Permendag Pelonggaran Miras, Kebijakan Liberal Bikin Was-was

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Ratna Sari (Mahasiswi Bengkulu)

 

Persoalan minuman keras memang menjadi hal yang harus diatur oleh negara. Negara wajib untuk melindungi generasi agar tidak mengonsumsi miras atau minuman keras. Namun ternyata justru negara mengizinkan bagi wisatawan asing untuk membawa minuman beralkohol 2500 ml, setelah sebelumnya melakukan perubahan pada pasal 27 Permendag Tahun 2014 yang mengatakan pengecualian bawaan minuman beralkohol boleh di bawah 1000 ml menjadi longgar. Hal tersebut diatur dalam Permendag RI No. 20 Tahun 2021 tentang kebijakan dan Pengaturan Impor. Kebijakan tersebut tentu saja memihak kepada wisatawan asing dan merugikan negara. Meskipun negara mampu manarik wisatawan asing, namun negara tentu akan mengalami kerugian karena akan merusak moral generasi akibat semakin banyaknya kuantitas beredarnya miras yang dibawa wisatawan asing, dan tentu adanya intraksi yang dilakukan wiswan dengan anak bangsa. Sehingga hal tersebut tentu akan merusak moral generasi anak bangsa.

Terkait persoalan Permendag RI No. 20 Tahun 2021 yang mengatur kebijakan impor, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis mengkritisi aturan tersebut. Menurut Cholil Nafis dalam keterangannya pada Minggu (7/11), Permendag RI No. 20 Tahun 2021 tentang kebijakan dan Pengaturan Impor ini memang memihak kepentingan wisatawan asing agar datang ke Indonesia, tetapi merugikan anak bangsa dan pendapat negara. (7/11/21, kumparan.com).

Tujuan dari dibuatnya peraturan tersebut tentu saja guna menarik wisatawan asing agar berkunjung ke Indonesia. Kita tentu mengetahuinya bahwa para wisatawan asing gemar mengonsumsi minuman beralkohol. Sehingga demi memulihkan sektor ekonomi Negara yang mengalami penurunan akibat pandemi yang tak kunjung usai, maka diperlukannya usaha yang keras agar dapat kembali meningkat. Salah satunya dengan cara menggenjot sektor pariwisata yang cukup banyak peminatnya tak terkecuali wisawatan mancanegara. Dengan begitu otomatis negara mendapatkan keuntungan yang berimbas pada naiknnya pendapatan negara,

Sejatinya aturan yang dibuat selalu saja mementingkan keuntungan materi, itulah watak dari sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini. Maka tak heran jika kebijakan yang dibuat bertujuan untuk menghasilkan keuntungan tanpa memikirkan apakah kebijakan yang dibuat merugikan generasi harapan bangsa. Bahkan kebijakan dibuat tidak berdasarkan standar dalam kacamata Islam, padahal notabenya masyarakat Indonesia merupakan mayoritas beragama Islam. Namun rupannya tidak menyurutkan pemerintah membuat kebijakan yang bertentangan dengan agama dan merugikan generasi. Karena standar mereka dalam membuat aturan atau kebijakan tidak dilandasi agama, namun didasari keuntangan materialistik. Sehingga buah dari kapitaslisme ini sendiri adalah sekulerisme-liberalisme, maka alhasilnya kebijakan yang dibuat berdasarkan pemisahan agama dari kehidupan dan tolak ukurnya adalah materi serta kebebasan.

Jika kita hendak mengamati, tidak bisa dipungkiri bahwa negara Indonesia merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah beragama Islam. Sehingga tentu saja bagi umat Islam standar dalam menjalankan kehidupan baik berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara haruslah terikat dengan hukum syara’. Maka dalam perkara minol masyarakat wajib untuk menolaknya meskipun wisatawan asing yang notabenya bukan beragama Islam, namun tetap saja tidak ada tawar menawar dalam hal tersebut. Karena bisa jadi adanya intraksi antara wiswan dan anak bangsa, dapat memicu hal-hal yang tidak diinginkan. Sehingga agar lebih terjaga harusnya pemerintah benar-benar memperhatikan kebijakan yang akan dibuat. Bukan justru negara yang memorakporandakan kebijakan yang menghancurkan generasi dan menyalahi syariat.

Padahal larangan minol sudah jelas dalam Islam, sebagimana Firman Allah SWT :

“Hai Orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keuntungan.” (TQS Al-Maidah : 90)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu sholat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk……….” (TQS An-Nisa : 43)

Juga dalam firman Allah :

“Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat dari mereak, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah “Yang lebih dari keperluan.” Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” (TQS Al-Baqarah : 219)

Dari beberapa ayat dan surah di atas jelas bahwa Islam melarang tegas baik mengonsumsi, membuat kebijakan yang menyetujui penggunaan minol, mengedarkannya, mendistribuskannya dan mebuatnya. Karena jelas minuman beralkohol atau khamr merupakan induk dari segala induk kejahatan, dapat merusak kesehatan dan mengilangkan kesadaran. Kehilangan kesadaran dapat mengakibatkan pengonsumsi mampu melakukan hal atau tindakan yang tidak diinginkan.

Dengan adanya peloggaran miras tersebut, tentu membuka mata kita bahwa kebijakan yang dibuat pemerintah selalu saja bertentangan dengan Islam. Padahal masyarakat negeri ini adalah mayoritas Islam. Tentu sudah seharusnya para pemerintah membuat kebijakan yang tidak bertentanga dengan hukum syara’, bukan justru dengan semena-menanya membuat kebijakan yang sudah tidak dibenarkan syara’, dapat merusak generasi bangsa pula. Bukankah kemajuan suatu peradaban berada pada pundak generasi? Maka sudah seharusnya kebijakan yang dibuat tidak merugikan generasi dan tidak menyalahi syariat.  Hendaklah sekiranya pemerintah mengayomi masyarakat, dan juga menyeru masyarakat untuk taat syariat. Karena bagi kaum muslim mereka wajib untuk menaati aturan yang sudah Allah berikan.

Kebijakan terkait pelonggaran miras ini tentu tidak akan ada selama aturan yang diterapkan berdasarkan syariat Islam. Namun karena sistem saat ini kapitaslime yang melahirkan sekulerisme-liberal maka buah dari aturan merugikan generasi dan menguntungkan pendapatan. Tak heran standar yang dibuat tidak berpatokan pada halal haram. Maka dari itu hendaklah setiap pemimpin menjalankan pemerintahan dengan mengambil Islam sebagai standar dalam menerapkan aturan dan kebijakan. Sehingga mampu menjalankan aturan Islam, termasuk dalam hal bernegara. Maka otomatis ketika Islam diterapkan minuman beralkohol benar-benar tidak akan diberi ruang untuk di legalkan dan tidak akan dikonsumsi oleh masarakat. Karena masyarakat yang hidup dibawah penerapan Islam, akan memiliki kesadaran penuh bahwa mereka wajib untuk tunduk pada syariat Islam dan tidak akan berani membangkak terhadap aturan yang sudah Allah berikan. Sejatinya aturan yang diberikan sang pencipta tentu yang terbaik untuk dirinya.

Dan setiap pemerintah dan pejabat negara hendaklah amanah dan bertanggungjawab terhadap kepemimpinannya, mengurusi dan mengayomi masyarakat dengan sebaik dan semaksimal mungkin. Serta mampu mempertanggungjawabkan kepemimpinannya, apakah jauh dari Islam ataukah ymenjadi garda terdepan dalam penerapan Islam. Karena setiap kepemimpinan kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.

Abdullah bin Umar r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW terlah bersabda, “Ketahuilah: kalian semua adalah pemimpin (pemelihara) dan bertanggungjawab terhadap rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyat yang dipimpinnya……”

Wallahua’lam Bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *