberikan kritik dan nasihat agar penguasa senantiasa menjalankan syariah-Nya dalam mengatur urusan umat.
” Ada dua macam golongan manusia yang jika keduanya baik, maka akan baiklah masyarakat, tetapi jika keduanya rusak maka akan rusaklah masyarakat itu. Kedua golongan manusia itu adalah ulama dan penguasa” (HR. Abu Nu’aim).

Ulama juga tempat penguasa bertanya dalam ragam kebijakan menyangkut urusan pemerintahan, politik, sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain.

Di tengah-tengah umat, ulama bagai lentera yang bersinar terang, membimbing dan menunjukkan jalan yang benar. Apabila ulama terbenam, maka jalan akan kabur.
“Sesungguhnya perumpamaan ulama di bumi adalah bagaikan bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila cahaya bintang-bintang itu hilang, maka tongkat-tongkat pun hampir tersesat (HR. Imam Ahmad).

Karena itu, peran politik ulama adalah sebuah keniscayaan. Politik adalah pengaturan rakyat yang tidak akan pernah berpisah dengan visi dan misi sosok ulama. Rusaknya moral para birokrat, bergesernya haluan politik pada sekedar hanya untuk meraih kekuasaan, “lugu”-nya masyarakat menilai persoalan politik, dan intervensi asing terhadap negara, ini semua diantaranya karena peran politik ulama yang kian terpinggirkan.

Adapun peran politik ulama nampak dalam beberapa aktifitas berikut:

Pertama. Menjaga kejernihan pemikiran masyarakat. Ulama adalah kelompok yang paling strategis untuk meningkatkan taraf berpikir. Caranya dengan menjadikan Al-Qu’ran sebagai sumber utama rujukan dalam berpikir. Senantiasa mengkaitkan persoalan yang terjadi ditimbang dan distandarisasi dengan cara pandang Islam.

Kedua. Membangun kesadaran politik masyarakat. Setiap peristiwa di masyarakat tidak murni alami tanpa rekayasa. Sebagian peristiwa bahkan by design oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik tertentu. Situasi politik lokal, regional, dan internasional terjadi hakikatnya mengikuti mainstream dari sebuah kebijakan politik. Umat harus mengamati dan memahami semua kejadian tersebut dari sudut pandang Islam. Inilah yang disebut dengan kesadaran politik Islam.

Ketiga. Melakukan kontrol terhadap penguasa (muhasabah li al-hukkam). Inilah aktifitas pokok ulama. Di hadapan penguasalah reputasi seorang ulama dipertaruhkan. Rasulullah Saw bersabda: “Hendaklah kalian menyuruh kebaikan dan mencegah kemungkaran. Hendaklah kalian melarang penguasa berbuat zalim dengan menyatakan kebenaran di hadapannya. Janganlah kalian menutup-nutupi kebenaran itu. Kalau tidak, nanti Allah akan menaruh rasa dendam di hati kalian dan permusuhan di antara sesama kalian, atau nanti Allah akan mengutuk kalian sebagaimana Dia mengutuk kaum Bani Israil” (HR Abu Daud dan At-Tirmidzi).

Keempat. Memberikan solusi terhadap berbagai persoalan masyarakat. Islam adalah serangkaian aturan hidup yang berfungsi sebagai solusi terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Ulama adalah yang paling kredibel untuk menjelaskan hal ini. Persoalan masyarakat dari masalah kebobrokan moral, pengangguran yang kian tersistematis, kesehatan dan pendidikan terus dikomersialisasi, korupsi yang makin meningkat, dan berbagai persoalan yang menimpa kehidupan berbangsa dan bernegara, perlu solusi Islam yang akan dijelaskan oleh ulama secara konfrehensif.

Kelima. Mengajak masyarakat untuk berjuang melakukan perubahan jika terjadi penyimpangan dalam melaksankan penerapan syariat Islam. Sebab segala kemaksiatan yang terjadi akan mengakibatkan kerusakan di muka bumi dan diangkatnya keberkahan dari langit. Ulama sejati akan mengajak seluruh komponen masyarakat untuk bertobat dengan kembali pada aturan Allah.

Tidak hiraunya ulama terhadap politik akan sangat berbahaya. Penguasa akan semakin sewenang-wenang tanpa ada yang melakukan muhasabah. Umat pun akan semakin berada dalam kegelapan akibat sistem politik yang jauh dari syariah Islam.

Demikianlah betapa penting peran politik ulama dalam kehidupan. Meski pada kenyataan saat ini, MUI seakan ingin meminggirkan peran politik ulama dan daya kritis mereka, namun hal ini tak boleh membuat surut langkah. Sejatinya kewajiban berpolitik dan berdakwah adalah kewajiban agung dari Allah yang harus dijalankan oleh setiap Muslim. Baik ketika duduk di dalam atau pun di luar lingkaran kekuasaan.

Wallahu a’lam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *