Perintah Agama Vs Toleransi Terhadap Keragaman

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Wahyu Utami, S.Pd (Guru di Bantul Yogyakarta)

 

Sejak pandemi Covid-19 melanda dunia tak terkecuali di Indonesia, sekolah menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Hal ini telah berlangsung hampir 1 tahun lamanya. Tak pelak, hal ini telah menciptakan kejenuhan baik bagi siswa, orang tua maupun guru. Sudah lama semua pihak menunggu terobosan baru dari Mendikbud Nadiem Makarim untuk mengatasi kejenuhan tersebut.

Tetapi awal tahun 2021 ini kado dunia pendidikan justru adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut di Lingkungan Sekolah. Salah satu point dalam SKB ini adalah larangan bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dan sekolah negeri mewajibkan atau melarang muridnya mengenakan seragam beratribut agama. Alasan yang dikemukakan oleh Kemendikbud adalah untuk membangun toleransi keragaman yang ada di sekolah.

Padahal di masa pandemi ini siswa sudah lama tidak merasakan memakai seragam sekolah. Jadi sangat disayangkan jika Mendikbud justru sangat cepat merespon kasus di Padang, Sumatra Barat dan lamban dalam terobosan KBM selama pandemi. Alhasil SKB ini sukses menciptakan kegaduhan antara menjalankan perintah agama vs toleransi terhadap keragaman.

Terkini penolakan terhadap SKB tiga menteri ini disampaikan oleh Wali Kota Pariaman Genius Umar. Ia menyatakan tak akan menerapkan larangan pewajiban atribut keagamaan di daerahnya. “Masyarakat Pariaman itu homogen. Tidak pernah ada kasus seperti itu (protes memakai jilbab). Jadi biarkan berjalan seperti biasa,” ujar Genius (Republika.co.id 16/2).

Di dalam Islam, hukum menutup aurat bagi seorang muslimah adalah wajib sama seperti wajibnya sholat fardhu. Rasululloh memerintahkan kepada orang tua agar mengajarkan sholat kepada anak sejak usia 7 tahun dan memukul mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan bila meninggalkan sholat pada usia 10 tahun. Rasululloh saw bersabda, “Ajarilah anak sholat oleh kalian sejak usia 7 tahun dan pukullah dia karena meninggalkannya bila telah berusia 10 tahun.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud)

Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat, usia anak dan remaja membutuhkan pembiasaan agar taat melaksanakan perintah agama tersebut. Selain itu juga butuh dipaksa oleh sistem baik keluarga maupun peraturan sekolah.

Oleh karena itu seharusnya Mendikbud tidak reaktif dan tergesa-gesa mengeluarkan SKB 3 menteri atas kasus yang terjadi di Padang, Sumatra Barat. Seharusnya hal ini dikaji lebih mendalam ditinjau dari aspek keselarasan dengan tujuan pendidikan untuk membentuk manusia beriman dan bertakwa. Peraturan ini akan kontradiktif dengan tujuan tersebut karena justru akan menggiring siswa bersikap liberal dan bebas nilai. Dekadensi moral pelajar akan semakin menjadi-jadi. Lalu mau dibawa kemana arah pendidikan Indonesia?

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *