Perubahan Hakiki : Aksi Demo atau Islam Kafah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Khaulah
Aktivis BMI Kota Kupang

Ibarat mimpi di siang bolong. Begitulah, rakyat tak mungkin luput dari kecewa tatkala masih memintal harapan dari sistem kapitalisme. Lugasnya, harapan itu sekedar fatamorgana, tak lebih. Lihat saja, sudah berkali-kali diketuknya palu pengesahan Rancangan Undang-Undang pun keputusan hal lainnya. Penolakan atasnya pun kerap kali dijumpai. Tetapi, kejadian seperti itu bahkan kembali berulang.

Seperti yang baru-baru ini terjadi. Adalah perihal disahkannya UU Ciptaker. Rakyat tak tinggal diam. Terbukti dengan serentetan aksi demo menyuarakan ketakberpihakannnya. Di Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) pun terjadi hal demikian. Berdasarkan yang diliput dalam laman www.victorynews.id, 08 Oktober 2020, mahasiswa melakukan aksi demo di depan gedung DPRD Provinsi NTT guna menolak pengesahan UU Ciptaker.

Selain itu, mahasiwa pun mendesak DPRD NTT untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait penolakan terhadap UU Omnibus Law ke DPR RI. Hal ini karena undang-undang tersebut condong pada para pemodal, tak berpihak pada rakyat kecil. Padahal tampak jelas dampak ke depannya pasca disahkannya UU ini. Terkhusus di NTT, ialah antara lain memperparah ketimpangan lahan yang sebelumnya telah mewabah.

Tuntutan para aksi, terkhusus mahasiwa tentu karena mereka menyadari akan perannya sebagai agen perubahan. Mereka tentu tak tinggal diam atas kezaliman pun ketakadilan yang mendera rakyat kecil. Apalagi melihat para penetas kebijakan yang justru bersantai, merasa lumrah dengan dalih kebijakan yang dibuat adalah untuk rakyat.

Mahasiswa sadar betul akan perannya untuk kebaikan rakyat. Kelihaian beretorika, kecerdasan dan kekuatan fisik digunakan untuk menyambung lidah rakyat. Tetapi, tepatkah jika mahasiswa menolak kebijakan hanya dengan aksi demo? Bisakah membuat para pembuat kebijakan tak melahirkan kebijakan-kebijakan yang menindih rakyat kecil lagi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat beberapa hal lebih lanjut. Pertama, ini bukanlah kali pertama terjadi penolakan atas kebijakan yang dibuat para petinggi. Kedua, aksi demo guna menolak kebijakan yang telah diketuk palu pun sudah berulang kali dilakukan. Tampak bahwa rakyat sadar kebijakan yang dibuat bukanlah suara rakyat. Oleh karena itu, mari kita berkaca dari kejadian-kejadian tersebut.

Adalah suara mahasiswa yang didengar oleh para petinggi negeri. Namun, tetap saja kebijakan-kebijakan yang lahir setelah itu kekal mengenyangkan para pembuat kebijakan pun para kapitalis. Bagian rakyat, tak lebih sekedar ampas.

Mengapa begitu? Tentu karena standar perubahan bukanlah dilakukan demo atau tidak. Standar perubahan bukanlah suara para pendemo didengar para petinggi negeri atau tidak. Dilakukan demo atau tidak, didengar oleh para petinggi negeri atau tidak, tak membawa dampak perubahan yang hakiki. Karena selama yang menjadi asas berjalannya roda kepemimpinan adalah selain Islam, percayalah seluruh problematik tak terselesaikan. Jika pun dipecahkan, sekedar menyentuh daunnya. Untuk akar, kokoh bercokol.

Dengan asas sekularisme, demokrasi Kapitalisme meniscayakan lahirnya peraturan dari tangan si lemah, manusia. Dengan kebebasan yang dianutnya, sebut saja kebebasan hak milik maka ketimpangan bak porselen dan tanah liat setia ada.Manusia dengan segala kelemahan, keterbatasan dan serba kekurangan tentu tak bisa mewujudkan keadilan bagi semesta. Peraturan dibuat tentu akan condong pada salah satu pihak dengan rakyat sebagai tumbalnya. Apalagi kapitalisme memandang negara yang baik adalah negara yang berfungsi sebagai legislator, tak lebih.

Sehingga, walau demo penolakan dilakukan berulang kali tentu akan setia lahir kebijakan yg pro pembuat kebijakan  dan kroninya. Perubahan yang diraih pasca demo bersifat temporer belaka. Juga tak dapat menyelesaikan problematik rakyat secara menyeluruh. Lantas, adakah cara lain mewujudkan perubahan hakiki? Perubahan yg memberi solusi sahih, menepis kezaliman dan ketidakadilan serta mengatasi setiap problematik yang ada.

Tentu ada, yaitu meninggalkan sistem demokrasi dan menggantikannya dengan sistem yang sahih, ialah sistem Islam. Sistem Islam memuat seperangkat aturan yang lahir dari Allah, Yang Maha Mengetahui. Sehingga, aturan Islam apabila diterapkan dapat menjamin kesejahteraan bagi setiap elemen masyarakat. Apalagi aturan Islam menjangkau seluruh ranah kehidupan manusia. Sehingga tak heran, tatkala Islam diterapkan pada setiap lini kehidupan, maka membawa rahmat bagi semesta alam.

Lebih lanjut, Islam memandang negara sebagai pelayan rakyat. Yaitu bahwa negara memiliki kewajiban mengurus rakyatnya. Dalam hal ini, negara menjamin pelayanan kebutuhan demi kemaslahatan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan dia bertanggung jawab terhadap rakyatnya” (HR. Muslim dan Ahmad).

Dengan fungsi seperti itu, negara akan berikhtiar memberi sumbangsih demi kesejahteraan rakyat. Kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan dan papan serta kebutuhan dasar umat seperti keamanan, kesehatan dan pendidikan wajib dipenuhi oleh negara. Sikap pemimpin negara jauh dari kekentalan akan perhitungan ekonomi ketika dihadapkan dengan melayani rakyatnya.

Lalu, bisakah negara melaksanakan kewajibannya sesuai pinta Islam? Don’t worry! Kapabilitas pemimpin dalam payung sistem Islam tak diragukan. Mereka mempunyai akidah Islam yang luar biasa. Lisan pun perbuatannya berdasar pada syariat Islam. Apalagi mereka sadar betul bahwa kekuasaan adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan. Sehingga demi kemaslahatan rakyat, mereka akan berhati-hati dalam bertindak.

Dari sini, terlihat jelas bahwasanya perubahan hakiki hanya dapat terwujud tatkala adanya perubahan sistem. Adalah dengan menerapkan syariat Islam secara kafah (sempurna) dalam naungan sistem Islam. Sebaliknya, aksi demo mengantarkan pada perubahan temporer belaka. Sehingga, patutlah satu pertanyaan untuk mahasiswa, generasi muda yang melekat padanya agen perubahan, “Kekuatan dan kecerdasan-mu apakah diperuntukkan pada perubahan temporer belaka? Tak rugikah?”.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *