Polemik RUU HIP Antara Harga Mati dan Kepentingan Abadi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Agustin Pratiwi S.Pd – (Owner Mustanir Courses)

Di tengah kurva pasien terjangkit COVID 19 yang kian meningkat, publik justru dihebohkan dengan penggodokan RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) yang sama-sekali tak ada kaitannya dengan wabah. Alih-alih fokus dalam penangan wabah COVID 19, pemerintah justru seolah sedang memanfaatkan kondisi wabah. Pembahasan RUU ini telah disetujui DPR RI pada rapat paripurna 12 Mei 2020 lalu (detik.com 12/5/2020).

Menurut Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Aria Bima, RUU HIP memiliki tujuan mulia untuk merelevansikan masyarakat Indonesia dalam menghadapi tantangan global (republika.co.id 18/6/2020). Namun, hal bersebrangan justru diungkapkan Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, ia mengutarakan bahwa RUU HIP sangat kontroversial dan dapat menjatuhan citra partai pengusulnya dimata rakyat, sebab pasal-pasal dalam RUU HIP terkesan ngawur dan seolah memberi ruang untuk bangkitnya PKI. (sindonews.com 17/6/2020). Dengan meniadakan TAP MPRS Nomor/ XXV/ MPRS/ 1996 yang mengatur tentang Larangan Ajaran Komunisme/ Marxisme-Leninisme, hal ini disinyalir berpotensi mengembalikan nilai-nilai Orde Lama di Indonesia.

Sebagaimana pada Pasal 7 ayat (1), (2) dan (3) RUU HIP mengatur bahwa ciri pokok Pancasila adalah keadilan dan kesejahteraan sosial yang berujung pada Ekasila, yakni gotong royong. Menurut Ikhsan Abdullah selaku Wakil Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI, RUU HIP telah mengubah substansi Pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya. Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nasir, ia menyebutkan bahwa RUU HIP bertentangan dengan Pembukaan UUD 1945 terkhusus pada Bab III (Pasal 5, 6 dan 7) (tirto.id 16/6/2020). Bahkan RUU ini menunjukkan adanya upaya melumpuhkan sila pertama yang telah dikukuhkan dalam pasal 29 ayat (1) UUD Tahun 1945 dengan mensejajarkan posisi agama dengan rohani dan kebudayaan (tribunnews.com 14/6/2020). Hal ini tentu telah mendegradasikan konsep ketuhanan yang didasarkan pada otoritas dan standar pendapat manusia. Lalu bagaimana mungkin negeri ini bisa meraih berkah dan terhindar dar berbagai musibah?.

Inilah fakta penerapan sistem kapitalisme-sekuler, menafikan peran Tuhan Yang Mahakuasa lalu memberi kedudukan pada manusia sebagai makhluk yang serba terbatas dalam membuat pedoman hukum bernegara. Bahkan jika melihat sejarah bangsa Indonesia, kita dapati bahwa tak ditemukan kesepakatan final dalam rumusan dasar negara. Mulai dari pemberlakuan UUD 1945 pasca kemerdekaan hingga 27 Desember 1949, lalu berganti pada Konstitusi RIS 1949 sampai 17 Agustus 50, berubah menggunakan UUDS 1950 hingga 5 Juli 1959, kemudian kembali lagi pada UUD 1945 yang sempat juga mengalami perubahan Masa Orde Baru(11 Maret 1966-21 Mei 1998), masa transisi ketika Presiden Soeharto digantikan B.J Habibie (21 Mei 1998- 19 Oktober 1999), kemudian terjadi perubahan untuk menyempurnakan UUD 1945 lagi sebanyak 4 kali amandemen ( detik.com 8/1/2020).

Tak heran diusungkan kembali adanya perubahan-perubahan dalam hukum bernegara, karna kondisi dan pemikiran manusia akan terus berubah-ubah sesuai dengan situasi yang ada. Selama kesepakatan manusia yang selalu memiliki nafsu dan keterbatasan akal dijadikan pedoman, maka selama itu pula kemustahilan akan sesuatu yang bernilai ‘final atau harga mati’. Manusia adalah makhluk lemah yang serta terbatas, juga membutuhkan peran orang lain dalam kehidupannya, maka mustahil ia mampu membuat aturan yang ‘pas’ untuk diterapkan di tengah mereka. Manusia membutuhkan Dzat Yang Maha Kuat, Maha Tidak Terbatas, Dzat Yang Tak Bergantung pada yang lain untuk mengurusi mereka. Allah SWT, Dzat Yang Menciptakan, Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang Maha Mengetahui baik dan buruk bagi cipataan-NYA.

Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan dirinya sendiri dan mengatur hubungannya dengan sesama. Islam telah melahirkan seperangkat aturan atau konsepsi yang lengkap dan memiliki metode yang jelas untuk mengimplementasikan konsep yang ada, yaitu menghadirkan Sistem Pemerintahan Islam dalam naungan Khilafah Islamiyah..

Maka hanya ada satu pilihan untuk mendapatkan sesuatu yang final, mengikuti apa-apa yang telah diturunkan Allah SWT. Aturan yang bersumber dari Dzat Yang Maha Segalanya pasti benar membawa kebaikan tanpa diragukan sedikitpun dan sesuai fitrah manusia. Hanya dengan aturan dari Sang Pencipta lah manusia bisa merasakan kesejahteraan haqiqi dalam hidup didunia dan mendapat keselamatan di akhirat. Wallahu’alam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *