Oleh: Amalidatul Ilmi S.Pd (Pengampu MT Sobat Surga Remaja Gresik)
Hingga hari ini Indonesia masih dirundung duka akibat pandemi. Namun ditengah kondisi seperti ini DPR dan pemerintah justru telah bersepakat untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak.
Pilkada akan diselenggarakan pada 9 Desember 2020 di 270 daerah se-Indonesia. Keputisan ini disadasari pada Perlu No.12 Tahun 2020 tentang pilkada yang juga telah di teken oleh Presiden Jokowi.
Dalam penyelenggaran pilkada ini KPU pun mengajukan tambahan dana sebesar Rp 4,7 triliun. Kemudian Bawaslu juga mengajukan tambahan dana sebesar Rp 478 Miliar.
DKPP pun juga mengajukan dana sebesar 39 Miliar untuk anggaran persediaan handsanitizer, termometer, disinfektan, masker untuk petugas dan APD disetiap tempat pemungutan suara (TPS).
Tentu dengan kasus Covid-19 yang masih tinggi di Indonesia. Keputusan ini wajar mendapat kontra dari beberapa pihak. Salah satunya dari Anggota Komisi II DPR RI Mardani Ali Sera.
Mardani mengatakan bahwa sejak awal keluarnya Perpu ia telah mengusulkan penundaan pilkada serentak 2020. Karena menurutnya di tahun berat adanya pandemi seharusnya fokus pemerintah berjuang keras untuk menanggulangi wabah. Serta mengurangi dampak penyebabnya.
Pemerintah pun telah berkomitmen untuk memberikan pendanaan pilkada kali ini tahap pertama Juni sebesar Rp 1,024 Triliun. Bahkan aneh jika pemerintah tetap ngotot melaksanakan pilkada meski sangat mengancam keselelamatan nyawa rakyatnya.
Demokrasi Sistem Dzolim Minus Empati
Semua ini adalah konsekwensi dari sistem demokrasi liberal yang diterapkan di negeri ini. Sebab dalam meraih kekuasaan didasarkan hanya pada suara terbanyak. Dengan anggapan bahwa suara terbanyaklah yang akan bisa mewakili aspirasi rakyat.
Kenyataannya justru jauh panggang dari api. Akan tetapi yang dimaksud rakyat adalah segelintir pemilik modal. Karena untuk memperoleh suara yang besar dalam sistem demokrasi dibutuhkan kampanye masif yang cukup lama.
Tentu hal ini harus disokong banyak dana yang besar. Maka dari itu tidak akan mungkin dana tersebut hanya dari kantong pribadi. Melainkan disokong oleh partai dan para pemilik modal.
Maka tak heran kebijakan pemimpin terpilih sarat dengan memuluskan kepentingan besar para kapital. Apalagi masa jabatan yang terbatas hanya maksimal 2 periode. Dimana 1 periode hanya 5 tahun menjadikan penguasa fokus mengembalikan dana modal pemilu dan memperkokoh kekuasaannya.
Akhirnya terjadilah lingkaran oligarki. Dimana negeri ini diatur hanya oleh segelintir orang saja yang memiliki kepentingan sendiri. Sementara urusan rakyat terabaikan dan tak terurus.
Islam Satu Kepemimpinan Unggul Sepanjang Masa
Kedzoliman penguasa saat ini sungguh saat mudah diselesaikan dalam sistem Islam yakni Khilafah. Negara Khilafah menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan Syariah dan kekuasaan di tangan rakyat. Artinya Syariat Islam menjadi hukum yang ditegakkan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah.
Islam telah menetapkan metode yang baku dalam pemilihan Khalifah. Yakni, hanya dengan baiat. Adapun pemilu langsung adalah salah satu teknis pemilihan Khalifah sebelum pembaiatan. Perwakilan juga menjadi pilihan dalam teknis pemilihan tersebut. Yaitu rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat (Majelis Ummah) yang akan memilih pemimpin.
Inilah pemilihan dalam Islam. Berbiaya murah namun sangat efektif menghasilkan output pemimpin yang berkualitas. Hal ini didasari oleh beberapa hal diantaranya:
Pertama, Islam telah mendudukkan kepemimpinan sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di dunia dan akhirat. Beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati.
Kedua, Islam menerapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan hanya 3 hari. Dalilnya adalah ijma’ sahabat pada pembaiatan Abu Bakar ra., yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah saw.
Batas waktu 3 hari ini akan membatasi masa kampanye. Sehingga tak perlu kampanye akbar yang menghabiskan uang dalam jumlah yang fantastis. Yakni pemilihan juga dibuat sederhana sehingga dalam waktu 3 hari pemilihan sudah selesai.
Ketiga, masa jabatan Khalifah tidak dibatasi atau bisa hanya sekali seumur hidup. Kecuali memenuhi syarat pemberhentian Khalifah yang ditentukan oleh syatiatatau meninggal dunia. Maka proses pemilihan akan dilakukan kembali.
Adapun dalam pemilihan wali yaitu penguasa (pejabat pemerintah) untuk suatu wilayah (propinsi) serta menjadi Amir (pemimpin) wilayah tertentu langsung ditunjuk Khalifah. Dengan kata lain wali adalah orang yang membantu Khalifah mengurus pemerintahan di suatu wilayah daulah.
Seorang wali akan diberhentikan jika Khalifah memandang perlu akan hal itu. Atau jika penduduk wilayah itu atau mereka yang menjadi wakil penduduk wilayah tersebut yakni Majelis Umat menampakkan keridakrelaan atau ketidaksukaan mereka terhadap walinya.
Sebagaimana Rasulullah saw sat menjadi kepala negara Madinah saat itu. Memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali di Yaman. Karena ada aduan tentang beliau akan bacaannya yang terlalu panjang saat mengimami sholat.
Demikianlah sistem Khilafah sehingga dana negara di Baitul Mal benar-benar dimanfaatkan secara optimal untuk kemaslahatan masyarakat. Termasuk saat terjadi pandemi. Maka Khilafah akan fokus memberhentikan penyebar luasan wabah dan menjamin kebutuhan masyarakat terdampak wabah.
Inilah sistem yang harus kita perjuangkan untuk kita wujudkan bersama. Meraih janji Allah atas kemenangan kaum muslimin dengan tegaknya syariat-Nya di muka bumi ini. Wallahua’lam bishowab. []