Perkawinan Industri dan Universitas, Apa Solusinya?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Khaulah (Aktivis BMI Kota Kupang)

Sungguh menggelitik. Begitulah kalimat yang sepadan disandingkan dengan kondisi pendidikan negeri ini. Bagaimana mungkin institusi yang seharusnya menyiapkan generasi perubahan, bekal untuk mencetak peradaban gemilang justru ‘dijodohkan’ dengan dunia industri ? Maka lihatlah hari ini. Para pelajar bak robot. Bekerja sesuai program yang dicanangkan pemerintah.

Seperti halnya yang dilansir dalam laman _kagama.co_,Selasa 26 Mei 2020 bahwa Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Vokasi, Wikan Sakarinto menargetkan tahun ini akan terjadinya perkawinan massal 100 prodi vokasi dengan puluhan bahkan ratusan dunia industri. Wikan teramat yakin bahwa program ini akan menguntungkan banyak pihak. Apalagi lulusan pendidikan vokasi akan dihargai di dunia industri terlebih karena kompetensinya yang selaras dengan tuntutan dunia kerja.

Hal senada juga diungkap oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim serta pemimpin negara, Joko Widodo pada laman _lensaindonesia.com_. Seperti kata Nadiem, pemerintah memiliki sejumlah peran yaitu sebagai pendukung, regulator, serta katalis. Pemerintah akan fasilitasi secara besar-besaran dan memastikan ‘perkawinan massal’ ini terjadi di seluruh Perguruan Tinggi (PT) Indonesia. Bahkan, Ia mengungkap akan mengapresiasi jika PT mampu menggalang partisipasi dan kontribusi dengan pihak industri.

Dari paparan ini cukup terwakilkan dengan sebuah kalimat mengenaskan, “berorientasi industri, pendidikan negeri minus visi”. Bahkan penguasa juga pemerintah yang hakikatnya sebagai pengurus hajat hidup warga negara termasuk di dalamnya pendidikan, berlepas tangan, menihilkan perannya. Mereka justru semakin mengokohkan peran kerdil lembaga pendidikan. Lihat saja, mereka betah pada tugas baru mereka yaitu sebagai pembuat aturan, melancarkan bahkan mempercepat ‘perkawinan massal’ ini. Ringkasnya, banjaran kisah pilu pendidikan karena mereka (pemimpin serta petinggi negara) lebih memilih menggunakan kacamata kapitalisme. Betah di bawah asuhan sekularisme-kapitalisme. Tidak lagi berstandar pada halal haram. Sebaliknya, yang terpenting adalah harus ada untung di setiap program, walau dengan upaya merobotkan manusia.

Dengan adanya janji diapresiasi oleh Mendikbud tentu membawa angin segar bagi pihak kampus. Sari kapitalisme yang bersemayam dalam diri berhasrat memanfaatkan kesempatan langka ini. Padahal jelas, adanya apresiasi adalah agar roda perkawinan antara industri dan universitas tak terhenti.

Adalah hal yang wajar jika semua pihak (lembaga pendidikan, dunia industri pun pemerintah) gigih melancarkan program ini. Tiada lain karena adanya profit yang menjanjikan.. Kapitalisme cantik memainkan perannya. Ulet mengajarkan arti kebahagiaan sebatas nilai materi. Menanamkan benih melenceng ke tengah-tengah umat bahwa pendidikan adalah komoditas yang menguntungkan dan memiliki nilai manfaat lebih. Hingga Lembaga pendidikan tak sadar jika perannya dikerdilkan dengan hanya mencetak generasi bermental buruh. Nasib mengenaskan tentu menimpa para generasi bangsa. Biaya kuliah menguras dompet, bangku kuliah nihil visi, pun mereka dirobotkan dengan masa depan yang dipertaruhkan.

Inilah karut marut negeri yang mengadopsi sistem kapitalisme. Pendidikan pun kena imbasnya, karena kapitalisme mengakar lantas menjamah setiap lini kehidupan. Generasi yang menyadari betul adanya kecacatan fatal kapitalisme, juga sadar akan perannya sebagai agent of change tentu tak akan berdiam diri. Sama halnya dengan masyarakat pada umumnya. Mereka bangkit, berjuang dengan menampilkan Islam sebagai solusi atas karut marut ini. Umat seperti ini juga sadar bahwa semestinya Islam wajib diterapkan secara sempurna. Seperti yang Allah firmankan dalam kalam-Nya : “Wahai orang-orang yang beriman ! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan…” (TQS. Al-Baqarah ayat 208).

Aturan Islam hanya bisa diterapkan secara sempurna dalam ruang lingkup negara Islam, Khilafah. Termasuk halnya pendidikan, semua lini kehidupan diatur berdasarkan akidah Islam. Negara berkewajiban mengurusnya. Tak boleh diserahkan pengurusannya kepada pihak ‘ketiga’. Dengan begitu, biaya pendidikan mahal tak lagi dijumpai. Pun visi pendidikan akan terlaksana sepenuhnya.

Terkait visi pendidikan, jika kita mengartikannya dengan bertumpu pada sekularisme-kapitalisme maka kurikulum yang dibuat berbasiskan akidah sekular. Generasi tak akan dijejali ilmu agama. Tetapi menyiapkan mereka menjadi generasi buruh yang siap memenuhi pasar-pasar industri para kapitalis. Sedangkan pendidikan dalam Islam bervisi membangun kepribadian umat manusia sebagai abdullah dan khalifah Allah di muka bumi. Ketika pendidikan dijalankan selaras dengan tujuan pendidikan, tentu akan lahir generasi cemerlang yang unggul, yang tak hanya terdepan dalam ilmu sains tetapi juga sebagai ulama besar. Karena pendidikan bagi mereka tak semata mengejar ijazah, kedudukan, materi berlimpah apalagi mengikuti program ‘perkawinan massal’ untuk mengejar target pasar. Lihat saja generasi yang lahir dalam kehidupan Islam. Mereka menguasai berbagai bidang ilmu. Misalnya Ibnu Sina, sang bapak kedokteran juga ahli filsafat. Ada juga Ibnu Khaldun, bapak pendiri historiografi, ahli sosiologi, ekonomi serta penghafal Alquran sejak usia dini. Dan masih banyak lagi ulama yang menguasai beberapa cabang ilmu.

Adalah bukti nyata bahwa generasi unggul nan cemerlang hanya lahir dan diasuh di bawah negara Islam. Oleh karena itu, apabila kita hendak mengembalikan kegemilangan tersebut maka tiada lain tiada bukan, kita juga harus mengadopsi aturan Islam secara keseluruhan seperti kala itu. Dan negara Khilafah-lah satu-satunya wadah sahih yang bisa mewujudkannya. Insya Allah.

Wallahu a’lamu bi ash-shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *