Oleh: Wisdiyanti (Ibu Rumah Tangga)
Dikutip dari CNN Indonesia — Kasus positif virus corona (Covid-19) bertambah 6.027 orang pada hari ini, Sabtu (5/12). Dengan demikian, total kasus positif Covid-19 di Indonesia sejak pasien pertama diungkap awal Maret lalu menjadi 569.707 orang. Dari data itu, penyebaran kasus positif Covid-19 dikhawatirkan terjadi lonjakan pada bulan ini. Terdapat tiga agenda nasional yang berpotensi menularkan virus corona, pertama pemungutan suara Pilkada 2020 pada 9 Desember dan kedua libur panjang Hari Raya Natal dan Tahun Baru 2021, dan yang ketiga pembukaan sekolah.
Namun di tengah kasus Covid-19 yang menyebar tak terkendali di 34 provinsi di Indonesia, tidak menyurutkan keinginan Pemerintah Indonesia untuk tetap mengadakan perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2020 pada Desember ini.
Terkait pilkada ini, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Hamdan Zoelva, mengungkapkan keprihatinannya karena 70 orang calon kepala daerah terinfeksi virus COVID-19. Tak hanya para calon kepala daerah saja, penyelenggara pemilu juga tak luput dari serangan COVID-19. Sudah sebanyak 100 orang petugas KPU terkena COVID-19. Jumlah ini tentu bukan jumlah yang sedikit.
Sejumlah ahli epidemiologi mengingatkan pemerintah akan pelbagai risiko yang membayangi saat Pilkada Serentak 2020 tetap digelar kendati di tengah pandemi virus corona. Sebanyak 100.359.152 pemilih di 309 kabupaten/kota bakal terlibat dalam pemilihan ini. Potensi kerumunan saat pencoblosan yang akan datang menurut epidemiolog dari Universitas Airlangga (Unair) Laura Navila Yamnani harus jadi catatan khusus pemerintah. Apalagi mengingat setelah itu juga ada waktu libur panjang. Menurutnya, kasus positif Covid-19 berpotensi melonjak dan bakal membahayakan jika pemerintah abai.
Namun alih-alih menunda pelaksanaan pilkada serentak, nampaknya pemerintah akan tetap memberi lampu kuning demi terselenggaranya pesta demokrasi di Indonesia ini. Dan tentunya kerja pemerintah yang seharusnya terfokus pada penanganan wabah menjadi terabaikan karena sibuk mengurusi pesta demokrasi.
Sebagaimana kita pahami bersama juga, sudah bekali-kali berganti pemimpin yang ada, faktanya tetap saja demokrasi sejatinya tak pernah melahirkan pemimpin yang amanah serta menyejahterakan rakyat. Apalagi di tengah berbagai masalah yang muncul ketika pandemi ini, pemimpin yang ada masih belum juga bisa mengatasinya. Dalam kesemrawutan hidup seperti ini, masih layakkah pesta demokrasi ini kemudian dilaksanakan? Layakkah nyawa rakyat dikorbankan?
Penguasa negeri ini makin memperjelas posisinya di hadapan rakyat, bahwa mereka berkuasa untuk semata-mata mengamankan jalannya sistem demokrasi. Mengabaikan nyawa rakyatnya sendiri. Jika pun harus rakyat mati, demokrasi harus berjalan dengan baik, hal itu tak menjadi soal bagi mereka.
Karenanya jelas sudah demokrasi memang sistem yang tidak manusiawi, sistem rusak yang hanya mementingkan kekuasaan semata. Sebagai muslim yang mengimani Islam tentunya selayaknya kita buang jauh-jauh sistem rusak ini dan menggantinya dengan sistem yang diperintahkan Allah SWT untuk dilaksanakan dalam seluruh aspek kehidupan, yakni sistem Islam.
Dalam Islam, seseorang diangkat menjadi pemimpin untuk mengurusi rakyatnya secara sungguh-sungguh dan melindungi rakyat, baik dari ancaman kelaparan, kemiskinan, termasuk penyakit (dalam hal ini kerawanan tertular virus berbahaya seperti Covid-19 ini). Jika dibandingkan dengan sistem demokrasi, sistem Islam jauh lebih hemat, efektif dan efisien serta selalu mengutamakan keselamatan rakyat, ketikapun terjadi dimasa pandemi. Maka suasana keimanan yang ada dalam sistem Islam menjadikan penyelenggaraan aparatur negara Khilafah dapat berjalan dengan amanah. Kinerja pemimpin daerah akan senantiasa dikontrol Khalifah atau orang-orang yang ditunjuk Khalifah. Karenanya cara pemilihan dan pelaksanaan model kepemimpinan dalam Islam ini akan sangat efektif dan efisien.
Wallohu’alam Bi Shawwab.