Oleh : Shafaa Izzata Kamiila (Aktivis Dakwah Kampus)
Sejak Presiden Jokowi membuka izin investasi untuk industri minuman keras (miras), hal ini terus menuai pro kontra di masyarakat. Pasalnya, dengan adanya izin investasi ini, secara tidak langsung miras diperbolehkan untuk terus diproduksi secara massal dan diperjualbelikan untuk meningkatkan komoditas perdagangan Indonesia.
Alih-alih membawa keuntungan yang besar, miras malah memiliki banyak mudharat yang berbahaya bagi konsumen. Pakar Bidang Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan UGM Hempri Suyatna menilai, kebijakan investasi miras justru akan mendorong produksi miras kian tidak terkendali dan konsumsi miras semakin masif di masyarakat.
“Justru dampak negatif lebih kuat daripada positifnya meskipun itu hanya diberlakukan di empat provinsi saja,” kata Hempri, dilansir dari laman resmi ugm.ac.id.
Meskipun kebijakan yang tertulis hanya diberlakukan di empat provinsi saja, tetapi sebenarnya investasi itu juga terbuka untuk daerah lain. Syaratnya, harus mendapat ketetapan dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) berdasarkan usulan gubernur. (CNN.Indonesia). Sehingga tidak bisa dipungkiri perusahaan yang mendapatkan legalitas produksi tersebut akan memperbanyak kuantitas produk dan pastinya akan didistribusikan secara luas sehingga akan banyak beredar minuman keras di kalangan masyarakat.
Menurut Ekonom Indef Dradjad Hari Wibowo, Biaya yang dikeluarkan negara untuk industri miras ini akan lebih besar dibanding manfaat ekonominya (Republika, 01/03/2021).
Ia mempertegas pertanyaannya tadi dengan menggunakan studi yang ditulis Montarat Thavorncharoensap dalam 20 riset di 12 negara menyebutkan, beban ekonomi dari minuman beralkohol adalah 0,45 persen hingga 5,44 persen dari PDB.
Jika angka ini disimulasikan di Indonesia dengan hanya menerapkan angka yang dipakai di AS yaitu 1,66 persen maka hasilnya sudah tinggi. Dijelaskannya, PDB Indonesia pada 2020 adalah Rp.15.434,2 triliun jika dikalikan 1,66 persen maka hasilnya adalah Rp. 256 triliun. Apakah investasi miras di Indonesia akan menghasilkan Rp. 256 triliun?
Kemudian dilihat dari fakta bahwa miras juga memiliki dampak negatif bagi kesehatan. Seperti menyebabkan kerusakan saraf, gangguan jantung, mengganggu sistem metabolisme tubuh dan lain-lain.
Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan ketika seseorang mengonsumsi miras. Ketika seseorang kehilangan kesadaran bisa saja mereka melakukan pembunuhan, pemerkosaan, pencurian, dan kejahatan-kejahatan lainnya.
Seperti kasus terbaru, seorang oknum polisi dalam keadaan mabuk menembak 4 orang. Tiga di antaranya meninggal. Salah satunya anggota TNI (Kompas.com, 26/02/2021).
Pakar Ekonomi Syariah, Dr. Arim Nasim, mengungkapkan, sebenarnya akar masalah miras bukan Perpres dan UU Cipta Kerja, tetapi sistem ekonomi kapitalis karena miras adalah barang yang boleh diperjualbelikan.
“Kapitalis tidak pernah memperhatikan dampak negatif terhadap masyarakat. Selagi masih ada yang membutuhkan, maka barang itu akan ada di tengah masyarakat dan dilegalkan oleh negara,” tegasnya.
Sistem ekonomi kapitalis hanya memperhatikan seberapa besar keuntungan yang mereka dapat dan mengabaikan apakah yang dilakukan itu berdampak negatif bagi masyarakat atau dilarang oleh aturan agama. Sehingga wajar jika mereka berpikir untuk memberi izin investasi minuman keras ini.
Wajah sistem kapitalis sekuler memang tidak bisa disembunyikan. Semuanya terpampang nyata pada setiap kebijakan yang ada. Miras dan prostitusi yang dianggap membawa manfaat dan keuntungan bagi pihak pemodal, wajar jika terus dipertahankan melalui kebijakan legalitas, pengaturan atau lokalisasi.
Satu-satunya cara untuk mengatasi problem dari miras ini adalah dengan menerapkan sistem Islam.
Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan Asy-Syari’, Sang Pembuat hukum, yaitu Allah Swt.. Manusia tidak berhak membuat aturan sendiri. Hukum yang diterapkan haruslah berdasarkan syariat Islam. Manusia hanya pelaksana hukum Allah.
Dalam Al-Qur’an miras/khamr jelas-jelas dilarang oleh Allah, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
يٰۤاَ يُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَا لْمَيْسِرُ وَا لْاَ نْصَا بُ وَا لْاَ زْلَا مُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَا جْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
(QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 90)
Begitu pula dalam hadis yang diriwayatkan oleh imam Abu Daud dan imam Al-Hakim dari sahabat Ibnu Umar r.a.
وَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ: {لَعَنَ اللهُ الْخَمْرَ وَشَارِبَهَا وَسَاقِيَهَا وَبَائِعَهَا ومُبْتَاعَهَا وعَاصِرَهَا وَمُعْتَصِرَهَا وَحَامِلَها وَالْمَحْمُوْلَةَ إِلَيْهِ وَآكِلَ ثَمَنِهَا}
Nabi saw. Bersabda, “Allah melaknat minuman keras, orang yang mengkonsumsinya, yang menuangkannya (kepada orang lain), penjualnya, pembelinya, pemerasnya, orang yang meminta untuk memeraskannya (membuatkan minuman keras), pembawanya, orang yang meminta untuk membawakannya, dan orang yang memakan hasil dari penjualannya.”
Pada kedua dalil di atas terbukti bahwa Allah benar-benar akan melaknat orang-orang yang berhubungan dengan miras, baik itu yang memproduksi, menjual, mengkonsumsi hingga yang membawanya saja juga dilaknat oleh Allah.
Sistem Islam akan terus berpedoman kepada Al-Qur’an, Sunah, Ijmak Sahabat, dan Qiyas, sehingga dalam keadaan apapun Islam akan berupaya semaksimal mungkin untuk menjauhkan masyarakat dari bahaya minuman keras.
Hukum Islam tidak akan bisa diterapkan jika sistem yang diterapkan masih sistem kapitalis sekuler. Sehingga dibutuhkan sebuah negara Islam yang didalamnya diberlakukan hukum Allah secara kaffah yakni dengan menegakkan Khilafah Rasyidah ala minhaj an nubuwah di dunia.
Wallahua’lam bishawab.