Pilkada Dalam Sistem Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ummu Aziz

 

Tanggal 9 Desember 2020 akan diselenggarakan Pilkada serentak diberbagai wilayah, Pilkada pada periode tahun ini diselenggarakan dalam kondisi pandemi yang belum usai. Entah apa yang dibenak elit dinegeri ini. Ditengah kondisi wabah covid-19 yang semakin parah, mereka tetap ngotot melaksanakan pilkada 2020. Dalam cuitan twitter Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva mengatakan “Prihatin 70 orang calon kepala daerah terinfeksi Covid-19, 4 orang diantaranya meninggal dunia,” (Bisnis.com, 2020). Meskipun banyak pihak yang mengusulkan agar pilkada ditunda, namun usulan tersebut ditolak mentah-mentah.

Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi, meskipun nanti dalam penyelenggaraannya diatur dengan protokol kesehatan seperti 3M (memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan). Namun kemungkinan akan muncul klaster baru tak dapat dielakkan. Pilkada 2020 menjadi titik penyebaran covid 19 semakin meluas, memaksakan Pilkada tahun ini tidak hanya bertentangan dengan aspirasi publik, namun juga akan menjadi skandal bagi demokrasi karena berpotensi menjadi ritual bunuh diri berjamaah, yang justru dipelopori oleh elit politik.

Beginilah sistem yang saat ini diterapkan yaitu demokrasi liberal. Aspirasi hanya sekedar aspirasi, keputusan mutlak ada ditangan penguasa. Karena logika demokrasi yang tidak memperdulikan nasib rakyat dalam hal kesehatan bahkan mengancam keselamatan rakyat. Hal ini menampilkan bobroknya Piilkada yang lahir dari rahim demokrasi. Maka wajarlah, karena dalam demokrasi politik bukanlah bagaimana mengurusi berbagai urusan dan kepentingan rakyat dengan sebaik-baiknya. Politik dijadikan lahan bisnis yang menjadi sumber kekayaan bagi individu maupun kelompok meskipun nyawa rakyat sebagai taruhannya. Seperti halnya saat ini, ngotot menyelenggarakan Pilkada di tengah pandemi. Karena pilkada hanya menjadi instrument penting dalam mempertahankan demokrasi. Kerusakan dan kedzoliman kepemimpinan demokrasi akan diperpanjang nyawanya melalui Pilkada. Dalam sistem demokrasi aturan bisa berubah rubah sesuai dengan pesanan elit kapitalis. Hal ini adalah wajar karena rezim yang sedang berkuasa harus membalas budi kepada korporasi yang telah membantu menduduki kekuasaan. Meskipun kebijakan tersebut sangatlah jelas merugikan rakyat.

Maka perlu ada perubahan sistem politik yang diterapkan di negeri ini. Sistem politik yang manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat, yaitu sistem Islam. Islam memandang politik sebagai pemeliharaan urusan rakyat berdasarkan ketentuan hukum syara. Seseorang yang dipilih oleh rakyat menjadi penguasa bukan untuk meraih kepentingan dirinya dan kelompoknya yang bersifat materi. Akan tetapi, sebagai penanggung jawab kepengurusan rakyat berdasarkan syari’at Islam. Sistem politik ini hanya akan terwujud dalam institusi Khilafah Islam. Khilafah meniscayakan adanya pemilu, hanya saja biaya yang dibutuhkan sangat rendah. Pemilu diperuntukkan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendak rakyat dalam memimpin rakyat sesuai dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Dapat memilih kepala negara dan wakil mereka di majelis umat melalui pemilu. Tugas majelis umat menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sedangkan kepala daerah baik wali (gubernur) dan amil (wali kota) diangkat langsung oleh Khalifah. Sehingga tidak dibutuhkan adanya Pilkada untuk itu. Sistem seperti ini sangat hemat biaya. Pemilihan kepala daerah dalam sistem Khilafah jauh lebih efisien dan efektif ketika tuntutan islam dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah itu diterapkan, tentu dalam kerangka sistem pemerintahan islam, maka kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *