Oleh Sri Haryati (Ibu Rumah Tangga)
Belum lama ini Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Makarim telah menerbitkan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus. Aturan ini dimuat dalam Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 Tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang ditandatangani oleh Nadiem pada 31 Agustus 2021. (kompas.com, 27/10/2021)
Maksud hati ingin mencegah dan mengatasi kekerasan seksual, yang terjadi di lingkungan pendidikan tinggi malah mengundang kontroversi. Betapa tidak, aturan yang dipandang sebagian pihak sangat progresif dan memihak korban ini ternyata mengatur soal consent alias persetujuan. Konsep inilah yang menjadi acuan apakah sebuah tindak seksualitas termasuk ke dalam kekerasan seksual atau tidak.
Di dalam Pasal 5 ayat (2), misalnya, diperinci bentuk-bentuk perbuatan yang termasuk kekerasan seksual. Antara lain; menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban; memperlihatkan alat kelamin dengan sengaja tanpa persetujuan korban; menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman; mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban; mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban; membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh korban; menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban; membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban; dan memaksa korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual.
Perumusan norma kekerasan seksual dalam pasal 5 ayat (2) di atas, yang memuat frasa ”tanpa persetujuan korban”, mendegradasi substansi kekerasan seksual, mengandung makna ‘dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban (consent)’. Rumusan norma kekerasan seksual dalam pasal tersebut menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berdasarkan persetujuan. Standar benar dan salah tidak lagi berdasar nilai agama dan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi berdasar persetujuan. Dapat diartikan selama tidak ada pemaksaan, penyimpangan aktivitas seksual menjadi benar dan dibenarkan, meskipun dilakukan di luar pernikahan yang sah.
Hal inilah yang menjadikan sejumlah anggota DPR, MUI, Ormas Muhammadiyah, dan 30 ormas yang tergabung dalam Majelis Ormas Islam (MOI) menolak Permen PPKS ini. Mereka menganggap pasal yang tertuang dalam Permendikbud Ristek itu melegalkan zina lantaran ada konsep persetujuan (consent) atau suka sama suka dan dianggap tidak dilandasi nilai agama.
Kritik pun datang dari guru besar di sejumlah perguruan tinggi. Salah satunya Rektor Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta yang juga pakar kebijakan publik, Prof. Dr. Purwo Santoso. Ia menilai logika Permen ini liberal. “Logika (menteri) Nadiem itu logika liberal, yang jadi acuan itu perasaan dipaksa dan tidak dipaksa, consent, persetujuan. Itulah yang saya kira menjadikan ukuran-ukuran yang dipasang itu menjadi kontroversial,” ucapnya. (m.republika.co.id, 5/11/2021)
Meski ditentang sejumlah pihak, ada pula pihak yang mendukung isi Pasal 5 Ayat 2 Permendikbud No 30 Tahun 2021 tersebut, yaitu aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-Universitas Indonesia. Bahkan mereka mendorong aturan tersebut untuk segera diimplementasikan. Aliansi BEM se-UI juga menjelaskan Permendikbud PPKS ini tidak bertentangan dengan nilai agama. Bahkan aturannya sesuai dengan nilai agama, yaitu sama-sama menolak kekerasan seksual.
Selain itu, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga angkat suara soal kontroversi consent yang dimuat dalam Pasal 5 ayat 2 Permendikbud PPKS. Wakil Ketua DPP GMNI Bidang Pergerakan Sarinah, Fanda Puspitasari, mengatakan, “Kita tidak bisa memaknai frasa ‘tanpa persetujuan korban’ dengan pengertian legalisasi terhadap perbuatan asusila ataupun seks bebas.” Fanda menyoroti tujuan Permen PPKS untuk mencegah dan menangani kekerasan seksual di kampus. Jika ada yang khawatir akan legalnya zina dan seks bebas, sudah ada aturan lain yang mengatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. (news.detik.com, 15/11/2021)
Miris sekali. Akan seperti apa potret generasi kita di masa depan? Jika kalangan intelektual dan aktivis mahasiswa justru menganggap Permen PPKS sebagai solusi kekerasan seksual kampus dan menganggap rumusan makna kekerasan seksual “tanpa persetujuan” sudah benar sesuai HAM, meskipun melanggar nilai halal haram dalam agama. Tampak jelas mindset sekuler liberal sudah mewabah di perguruan tinggi akibat penerapan sistem pendidikan kapitalisme sekuler.
Harusnya, kampus gencar melawan liberalisme dan sekularisme yang terbukti menjadi biang keladi kerusakan moral generasi hari ini. Bukan sebaliknya menyetujui dan membiarkan liberalisme dan sekularisme mengakar dalam pendidikan. Semestinya, kampus menjadi tempat lahirnya Agent of Change (agen perubahan), sekaligus tempat lahirnya generasi terbaik calon pemimpin masa depan. Nyatanya, ini justru terfasilitasi dengan kebijakan yang menyempurnakan liberalisasi seksual yang hanya akan menjerumuskan para generasi aset bangsa menjadi pemuja syahwat.
Sungguh memprihatinkan jika Permen PPKS ini tidak dicabut, kampus tidak akan melahirkan calon pemimpin yang berakhlak mulia pencetak generasi gemilang namun akan melahirkan generasi bucin atau pemuja syahwat. Kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi pun akan tetap ada bahkan bisa semakin bertambah banyak. Karena solusi yang diambil hanya berdasarkan nilai materi, pragmatis dan tidak komprehensif.
Solusi ala sekuler yang dikeluarkan selama ini, seperti UU 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, UU 23/2004 tentang PKDRT, UU 44/2008 tentang Pornografi, UU 17/2016 sebagai revisi UU 35/tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, juga KUHP, belum cukup menghentikan laju kekerasan terhadap perempuan dan generasi. Beginilah jika solusi berdasar pada hukum ciptaan manusia, hanya berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah.
Inilah gambaran kehidupan dari penerapan sistem kapitalisme yang asasnya sekularisme. Sebuah sistem yang meniscayakan aturan kehidupan dipisah dari aturan agama, termasuk dalam lingkungan perguruan tinggi. Sehingga kebijakan yang dilahirkan dari sistem ini dibuat hanya berdasarkan pertimbangan kemaslahatan dan nilai materi semata, bukan berdasarkan petunjuk dari pencipta manusia.
Berbeda dengan landasan sekularisme yang melahirkan kebijakan berdasarkan manfaat dan materi. Islam justru melahirkan aturan kehidupan yang terikat dengan hukum-hukum yang berasal dari Allah Swt. Islam memberikan solusi bagi kasus kejahatan seksual, baik untuk penyembuhan (kuratif) maupun pencegahannya (preventif), dengan tiga mekanisme.
Pertama, adalah penanaman akidah bagi setiap individu, melalui pemberlakuan sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam. Akidah inilah yang akan menjadi benteng bagi setiap individu agar terhindar dari berbagai bentuk pelanggaran.
Kedua, mengingatkan pentingnya kontrol masyarakat. Sebab, individu merupakan bagian dari masyarakat yang saling membutuhkan antara satu sama lain. Saling menasihati dalam kebaikan dan ketakwaan, juga menyelisihi terhadap segala bentuk kemaksiatan.
Ketiga, pemberlakuan sistem hukum tegas, yang dapat berfungsi sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir artinya hukum yang berlaku mampu menjadi pencegah agar kejahatan yang sama tidak terulang kembali. Dan jawabir artinya hukum yang diberlakukan akan menjadi penebus dosa bagi pelaku. Contohnya, sanksi pelaku tindak perkosaan berupa had zina, yaitu dirajam (dilempari batu) hingga mati jika pelakunya muhshan (sudah menikah), dan jilid (cambuk) 100 kali dan diasingkan selama setahun jika pelakunya ghairu muhshan (belum menikah).
Di samping itu, berbagai tontonan melalui media televisi, elektronik, majalah dan sebagainya yang dapat memancing timbulnya syahwat seseorang tidak akan diizinkan penayangannya oleh negara. Sehingga berbagai bentuk penyimpangan seksual yang diharamkan dalam Islam, sekaligus yang menjadi perusak generasi pencetak peradaban gemilang tersebut dapat dihapuskan secara tuntas.
Semua ini akan terlaksana dengan baik jika ada institusi yang melaksanakan syariat Islam secara kafah yaitu Daulah Khilafah Islamiah, bukan institusi sekularisme liberal. Dengan demikian, satu-satunya jalan menuntaskan problem kekerasan seksual adalah dengan mencampakkan sistem sekularisme liberal dan menggantinya dengan Islam. Hanya sistem Islam yang mampu menutup celah keburukan hingga ke akar karena tegak di atas akidah yang lurus dan melahirkan aturan yang juga lurus.
Wallahu a’lam bishshawab.