Polemik Hukuman Mati, Bukti Sistem Gagal Mencegah Kekerasan Seksual

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh Susi Sukaeni (Lingkar Studi Muslimah Bali)

 

Kejaksaan tinggi Jawa Barat menuntut Herry Wirawan (36) dengan hukuman mati atas perbuatan keji memerkosa 13 santriwati Madani Boarding School di Bandung Jawa Barat selama kurun waktu 2016-2021.

Tuntutan hukuman mati tersebut dilakukan sebagai komitmen Kejaksaan Tinggi Jawa Barat untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku. Disamping itu jaksa menambahkan sanksi membayar denda sebesar Rp 500 juta dan membayar biaya restitusi kepada para korban sebesar 331 juta. serta sanksi non material berupa pengumuman identitas terdakwa yang disebarluaskan dan hukuman kebiri kimia. (Tempo.Co, 12/01/2022)

Menanggapi hal tersebut Komisioner Komnas HAM menyatakan tidak setuju dengan tuntutan hukuman mati tersebut karena bertentangan dengan prinsip HAM. Hak hidup seseorang tidak bisa dikurangi dalam situasi apapun tak terkecuali sebagai hukuman.

Hidayat Nur Wahid mengkritik Komnas HAM dan pihak lain yang ngotot agar RUU PKS segera disahkan untuk melindungi korban kekerasan seksual, namun di sisi lain menolak tuntutan dan vonis hukuman mati terhadap pelaku yang dianggap dapat menjerakan baik pelaku maupun orang lain. Nampaknya volemik hukuman mati akan terus ada selama keputusan di tangan manusia yang gamang diantara dua pilihan, hukuman menjerakan dan komitmen penegakan HAM.

Sementara itu kasus kekerasan seksual terhadap anak terus bertambah. Kementerian PPPA menyebutkan pada 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2000 dan 12.566 kasus hingga November 2021. Dari data tersebut 45% berupa kekerasan seksual.

Inilah akibat diterapkannya sistem demokrasi sekuler. Sistem dimana pengaturan kehidupan diserahkan kepada selera manusia bukan pada kehendak Sang Pencipta manusia. Akibatnya berbagai sanksi dibuat sesuai dengan kepentingan manusia. Sementara itu sistem ini tidak mampu menciptakan lingkungan yang kondusif sehingga kejahatan seksual tidak merebak di masyarakat.

Sebaliknya sistem ini telah menyuburkan pornografi dan pornoaksi dengan melonggarkan sistem informasi dan media atas atas nama kebebasan. Alhasil kehidupan sosial masyarakat didominasi oleh rangsangan naluri seksual yang bisa memicu kekerasan.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Aturan yang diterapkan adalah undang-undang hasil legalisasi yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Aturan Allah ini bersifat tetap dan tidak mungkin di rubah-rubah sehendak manusia. Allah berfirman:

“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Allah telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. (Qs Yusuf: 40)

Penerapan Islam Kaffah akan menciptakan keadilan hukum termasuk dalam kasus kekerasan terhadap anak. Sebab hukum yang diterapkan adalah hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala di mana khalifah dan pejabat di bawahnya hanyalah sebagai pelaksana hukum bukan pembuat hukum.

Sistem Islam ini tegak di atas prinsip halal-haram bukan demokrasi yang mengagungkan kebebasan dan HAM ataupun kemanfaatan. Semua celah kerusakan yang menjadi faktor resiko terjadinya kekerasan seksual akan tertutup secara optimal bahkan sejak sebelum semuanya terjadi. Walaupun terlanjur terjadi negara akan punya kekuatan untuk menutup peluang penyebarluasan kerusakan yakni melalui penerapan sistem hukum dan sanksi tegas yang memberi efek jera atau jawazir. Bahkan menjadi pembebas dosa bagi para pelakunya yakni Jawabir.

Islam memiliki sistem sanksi tegas terhadap pelaku kejahatan seksual contohnya sanksi bagi pelaku tindak perkosaan dan perzinaaan yaitu dirajam atau dilempari batu hingga mati jika pelakunya muhson atau sudah menikah. Pelaku akan dijilid atau di cambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama setahun jika ghoir muhson atau belum menikah.

Adapun atas korban, Negara Islam akan memberi perlakuan sesuai faktanya. Jika mereka benar-benar di Daru paksa negara akan merehabilitasi dan mendukung mereka sepenuhnya. Sedangkan jika mereka terbukti memberi celah mereka akan mendapat hukuman sesuai kesalahannya. Penegakan hukum seperti ini tentu saja menutup peluang munculnya pelaku-pelaku kejahatan yang serupa bahkan terhadap orang yang memiliki kecenderungan melakukan kejahatan. Wallaahu a’lam bishowwab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *