Oleh: Nanik Farida Priatmaja
(Aktivis Muslimah)
Lagi, penampakan kontroversi UU Cipta Kerja mendapat sorotan publik. Kini UU Cipta Kerja mengusik tentang sistem sertifikasi halal yang selama ini hanya bisa ditentukan oleh lembaga berwenang Majelis Ulama Indonesia (MUI). Namun adanya UU Cipta Kerja kini tak hanya MUI saja yang berwenang menerbitkan sertifikasi halal, BPJH, Ormas Islam dan Perguruan Tinggi boleh turut serta menerbitkan sertifikasi halal.
Dikutip dari rri.co.id, Undang-Undang (UU) Cipta Kerja atau Omnibus Law mengubah sistem penerbitan sertifikat halal. Jika sebelumnya sertifikat halal hanya dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), kini UU Ciptaker memberi alternatif sertifikat halal dapat diberikan ke Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH). Terkait hal itu, Anggota Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakub menilai, kebijakan tersebut sangat berbahaya karena mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan dengan satu produk dengan produk lainnya. “Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi,” kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
Berdasarkan Omnibus Law ini, pemberian sertifikasi halal dapat dilakukan oleh Ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri. Pelaku usaha berskala kecil juga mendapatkan kemudahan dengan pembebasan biaya untuk mendapatkan sertifikasi halal. Ini karena sertifikasi UMKM akan ditanggung oleh pemerintah. “Sekarang, baik NU dan Muhammadiyah, bisa membuat sertifikasi Halal. UU ini dibuat untuk kemaslahatan orang banyak. Saya ingin yang terbaik dan adil untuk rakyat,” kata Anggota DPR RI Komisi VIII Fraksi PAN, M. Ali Taher. (Sindonews.com/2/10/2020).
Secara kasat mata memang adanya UU Omnibus Law yang memberikan wewenang pembuat sertifikasi kepada ormas Islam dan Perguruan Tinggi Negeri nampak meringankan para produsen yang bermodal kecil. Pasalnya tak perlu keluar biaya tinggi dan prosesnya mudah. Akan tetapi hal ini tak selamanya tepat. Untuk menentukan kehalalan suatu produk pastinya membutuhkan keahlian, kapabilitas, kredibilitas tentang produk tersebut yang berhubungan dengan hukum Islam. Sehingga sertifikasi halal hanya bisa dilakukan oleh ulama dan tim yang menguasai ilmu tentang suatu produk.
UU Ciptaker telah menghapus UU No.33 tahun 2014 tentang auditor halal memiliki beberapa syarat, yaitu beragama Islam, WNI, berwawasan luas terkait kehalalan produk dan syariat Islam, minimal S1 bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi. Sehingga hal ini akan berpeluang bagi siapa pun menjadi auditor halal tanpa ada penjelasan terkait apa dan bagaimana auditor halal tersebut.
Sebagai negeri mayoritas muslim pastinya menganggap jaminan kehalalan produk termasuk suatu hal penting bahkan termasuk kategori kewajiban yang harus diperhatikan dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian fakta di lapangan memang tak semua produk memiliki label atau sertifikasi halal dari lembaga berwenang atau MUI. Pastinya hal ini disebabkan berbagai alasan misalnya karena biaya yang dibebankan secara penuh dan mahal pada produsen (misalnya usaha mikro) tanpa bantuan dari negara. Sehingga produk pangan halal zaman now sangat berpotensi menjadi ladang bisnis yang menguntungkan. Bahkan beberapa pihak menilai MUI selama ini menjadikan sertifikasi halal sebagai ladang bisnis yang memonopoli label halal dan tidak adanya transparasi pengelolaan dana hasil sertifikasi halal.
Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin mengatakan bahwa pengembangan kawasan industri halal (KIH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mencapai cita-cita menjadi negara penghasil produk halal terbesar di dunia. Bersamaan dengan persiapan KIH tersebut, lanjut Ma’ruf, pemerintah saat ini tengah melakukan penguatan terhadap industri-industri kecil atau usaha mikro dan kecil (UMK) yang bergerak dalam pembuatan produk-produk halal. Wapres menyebut ada delapan kawasan industri halal (KIH) yang sedang dalam pembangunan di berbagai daerah. “Layanan sertifikasi halal akan dilakukan secara satu atap atau one stop service,” kata Ma’ruf Amin saat menyampaikan orasi ilmiah pada Dies Natalis Ke-63 Universitas Diponegoro (Undip) secara daring, Kamis (15/10/2020).
Pelaku UMKM seolah diuntungkan dengan adanya bebas biaya sertifikasi halal. Akan tetapi hal ini sangat berpeluang bagi pelaku UMKM melakukan klaim halal versi mereka sendiri yang belum tentu halal sesuai syariat.
Adanya perbedaan pandangan terkait status halal haram di tengah masyarakat pastinya akan menimbulkan kebingungan. Apalagi tak hanya sertifikasi dari MUI saja namun terdiri dari berbagai versi. Hal ini sangatlah butuh peran negara dalam menentukan dan mengatur kebijakan terkait lembaga atau badan yang berwenang penuh membuat fatwa halal haram suatu produk.
Mengkonsumsi atau menggunakan produk yang halal dan thoyib termasuk kewajban dalam Islam. Allah berfirman dalam QS Al Maidah ayat 88 yang berbunyi, “Dan makanlah dari apa yang telah diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.”
Kaum muslim sebenarnya membutuhkan tak sekedar sertifikasi halal semata, namun jaminan halal terhadap seluruh produk yang digunakan atau dikonsumsi sehari-hari dari bahan baku, bahan penunjang, proses pengerjaan harus terjamin kehalalannya. Hal ini membutuhkan kontrol dan pengawasan para ahli dan ulama yang menguasai segala hal yang berkaitan dengan produk dan proses produksi.
Sertifikasi halal tak selayaknya diserahkan pada lembaga yang tak kapabel apalagi berpotensi dipengaruhi kepentingan bisnis yang hanya bertujuan mengejar keuntungan semata tanpa mengetahui dan memahami hukum halal haram.
Allahu a’lam.