Polemik RUU HIP di Tengah Pandemi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anggun Permatasari

 

Di tengah laju kontaminasi covid-19, pemerintah sempat-sempatnya membahas RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Akibat munculnya RUU tersebut, permasalahan bergulir di masyarakat.

Polemik mencuat saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengajak seluruh elemen masyarakat untuk berperan aktif mempertanyakan atas tidak dicantumkannya Tap MPRS XXV/1965 tentang pelarangan PKI dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP). RUU ini baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR-RI beberapa waktu lalu.

Dalam diskusi online bertema “Mewaspadai Bangkitnya Komunisme Melalui RUU HIP”,
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI, Mulyanto
menjelaskan bahwa Tap MPRS XXV/1965 membahas mengenai pelarangan PKI dan penyebaran ideologi komunisme, marxisme dan leninisme. Menurutnya, Ketetapan MPRS tersebut adalah bagian yang sangat sensitif bagi rakyat Indonesia. (Suara Merdeka, 24/6/2020)

Mulyanto menyebut pengesahan draft RUU HIP menjadi RUU dalam rapat paripurna DPR diputuskan sangat tergesa-gesa. Saat itu tidak disediakan sesi penyampaian pandangan fraksi sehingga tidak diketahui fraksi mana saja yang setuju dan mana yang menolak. (Suara Merdeka, 24/6/2020)

Apabila ditelisik lebih dalam, RUU ini justru memuat banyak polemik. Dari makna Pancasila sebagai ideologi, apa saja yang bertentangan dengan ideologi, juga bagaimana mewujudkan integrasi hingga soal implementasi di berbagai bidang termasuk bidang ekonomi. Hal tersebut menjadi bias karena justru RUU HIP mengakomodasi semua ideologi. Ini lebih mencerminkan syahwat politik para pemangku kebijakan demi kepentingan mereka pribadi.

Di satu sisi, RUU ini menetapkan peran negara yang harus lebih dominan dalam menjaga ekonomi rakyat. Namun, juga mendorong kebijakan utang luar negeri dengan dalih memperkuat ekonomi. Aturan tersebut terdapat pada pasal 17 huruf b dan j RUU HIP. Dalam RUU tersebut dirinci sebanyak 12 prinsip pelaksanaan demokrasi ekonomi pancasila.

RUU ini juga mengundang polemik dan penolakan di pelbagai kalangan umat. Salah satu yang mengemuka karena terbuka celah untuk berkembangnya Neo-komunisme. Tentunya rasa trauma bangsa Indonesia terhadap kekejaman yang dilakukan PKI pada tujuh Jenderal kala itu belum hilang. Oleh karena itu, kekhawatiran terhadap peleburan nilai-nilai komunisme dalam falsafah negara sangatlah mendasar. Meskipun pembahasannya ditunda sementara waktu, tidak berarti selesai sampai di situ penggodokan RUU tentang aspek ideologi ini.

Yang perlu disadari oleh semua komponen bangsa adalah bahwa ancaman komunisme tidak kalah besar bahayanya dari kapitalisme dan liberalisme. Hal yang tidak banyak diketahui umat saat ini yaitu ideologi komunisme tanpa ampun memecah belah umat dan pengaruhnya mengakar di sektor-sektor strategis umat.

Terlebih, sangat disayangkan sekali pembahasan RUU ini dilakukan pemerintah saat pandemi. Hal ini memberi kesan tidak fokus terhadap penanganan pandemi yang sesungguhnya membutuhkan solusi cepat dan tepat.

Senada dengan keresahan yang dirasakan publik, MUI menilai keberadaan RUU HIP telah mendistorsi substansi dan makna nilai-nilai Pancasila sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Melalui sebuah maklumat, MUI berpandangan bahwa RUU HIP memeras pancasila menjadi Trisila lalu menjadi Ekasila yakni gotong royong. Diksi ini nyata-nyata merupakan upaya pengaburan dan penyimpangan makna dari Pancasila. Disinyalir hal tersebut secara terselubung ingin melumpuhkan keberadaan sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang telah dikukuhkan dengan Pasal 29 Ayat (1) UUD Tahun 1945. (Tribunnews.com., 14/6/2020)

Hal tersebut sejatinya sangat bertentangan dengan kondisi bangsa Indonesia yang merupakan negara ketuhanan. Umat Islam terbanyak berada di Indonesia. Sesungguhnya Islam bukan hanya sebuah agama yang mengatur ritual peribadahan. Tapi merupakan sebuah ideologi yang menata kehidupan manusia sejak bangun tidur sampai tidur lagi. Islam memiliki aturan yang sempurna dan sistem hukum yang paripurna dalam menyelesaikan polemik hidup umat manusia.

Masyarakat Indonesia yang beragam juga sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari.

Terkuaknya esensi dari RUU HIP menunjukkan bahwa saat ini banyak pihak menjadikan pancasila sebagai alat untuk memukul pihak yang dianggap tidak sejalan. Fakta menegaskan bahwa DPR sendiri melenggangkan maksud tersebut dan terbungkus rapi dalam draft RUU yang saat ini telah disahkan menjadi RUU HIP. Walaupun gejolak timbul dari berbagai lapisan masyarakat dan keganjilan tampak jelas, namun penguasa seakan bungkam.

Sangat bertolak belakang dengan apa yang diperjuangkan ulama untuk menjadikan sistem Islam sebagai solusi atas krisis multidimensi yang saat ini melanda bangsa. Ajaran Islam justru dimonsterisasi dan digambarkan sebagai paham yang memecah belah bangsa. Orangnya dicap anti Pancasila dan anti persatuan. Narasi-narasi menyesatkan seperti paham khilafahisme disebarkan agar umat takut dan alergi. Padahal, khilafah bukan paham tapi sistem kepemimpinan yang diajarkan Islam.

Padahal, sejarah mencatat selama 13 abad sistem Islam menyejahterahkan bukan hanya manusia tapi hewan, tumbuhan dan alam. Khilafah sangat melindungi keberagaman namun tetap menjaga aqidah umat.

Disinilah sesungguhnya urgensitas mengenalkan Islam sebagai ideologi yang telah sangat komprehensif dan terintegrasi mengatur penyelenggaraan negara mulai aspek filosofi hingga sistem. Islam memberi identifikasi yang sangat jelas tentang apa saja yang bertentangan dengan segala sesuatu yang dititahkan Allah Swt. Baik, buruk, halal dan haram.

Islam sangat melindungi harta umat, yakni sumber daya alam yang diklasifikasikan sebagai kepemilikan umum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Manusia berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR. Abu Dawud). Dalam Islam, tidak ada yang namanya privatisasi sehingga membuat segelintir orang kaya raya sedangkan yang lain menjadi fakir miskin.

Sistem Islam juga menjaga kedaulatan negara dengan tidak mudah berutang kepada negara lain. Sehingga tidak akan terjadi ketergantungan kepada negara luar yang membuat wibawa bangsa jatuh.

Karena berasal dari Sang Pencipta, tentunya tidak ada aturan yang saling kontradiksi antar bagiannya. Pastinya sistem Islam secara integral mewujudkan keutuhan bagi keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan akan mewujudkan “The real” rahmatan lil alamin bagi seluruh umat manusia. Wallahualam

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *