Oleh : Ratna Kurniawati (Aktivis Remaja)
Ide pemindahan Ibukota memang sudah ramai diperbincangkan bahkan di awal tahun 2007 pada awal pemilihan gubernur Jakarta.
Hal tersebut dikarenakan Jakarta dinilai tidak mampu mengatasi banjir dan kemacetan lalu lintas.
Apakah dengan membangun dan menata Kota Baru pasti akan memicu pengeluaran dana yang tidak sedikit?
Bukankah itu juga akan menambah persoalan masyarakat menjadi tambah ruwet? Apa ada jaminan ketika berpindah Ibukota tidak akan terkena banjir? Macet?
Dikutip dari harian Kompas.com pada 1950, hutan pulau Kalimantan (hijau tua) digambarkan masih mendominasi sebagian besar wilayah pulau tersebut. Kemudian, berturut-turut dari tahun 1985, 2000, 2005, 2010, dan 2020, terlihat bahwa area hutan (hijau tua) semakin mengecil.
Penggundulan hutan dikaitkan sebagai penyebab terjadinya banjir yang kini melanda wilayah Kalimantan Selatan, dan menyebabkan lebih dari 20.000 warga harus mengungsi.
*Pemindahan Ibukota Harus di kaji Ulang*
Keputusan untuk memindahkan Ibukota merupakan keputusan yang besar dan memakan biaya yang sangat mahal. Dilansir sesuai dokumen RPJM 2020-2024 yang diperoleh CNBC Indonesia, pembangunan Ibukota Negara memakan porto Rp 466,98 triliun. Dana ini berasal dari APBN, swasta dan kerjasama Pemerintah dan Badan perjuangan (KPBU) untuk pembangunan proyek ini, porsi pembiayaan berasal dari APBN hanya akan lebih kurang 19 persen serta sisanya kurang lebih 81 persen akan dilakukan oleh investor. Seharusnya pemerintah lebih bijak dalam memanfaatkan anggaran lebih konfrensif, berpikir jangka panjang bukan hanya jangka pendek. Dengan menambah anggaran otomatis utang akan membengkak. Padahal masih banyak kebutuhan lain yang sangat mendesak seperti pemulihan ekonomi dan kesehatan publik di masa pandemi yang belum berakhir.
Apa ada jaminan yang lebih solutif ketika pindah Ibukota? Atau hanya akan menambah deretan hutang luar negeri dan permasalahan dalam Negara?
Sebelumnya, komitmen awal dari pemerintah adalah mendorong investor sebagai motor penggerak utama dalam pembangunan bukan dari APBN yang memberatkan Negara, namun berdasarkan pengalaman proyek infrastruktur yang sudah ada,jangan sampai sudah dibangun akhirnya mangkrak karena soal pendanaan.
*Bagaimana perspektif Islam?*
Dari uraian di atas bahwa keputusan pindah Ibukota hanya mementingkan kepentingan segelintir pihak dan mengabaikan kepentingan masyarakat secara umum.
Didalam sistem Kapitalisme memang selalu menempatkan kepentingan kapital sebagai kepentingan utama . Hal ini sungguh berbeda dengan sistem Islam yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan dan penguasa hanya sebagai pemegang amanah umat untuk memimpin dan mengatur dengan syariat Islam.
Negara wajib memastikan seluruh kebijakannya adalah demi kemaslahatan rakyat dengan landasan keimanan dan ketakwaan.
Sungguh hanya dengan sistem Islam lah kebijakan pro rakyat bisa terwujud. Selama masih menggunakan sistem Kapitalis maka hanya kebijakan yang pro pemilik modal atau kapital. Wa’alahualam bishawab.