Oleh : Ummu Umar Khalid Al-Fatih
Menyeruak ramai di ruang publik, wacana akan dimulainya kembali aktivitas belajar di sekolah pasca liburan panjang akibat pandemi covid-19 di negeri ini. Menjadi kontroversi, karena pandemi belum menunjukan tanda akan berakhir, korban masih terus bertambah, amankah melepaskan para pelajar yang notabene terkategori rentan terinfeksi untuk kembali beraktivitas di sekolah?
Pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan Nasional yang paling berkompeten menjawab hal ini tentunya. Setelah kurang lebih 3 bulan lamanya para pelajar di berbagai jenjang pendidikan terpaksa “dirumahkan” dan belajar dengan sistem daring, rencana membuka kembali aktivitas sekolah tentulah perlu dipikirkan masak-masak. Para pembuat kebijakan di negeri ini harus mempertimbangkan berbagai hal yang mungkin menjadi resiko dari kebijakan ini.
Resiko tersebut antara lain tidak adanya jaminan akan terlaksananya protokol kesehatan yang komprehensif oleh para pelajar ketika beraktivitas di sekolah. Padahal, sedikit saja para pelajar abai terhadap hal ini, bukan tidak mungkin akan membuka klaster baru dan tentu saja hal ini akan mengakibatkan kurva korban covid-19 merangkak naik secara signifikan. Saat ini saja, ketika para pelajar “dirumahkan”, jumlah anak yang terkategori usia pelajar sebanyak 584 kasus positif Covid-19. Sementara jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) anak tercatat kurang lebih 3.400, dan jumlah kasus konfirmasi positif anak yang meninggal mencapai 14 anak, dana PDP anak ynag meninggal sebanyak 129 anak. Dan jumlah ini merupakan yang tertinggi di Negara ASEAN (Data IDAI/voaindonesia, 30 Mei 2020).
Disisi lain, “merumahkan” para pelajar dengan sistem belajar daring juga belum mampu menjadi solusi. Kondisi ekonomi rata-rata masyarakat Indonesia kalangan menengah ke bawah, menjadi salah satu benang merah sulitnya memenuhi tuntutan belajar daring. Bagaimana tidak, untuk melakukan aktivitas belajar via daring, para orang tua dituntut wajib menyediakan dana tambahan untuk membeli kuota internet demi mengikutkan anaknya belajar online.
Gadget pun harus yang memadai, agar belajar daring tak menemui kendala. Padahal pandemi ini telah membuat sebagian besar masyarakat kelas menengah ke bawah kehilangan pekerjaan akibat tsunami PHK di berbagai perusahaan, tak terhitung pula jumlah buruh dan pekerja harian yang harus rela kehilangan pendapatannya. Lalu, dengan apa harus beli kuota?
Bagai buah simalakama, dimakan ayah mati tak dimakan ibu mati. Begitulah potret dunia pendidikan Indonesia kini. Sistem pendidikan ala sekuler kapitalis yang menjadi acuan negeri ini untuk mendidik generasi, terbukti tak berkutik dikala pandemi melanda.
Dalam Islam, Pendidikan adalah yang hal sangat penting dan fundamental. Karena melalui pendidikan lah terlahir manusia- manusia yang mampu berpikir cemerlang, mengelola potensi akalnya secara optimal untuk kemaslahatan dirinya dan ummat manusia. Sistem pendidikan Islam berasaskan aqidah Islam. Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah menjadi pondasi yang dari keduanya lahir sistem pendidikan yang komprehensif, mencakup kurikulum, materi ajar, sistematika pembelajaran, termasuk didalamnya segala aspek yang terkait dengan proses pembelajaran hingga hasil yang akan dicapai dari proses pendidikan. Tujuan dari sistem pendidikan Islam adalah membangun peradaban Islam, peradaban yang didalamnya terlahir manusia-manusia yang berkepribadian islam, yang gemilang dengan pencapaian tertinggi dalam iman dan ilmu pengetahuan.
Bagaimana hal ini dapat tercapai? Tentu kehadiran negara dalam menjamin dan memastikan bahwa pendidikan dapat dengan mudah diakses oleh semua kalangan. Negara wajib menyediakan fasilitas yang memadai, yang memungkinkan para pelajar bisa tetap menuntut ilmu dalam keadaan sulit sekalipun. Kenapa demikian? Karena negara bertanggung jawab menyediakan pendidikan bagi warganya sekaligus menjaga tiap-tiap nyawa warganya agar tetap terlindungi. Apakah negara mampu menjamin hal ini? Kenapa tidak, sumber daya alam yang melimpah ruah di negeri yang sebenarnya kaya raya ini lebih dari cukup untuk menjamin kebutuhan tiap-tiap warganya, termasuk menyediakan pendidikan yang memadai. Tentunya, apabila kekayaan negara tersebut juga dikelola dengan menerapkan sistem ekonom Islam yang paripurna. Tentu saja hanya negara yang menerapkan hukum Islam lah yang mampu berlaku demikian. Karena salah satu tujuan dari diterapkannya hukum Islam adalah memelihara akal, dengan cara mendorong manusia untuk menuntut ilmu sekaligus memelihara jiwa manusia dan menjaga keberlangsungan kehidupan.
Hanya dengan menerapkan hukum Islam pada segala aspek dalam kehidupan lah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan segala problematika yang terjadi di negeri ini. Wallahu a’lam.
2 komentar pada “Polemik Sekolah ditengah Pandemi, Simalakama Dunia Pendidikan Indonesia”
Dalam sejarah islam, saya jarang mendengar penuntut ilmu dri kalangan wanita. Apakah ini mrpkam bagian diskriminalilasi wanuta dalam islam? Bagaimana sistem pendidika islam bisa menjawabnya?
Dalam sejarah Islam, banyak ilmuan yang lahir. salah satunya Aisyah Binti Abu Bakar.
jadi islam sangat memuliakan wanita