Peringatan Hari Anak di Tengah Gentingnya Problem Anak

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Peringatan Hari Anak di Tengah Gentingnya Problem Anak

Oleh Khaulah

Aktivis Dakwah

 

Tahun ini tepatnya 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional (HAN) yang ke-40. Melansir dari situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia (KemenPPPA), tema HAN 2024 ini sama dengan tahun lalu yakni “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”.

 

Diketahui juga bahwa terdapat enam subtema yang dipilih pada peringatan HAN tahun ini yakni, Suara Anak Membangun Bangsa, Anak Cerdas Berinternet Sehat, Pancasila di Hati Anak Indonesia. Kemudian, Anak Pelopor dan Pelapor, Anak Merdeka dari Kekerasan, Perkawinan Anak, Pekerja Anak, dan Stunting; dan Digital Parenting.

 

Menteri PPPA, Bintang Puspayoga mengungkapkan, puncak perayaan HAN digelar di Jayapura, Papua, Selasa (23/7/2024). Papua dipilih sebagai lokasi pelaksanaan agar kemeriahan perayaan HAN juga dapat dirasakan oleh anak-anak di daerah terpencil dan terluar. (nasional.kompas.com, 18 Juli 2024)

 

Ada juga serangkaian acara menuju puncak HAN, salah satunya yaitu Festival Ekspresi Anak pada 18 Juli di Ancol, Jakarta. Acara ini diselenggarakan dengan tema “Anak Cerdas, Berinternet Sehat”. Festival ini dihadiri oleh sekitar 1000 peserta yang terdiri dari perwakilan forum anak dari 38 provinsi. Dalam kegiatan ini perwakilan Forum Anak Nasional (FAN) menyerahkan kumpulan aspirasi dari anak-anak di berbagai daerah, untuk dibacakan saat puncak perayaan HAN.

 

Peringatan HAN dari tahun ke tahun, mestinya membuat kita bertanya, “perubahan apa yang terjadi di kehidupan anak setelah begitu gempitanya perayaan hari anak?” Jawabannya, sungguh tidak ada perubahan bermakna. Sebaliknya, problem anak justru parah bak jamur di musim hujan, kian genting, buntu menemui solusi.

 

Dalam laman resmi kemenPPPA, terdapat 80 ribu anak di bawah usia 10 tahun terjerat judi online (judol). Berdasarkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, anak kategori usia < 10 tahun yang terlibat judol sebanyak 2 persen atau 47.400 anak dan usia 10 – 20 tahun sebanyak 11 persen atau 440.000 anak.

 

Kasus kekerasan pada anak juga marak terjadi. Data KemenPPPA menunjukkan, jumlah jenis kasus kekerasan terhadap anak mencapai 24.158 kasus yang dilaporkan sepanjang 2023. Kasus kekerasan ini meliputi kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, perdagangan, dan eksploitasi.

 

Jenis kekerasan yang paling banyak dari data di atas adalah kasus kekerasan seksual, yakni 10.932 kasus. Lalu kekerasan psikis terhadap anak sebanyak 4.511 kasus, kekerasan fisik 4.511 kasus, dan penelantaran anak 1.332 kasus. Ada pula korban eksploitasi anak 260 kasus, trafficking atau penjualan anak 206 kasus, dan jenis kekerasan lainnya 2.507 kasus.

 

Dari banyaknya kasus kekerasan pada anak ini, banyak pelaku yang justru datang dari orang terdekat korban seperti orang tua, kerabat, tetangga, guru, bahkan dari kalangan teman sebaya. Mirisnya, tindak kekerasan yang dilakukan bahkan luar akal sehat. Seperti seorang ibu muda yang mencabuli anaknya berumur 5 tahun karena diiming-imingi uang.

 

Problem berikutnya yaitu stunting pada anak yang juga masih tetap genting. Pada pertengahan tahun 2023 prevalensi stunting di Indonesia adalah 21,6 persen, sementara target yang ingin dicapai pemerintah adalah 14 persen pada 2024. Stunting sangat berdampak buruk pada kualitas hidup, karena bisa menyebabkan penyakit kronis dan ketertinggalan kecerdasan, padahal anak sejatinya pelanjut peradaban bangsa.

 

Sejatinya, masih terlalu banyak problem yang menimpa anak seperti kecanduan game online, kemiskinan yang menyebabkan tidak bisa diaksesnya pendidikan dan kesehatan, serta problem lainnya. Berbagai fakta ini tentu menghadirkan tanya, apa aksi nyata negara setelah perayaan HAN ini? Apakah hanya sekadar seremonial belaka? Karena pada faktanya, problem anak justru kian marak dan genting.

 

Apabila dianalisis lebih dalam, problem anak yang kian marak lantaran solusi yang dilakukan pemerintah tidak menyentuh akar masalah. Misalnya dalam hal kekerasan yang berujung pada melayangnya nyawa anak, pelaku hanya dihukum beberapa tahun penjara.

 

Terkait problem stunting, pemerintah menelurkan kebijakan pemberian makanan tambahan untuk meningkatkan status gizi anak, yang sejatinya tidak bisa didapatkan anak setiap harinya. Begitu pula pada problem lainnya, pemerintah memang memberi solusi tetapi tidak menyentuh akar permasalahan.

 

Peran keluarga dalam mendidik anak juga makin lemah. Hal ini salah satunya karena orang tua, ayah dan ibu lebih banyak menghabiskan waktu bekerja di luar rumah. Banyak anak kemudian dititipkan ke pengasuh atau sendirian di rumah lantaran sulitnya ekonomi. Sementara sistem pendidikan hari ini justru membentuk generasi sekuler, generasi yang kering keimanan. Begitu pula ekonomi, yang gagal membawa kesejahteraan lantaran hanya dikuasai oleh pihak-pihak yang memiliki kuasa.

 

Inilah potret kehidupan kita hari ini, yang apabila ditelusuri lebih jauh, ternyata berakar pada penerapan sekularisme kapitalisme oleh negeri ini. Keluarga tidak memiliki landasan keimanan, begitu pula masyarakat yang kurang akan kontrol sosial dan negara yang berjalan atas dasar aturan manusia. Sistem pendidikan, ekonomi, sanksi juga sama-sama berlandas pada sekularisme, pemisahan agama dari kehidupan.

 

Amat bertolak belakang dengan negara dalam sistem Islam. Islam memandang penting keberadaan anak sebagai generasi penerus peradaban, karena itu kewajiban negara menjamin pemenuhan kebutuhan anak dalam berbagai aspek kehidupan. Anak sungguh membutuhkan aksi nyata dari pemimpinnya, bukan kalimat penyemangat belaka.

 

Negara akan mewujudkan fungsi dan peran keluarga yang optimal dalam mendidik anak. Sedari dini, calon orang tua akan dibekali wawasan terkait tanggung jawabnya di dalam rumah. Ayah sadar tugasnya sebagai pemimpin dan kepala keluarga serta pencari nafkah. Ibu sadar tugasnya menjadi madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan kolaborasi yang kuat dari ayah ibu inilah, anak akan terlindungi dan tumbuh dengan baik.

 

Dalam lingkungan keluarga, setiap anak akan dikuatkan akidahnya agar tidak mudah tercemar dengan ide-ide di luar Islam, ketika jauh dari pengawasan orang tua. Dengan akidah inilah anak akan berpendirian kuat, yang selaras dengan Islam dan tidak mudah terpengaruh oleh godaan untuk kemaksiatan.

 

Di sisi lain, negara juga akan menerapkan sistem pendidikan Islam untuk membentuk generasi berkepribadian Islam. Pendidikan dijalankan berasas akidah Islam, menciptakan generasi unggul yang siap menjadi pemimpin masa depan. Pendidikan dalam Islam juga merata bagi setiap individu rakyat, gratis serta berkualitas sehingga tidak ditemukan anak yang tidak mengenyam pendidikan lantaran biaya.

 

Dalam sistem ekonomi, Islam juga memiliki pengaturan yakni menjamin kesejahteraan bagi setiap individu rakyatnya mulai dari sandang, pangan dan papan. Negara Islam juga menjamin keamanan dan kesehatan bagi rakyatnya, sehingga tidak ditemukan lagi rakyat terkhusus anak yang sangat mudah mendapat kekerasan dan tidak bisa mengakses layanan kesehatan.

 

Begitulah, peringatan hari anak nasional di tengah gentingnya problem anak sungguh membuat hati miris. Apalagi di tengah kepengurusan negara yang tidak membawa solusi berarti. Akankah kita tetap diam, padahal Islam telah menawarkan solusi yang bisa menuntaskan problem hingga akarnya?

 

Wallahu a’lam bishashawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *