Oleh : Asyifa’un Nisa (Aktifis Mahasiswa dan Pegiat Literasi)
Polemik harga cabai seolah tidak pernah usai, setelah kondisi kenaikan harga cabai yang melambung tinggi pada bulan Maret 2021 lalu tentunya sangat meresahkan masyarakat, yakni hingga menyentuh harga Rp. 120.000 per kilogram untuk komoditas cabai rawit dan Rp. 80.000 per kilogram untuk komoditas cabai merah besar (Kompas.com, 4/03/2021). Namun sekarang harga cabai mengalami penurunan drastis hingga menyentuh angka Rp. 10.000 per kilogram. Bahkan di tingkat pentani harga cabai rawit mencapai Rp. 5.000 – Rp. 7.000 per kilogram (tribunnews.com 22/08/2021).
Tentunya penurunan drastis ini sangat dikeluhkan oleh para petani, bahkan banyak petani yang tidak melakukan panen dan memilih untuk membiarkan kebun mereka karena biaya panen yang relativ lebih tingi dibanding keutungan harga jual cabai. Selain disebabkan oleh tingginya ketersediaan cabai dipasaran akibat panen raya, anjloknya harga cabai juga disebabkan oleh jumlah impor yang mengalami peningkatan secara drastis. Sepanjang semester I/2021 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor cabai sebanyak 27.851,98 ton dengan nilai US$ 59,47 juta yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh pihak swasta.
Berkaitan dengan hal itu anggota Komisi IV DPR RI, Slamet, menyatakan pemerintah harus memberikan perhatian serius terhadap masalah ini. Pemerintah hendaknya tidak mengedepankan impor terus-menerus sehingga menyengsarakan petani. Slamet menyatakan impor cabai di semester I/2021 sebesar 27,851 ton. Naik 54% dibanding tahun 2020 sebesar 18.075 ton. (rctiplus.com, 29/8/2021). Hal ini juga sejalan dengan pernyataan anggota komisi B (perekonomian) DPRD Jatim, Erma Susanti menilai “Turunnya harga cabai karena adanya kebijakan impor cabai dari beberapa negara”. Ia juga menjelaskan bhawa, “Cabai yang diimpor pada umumnya cabai merah, termasuk cabai rawit merah. Tak hanya itu, cabai impor yang seharusnya untuk industri ternyata juga dijual di pasar. Akibatnya, (terjadi) over supply,” (suaraindonesia.co.id, 19/8/2021)
Nyatanya akar masalah utama dari polemik harga cabai ini adalah karena penerapan ekonomi kapitalis neo-liberal oleh pemerintah. Penerapan ini tentunya akan senantiasa meniadakan peran pemerintah sebagai pengurus urusan rakyat, dan hanya menjadikan pemerintah sebagai regulator yang menerapkan berbagai kebijakan tanpa memperdulikan kondisi realitas rakyat. Kebijakan yang diterapkan pemerintah pun senantiasa condong kepada para pemilik modal yakni para pengusaha, korporasi, importir dan berbagai pemain industri besar lainnya.
Sedangkan kondisi para petani dan masyarakat umum tidak lagi menjadi pertimbangan dalam pengambilan suatu kebijakan. Bahkan akibat penerapan UU Ciptakerja beberapa saat yang lalu, menegaskan kepada kita bahwa pihak swasta diberi ijin bebas dalam menguasai berbagai sektor-sektor penting termasuk sektor pertanian. Akhirnya dengan mudah mereka melakukan impor bahan baku tanpa lagi memperdulikan penyerapan ketersediaan bahan baku dilapangan.
Rezim korporatokrasi ini secara nyata sedang bergulir ditengah-tengah kita. Pemerintah secara perlahan beralih kepada sistem yang beasaskan pada para korporat dan tidak lagi memperhatikan kesejahteraan rakyat. Pemerintah hanya menggantungkan pemenuhan kebutuhan rakyat kepada impor, sehingga perlahan mematikan para produsen dalam negeri dan produk-produk dalam negeri termasuk komoditas pertanian. Inilah dampak domino dari penerapan demokrasi kapitalis yang sejatinya menerapkan kebijakan yang dibuat sebatas akal manusia. Manusia dipaksakan untuk membuat aturan sendiri dengan keterbatasan akal dan besarnya nafsu duniawi mereka, akhirnya kebijakan yang dilahirkan hanya menjadi bumerang yang menimbulkan berbagai masalah baru ditengah-tengah masyarakat.
Tentunya hal ini sangat bertentang dengan penerapan Islam kaffah, Islam hadir dengan kesempurnaanya sebagai solusi dari setiap problematika kehidupan manusia. Bahkan didalam islam juga banyak didapati berbagai kebijakan yang berkaitan dengan ekonomi dan pertanian. Selain itu tugas seorang pemimpin dalam Islam adalah sebagai pelayan (ra’in) dan pelindung (junnah) bagi rakyatnya, sehingga wajib hukumnya bagi pemerintah menerapkan kebijakan yang mensejahterakan rakyat.
Sebagaimana yang terjadi pada kegemilangan masa Khilafah selama 13 abad dengan luas pemerintahan mencapai 2/3 dunia. Kesejahteraan rakyatnnya bahkan meliputi wilayah Afrika hingga ke seluruh wilayah kekuasaan Islam. Demikianlah ketika syariat Islam diterapkan seara kaffah maka yang terjadi adalah kesejahteraan dan limpahan berkah dari langit dan bumi, sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-A’raf ayat 96 :
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَىٰ آمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَٰكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan karena perbuatannya.” Wallahu a’lam bishawab.