Oleh: Afiyah Rasyad (Aktivis Peduli Ummat)
Di tengah kasus pandemi yang masih menukik tajam. Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) pada 6 Januari 2021. Penyebabnya karena semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia. Pro dan kontra pun timbul pascapenerbitan perpres tersebut.
Dalam pertimbangan perpres yang menjadi payung hukum penanggulangan ekstremisme, disebutkan bahwa dalam rangka mencegah dan menanggulangi ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan adanya langkah komprehensif. Untuk itu, perlu dilakukan dengan memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan (detik.com, 17/1/2021).
Tentu apa yang dilakukan pemerintah demu kebaikan bangsa dan rakyat. Namun, pengamat terorisme dan koalisi sipil menilai perpres tersebut rawan disalahgunakan oleh kelompok tertentu. Pasalnya, kejelasan batas ekstremisme di Indonesia masih kabur. Masyarakat diperbolehkan untuk melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok yang ditengarai sebagai seorang ekstremis. Hal itu diperkenankan dalam Perpres tersebut.
Lahirnya Perpres RAN PE ini mengindikasikan bahwasanya pemerintah menganggap ekstremisme adalah hal yang mendesak untuk segera diatasi. Pasalnya, ekstremisme dinilai menciptakan kegentingan yang dapat mengancam keamanan dan stabilitas nasional.
Namun demikian, Pengamat Terorisme Ridlwan Habib mengataka bahwa definisi ekstremisme yang tercantum dalam RAN PE bersifat multitafsir dan terlalu luas sehingga sulit dipahami. Terlebih, masyarakat saat ini memahami ekstremis identik dengan seseorang yang mengenakan pakaian tertentu. Selain itu, penjelasan terkait ekstremisme harus rinci dan detail. Sehingga, tidak ditafsirkan macam-macam oleh oposisi atau pihak yang kontra terhadap pemerintah. Sebab, penjelasan prematur dapat memicu tudingan bahwa perpres tersebut sengaja digunakan untuk mengkriminalkan kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (bbc.com, 20/01/2021).
Ketika definisi ekstremisme tidak dijelaskan secara terperinci, hal ini bisa menyebabkan masyarakat memiliki asumsi yang berbeda dengan yang dimaksud Perpres RAN PE. Jika batasan paham apa saja yang dapat dikategorikan ekstremisme tidak dijabarkan, bisa menyebabkan validasi kebenaran sulit diterima.
Hal ini akan menumbuhkan kekhawatiran, bahwa definisi yang benar bisa jadi hanya milik orang yang berkepentingan. Ketidakjelasan definisi diduga akan menyebabkan adu domba antarmasyarakat dan akan memicu konflik yang justru menyebabkan perpecahan. Terlebih, ekstrimisme kerap diidentikkan dengan kaum muslim yang mengemban ajaran Islam.
Perlukah Perpres RAN PE ini? Sementara UU Terorisme bisa menjadi payung hukum terkait masalah ekstrimisme.
Sejauh ini, kaum muslim dan ulama yang mengemban Islam dipersekusi. Bahkan, ajaran Islam dikriminalisasi. Hal ini terjadi tak lepas dari pandangan hidup yang diadopsi oleh negeri ini, ideologi kapitalisme. Ketika ada yang bersuara lantang menyerukan kebenaran, namun hal itu bersebrangan dengan pandangan ideologi kapitalisme, maka persekusi bahkan kriminalisasi akan jadi jalan keluarnya.
Ideologi kapitalisme dengan asas sekularisme, yakni pemisahan agama dengan kehidupan tak lepas dari isu-isu ekstrimisme, radikalisme ataupun terorisme bagi kaum muslim yang mendakwahkan Islam. Pasalnya, jika Islam berjaya, ideologi kapitalisme akan runtuh.
Pertarungan ideologi ini tak dapat dimungkiri. Ideologi kapitalisme tak akan membiarkan Islam menggeser eksistensinya. War on terrorism sebagaimana yang diusung Bush Junior tahun 2000-an jelas ada korelasinya dengan kebijakan aksi terorisme saat ini. Walhasil, ideologi kapitalisme mendorong negara untuk melakukan tajassus (mata-mata) bahkan menangkap muslim yang menyuarakan ideologi Islam.
Sejatinya Islam adalah agama dan ideologi yang menjunjung tinggi persaudaraan berdasarkan ikatan aqidah Islam. Tidak diperkenankan dalam Islam melakukan adu domba dan saling curiga. Pasalnya, kedua hal itu bisa memicu benih-benih pertikaian dan permusuhan.
Dalam pandangan Islam, setiap mukmin adalah bersaudara. Di antara mereka harus saling taawun (tolong menolong) dalam kebaikan dan ketaqwaan.
Di dalam Islam tidak perlu adanya RAN PE karena sesama muslim saling berprasangka baik (husnudzon) dan berlomba-lomba dalam kebaikan (fastabiqul khoyrot). Islam akan mendorong negara menempuh upaya pencegahan ekstrimisme yang memicu munculnya sikap adu domba dan saling curiga antarmasyarakat. Upaya tersebut antara lain:
Pertama, pembinaan intensif dengan memberikan tsaqofah Islam dan menguatkan aqidah ummat. Sehingga, warga negara memiliki syakhsiyah (pola pikir dan pola sikap) Islam dan jawwil (suasana) keimanan yang kokoh. Selain pembinaan masyarakat, hal ini bisa diwujudkan lewat lembaga pendidikan yang dijamin negara, pendidikan yang menerapkan kurikulum berbasis aqidah Islam.
Kedua, membangun kesadaran politik ummat. Dimana politik Islam mengacu pada riayah syu-unil ummah (memelihata urusan ummat). Sehingga rakyat sadar terkait isu ataupun potensi gerakan ekstrimis.
Ketiga, menjaga persatuan ummat. Suasana persaudaraan akan dijaga betul agar meminimalisir konflik antarmasyarakat. Dengan demikian persatuan tetap terjaga.
Keempat, menindak tegas bagi individu ataupun kelompok yang melakukan bughot (penentangan) terhadap negara. Yakni, diberi peringatan dengan ketentuan syar’i, jika tidak digubris, mereka diperangi agar tidak menimbulkan kelompok bughot (separatisme) lainnya.
Demikianlah peran negara yang menerapkan ideologi Islam. Negara tidak akan menakut-nakuti rakyat dengan isu ekstrimisme. Saatnya kaum muslim serius memperjuangkan tegaknya Islam di bawah naungan khilafah sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw.
Wallahu a’lam bish showab.