Pernikahan Diksi dan DUDI di Masa Pandemi, Sungguh Tak Manusiawi!

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Muji Budi Lestari, S.Pd (Pendidik Sekolah Menengah, tinggal di kota Makassar)

Di tengah sulitnya ekonomi masa pandemi ini, pemerintah tak tanggung-tanggung menyiapkan dana Rp 3,5T dalam upaya pengembangan Pendidikan Vokasi (Diksi). Tujuannya agar Diksi berjodoh dengan dunia usaha dan dunia industri (DUDI), sehingga daya serap lulusan Diksi meningkat. Untuk itulah dirancang program-program seperti Bursa Kerja Khusus (BKK), Center of Excellence Sekolah Menengah Kejuruan, Gerakan Pernikahan Masal Kampus Vokasi.

Dirjen Pendidikan Vokasi Wikan Sakarinto dalam siaran pers, Senin (13/7) yang dikutip oleh jawapos.com menyebutkan, anggaran dana tersebut akan diberdayakan oleh sekolah, misalnya dalam paket program pembelian peralatan, sarana dan prasarana atau infrastruktur yang dilakukan sesuai masukan pihak industri, setelah menyepakati konten kurikulum, penjadwalan dosen tamu dari industri, dan pelaksanaan magang siswa atau mahasiswa di industri.

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 pasal 3 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, tujuan pendidikan nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Ini adalah cita-cita yang mulia dan menjadi harapan bagi masa depan Indonesia.

Namun cita-cita itu kini seakan tak realistis. Pondasi pendidikan Indonesia hingga saat ini masih pelik. Dikotomi pendidikan vokasi dan pendidikan akademik masih menimbulkan polemik. Kurikulum sering berganti, semakin menambah konflik. Berganti menteri, ganti pula kebijakan secara sistemik. Belum lagi kasus kerusakan moral peserta didik maupun pendidik yang semakin naik. Mampukah Diksi melakukan tindakan antisipatif?

United Nations World Population (UNWP), memperkirakan jumlah penduduk usia produktif Indonesia (15-64 tahun) mencapai 200 juta tahun 2030. Riset McKinsley Global Institute (MGI) yang diolah dari data BPS 2016 menunjukkan, tahun 2030 Indonesia membutuhkan tenaga kerja terampil 113 juta orang. Sementara tenaga terampil Indonesia saat ini baru sekitar 57 juta orang, tulis Fauzi Bowo, Duta Besar RI untuk Jerman dalam laman dw.com (25/12/2017).

Memang benar, negara wajib menyediakan pendidikan berkualitas sehingga peserta didik terampil. Sayangnya, Diksi yang hanya berorientasi industri semakin menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia ini tak punya misi. Diksi terpaksa harus mau didikte industri. Dimana permintaan industri akan berkembang sesuai mekanisme permintaan dan penawaran pasar yang dinamis. Apa yang dibutuhkan sekarang belum tentu dibutuhkan lagi di masa mendatang.

Bisa dibayangkan bagaimana jika satu jurusan favorit yang hari ini dibutuhkan oleh dunia industri tapi mungkin 3 tahun kedepan itu sudah tidak dibutuhkan lagi karena mekanisme pasar? Akan dikemanakan alumni jurusan ini agar tak menambah jumlah pengangguran lagi? Apakah itu sudah diantisipasi oleh Diksi? Sanggupkah Diksi menyiapkan penduduk usia produktif yang begitu berlimpah sebagaimana disebutkan dalam data di atas?

Jangan sampai bonus demografi Indonesia justru menjadi bencana demografi akibat hawa nafsu industri saat ini. Alih-alih ingin mencetak generasi mandiri, Diksi justru mencetak peserta didik bermental kuli, atau robot tak berhati. Sungguh, itu tidak manusiawi dan sangat jauh dari cita-cita para pendiri negeri. Maka perlu ada revisi agar Diksi tak hanya mengikuti tuntutan DUDI, tapi juga harus bervisi ukhrowi.

Pendidikan yang berkualitas adalah pendidikan yang mampu mencetak generasi menjadi hamba Allah sejati sekaligus khalifah fil ardhi (pengelola urusan dunia). Tak hanya berkarir melesat di dunia kerja tapi juga ahli agama. Benar jalan hidupnya dan memberi manfaat sebaik-baiknya bagi sesama. Sebagaimana sabda Nabi Saw: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni.)

Karena itulah Islam tidak mendikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Dalam Islam, semua ilmu dan teknologi wajib disandarkan kepada syariat Islam mengenai halal haramnya. Namun tetap dibuka peluang seluas-luasnya untuk berinovasi sehingga menjadi pionir dalam kemajuan teknologi. Tak heran, sepanjang sejarah Islam tidak dikenal istilah gaptek atau gagap teknologi, meskipun ia seorang ulama ahli fiqh.

Sebut saja Al Khawarizmi, ilmuwan di bidang geografi, matematika, dan astronomi abad 8-9M. Ia juga ahli di bidang lain seperti falsafah, musik, kimia, dan sejarah Islam. Ibnu Nafis, Bapak Fisologi Sirkulasi abad 13M, sekaligus ahli klasifikasi ilmu hadits. Jabir ibn Hayyan abad 8-9M ahli farmasi, kimia, dan fisika. Ismail Aljazari, ahli robotika, mekanik, pemimpin para insinyur abad 12M, serta ahli komunikasi yang handal. Dan masih banyak lagi tokoh Islam yang diakui di dunia barat maupun timur.

Kehebatan mereka itu tercipta karena mental pembelajar yang tinggi, lingkungan dan keluarga yang kondusif, serta dukungan dari negara berupa kebijakan politik yang visioner serta topangan ekonomi yang kuat dan mapan. Ya negara itu adalah Khilafah, yang mengadopsi seluruh syariat Islam dan menerapkannya sesuai metode kenabian. Khilafah mampu mencetak generasi terampil dan mandiri sekaligus bervisi surga. Keahlian yang mereka curahkan tak hanya untuk sekedar mencari nafkah tetapi untuk kebaikan seluruh umat manusia.

Maka dari itu wahai para pendidik mari kita bersatu untuk mewujudkan cita-cita mulia para pendiri bangsa. Yakni terciptanya generasi terbaik yang menjadi kebanggaan kita di dunia dan di surga. Hal itu hanya akan terwujud dengan memperjuangkan Islam kaffah. Jangan biarkan Diksi dan DIDU menikah paksa! Jangan biarkan generasi kita digerus oleh pemikiran kapitalisme yang hanya mengukur keberhasilan pendidikan dari tingkat daya serap di industri semata![]

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *