Oleh: Firda Umayah
Ditengah kondisi wabah Covid-19 yang masih melanda negeri, DPR RI bersama KPU RI dan Pemerintah menyetujui secara resmi bahwa Pilkada Serentak yang semula tertunda dapat dilanjutkan. Tepatnya pada hari Rabu, 9 Desember 2020. Hal itu dikuatkan oleh diterbitkannya Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilu Gubernur dan wakil Gubernur, Bupati dan wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan wakil Wali Kota Tahun 2020 (timesindonesia.co.id/18/06/2020).
Tekad bulat penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak tahun ini telah memasuki tahapan kontestasi politik tingkat kepala daerah sejak Rabu, 24 Juni 2020. Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan bahwa pelaksanaan Pilkada tidak mungkin ditunda lagi. Sebab dapat mengorbankan ekonomi lebih banyak. Sedangkan kepala daerah yang menjabat pun tidak memiliki kewenangan secara definitif. Oleh karena itu, Mahfud MD meminta KPK agar aktif mengawasi pelaksanaan Pilkada serentak (suara.com/25/06/2020).
Penyelenggaraan Pilkada serentak yang akan digelar tahun ini bukanlah yang pertama terjadi di Indonesia. Mekanisme sistem dianggap efektif dan efisien untuk melangsungkan kepemimpinan yang ideal. Namun, ditengah meningkatnya wabah yang melanda negeri, apakah Pilkada ini merupakan jalan yang terbaik? Apa motif dibalik penyelenggaraan Pilkada serentak ini?
Jika diamati, ditengah kondisi ‘new normal’ yang dilaksanakan pemerintah, buruknya penanganan wabah dan kepengurusan rakyat masih terus dirasakan oleh rakyat negeri ini. Mahalnya tes kesehatan yang harus dilakukan, pengangguran yang terus meningkat seiring dengan peningkatan jumlah positif Covid-19, kenaikan tarif listrik dan kebutuhan lain, zonasi sekolah yang selalu membuat polemik, merupakan sebagian kecil atas penderitaan rakyat saat ini.
Pelaksanaan Pilkada di masa pandemi sejatinya hanyalah upaya untuk melanggengkan kekuasaan didalam sistem demokrasi. Sebab, demokrasi politik di Indonesia sarat akan kepentingan partai politik. Mahalnya biaya untuk membayar partai-partai pendukung hanya akan membuat para pemangku kebijakan melakukan upaya kriminalitas terhadap negeri. Menjual sumber daya alam yang sejatinya milik rakyat, melancarkan projek-projek para kapitalis akan dilakukan penguasa untuk mengembalikan modal pada masa pemilihan. Oleh sebab itu, tak khayal jika demokrasi yang berlangsung di Indonesia disebut demokrasi kriminal.
Hal itu tak terlepas dari sistem sekulerisme yang diemban oleh negara. Sistem sekulerisme meniadakan adanya peran agama dalam mengatur urusan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Walhasil sistem ini melahirkan para penguasa rakus yang haus akan kekuasaan dan kekayaan. Sistem ekonomi kapitalisme yang sarat akan kepentingan para pemilik modal juga telah menyebabkan kesenjangan ekonomi ditengah-tengah masyarakat. Sangat jauh berbeda dengan kepemimpinan pemimpin Muslim dalam sebuah negara yang berlandaskan Islam.
Dalam pemerintahan negara Islam (Khilafah Islamiyah), seorang kepala negara (Khalifah) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan pemerintahan berlandaskan syariat Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam pengelolaan sumber daya alam misalnya, negara tidak boleh menjualnya kepada asing atau para kapitalis atau rakyat. Sebab, sumber daya alam merupakan kepemilikan umum (rakyat) yang harus dikelola oleh negara.
Dalam masa pemilihan Khalifah, negara Khilafah juga melakukan proses pemilihan yang cepat, efektif dan terus terang. Pemilihan seorang Khalifah harus dilaksanakan hanya dalam waktu 3 hari sejak para calon Khalifah diumumkan. Syarat menjadi seorang Khalifah juga tak lepas dari ketentuan yang ditetapkan Islam. Masyarakat juga akan memilih calon Khalifah berdasarkan keimanan mereka kepada Allah SWT dalam rangka menjalankan syariat Islam bukan karena mendapatkan materi sesuap layaknya pemilihan didalam sistem demokrasi.