Pergantian Tahun: Momen Tasyabbuh Atau Muhasabah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sherly Agustina M.Ag. (Anggota Revowriter Cilegon)

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Bagi sebagian orang, momen pergantian tahun adalah hal yang sangat dinanti. Mungkin momen yang unforgatable, maka banyak yang merayakannya dan menyambut tahun baru Masehi dengan penuh suka cita. Sebagai muslim kita harus tahu, sejarah perayaan tersebut berasal dari mana? Karena setiap apa yang kita lakukan akan dimintai pertanggung jawaban.

Budaya ini sebenarnya bukan berasal dari Islam. Cikal bakal sejarah perayaan tahun baru sebenarnya berawal sejak zaman Kekaisaran Romawi, tepatnya pada era pemerintahan Julius Caesar, meskipun saat itu masih terhitung masa Sebelum Masehi (SM). Tidak lama setelah dinobatkan sebagai kaisar, Julius Caesar memberlakukan penanggalan baru untuk menggantikan kalender tradisional yang sudah digunakan sejak abad ke-7 SM.

Julius Caesar dan Senat Romawi kemudian memutuskan tanggal 1 Januari sebagai hari pertama dalam kalender baru itu. Istilah Januari diambil dari nama salah satu dewa dalam mitologi bangsa Romawi, yakni Dewa Janus. Itulah alasan dipilihnya nama Dewa Janus sebagai awal tahun baru dalam kalender anyar Romawi, serta tradisi awal masyarakat Romawi untuk merayakan pergantian tahun.

Dilihat dari sejarahnya perayaan tahun baru Masehi bukan dari Islam, lantas sebagai umat Islam ingin ikut serta merayakannya, atas dasar apa? Pedoman umat Islam hanyalah Al Qur’an dan As Sunnah serta meneladani apa yang dilakukan oleh Rasulullah Saw.

Jika kita mengikuti kaum lain maka kita dianggap ‘Tasyabbuh’, menyerupai kaum tersebut. Jadi sebagai umat Islam harus berhati-hati, ingat bahwa apa yang kita lakukan harus ada dalil yang menunjukkannya bukan sekedar ikut-ikutan. Dan apa yang akan kita lakukan akan dimintai tanggung jawab di akhirat kelak.

Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

“Orang yang menyerupai suatu kaum, ia bagian dari kaum tersebut” (HR. Abu Daud, 4031, di hasankan oleh Ibnu Hajar di Fathul Bari, 10/282, di shahihkan oleh Ahmad Syakir di ‘Umdatut Tafsir, 1/152).

Kita tahu bahwa budaya perayaan pergantian tahun baru Masehi bukan dari Islam, melainkan dari orang kafir. Maka jika kita melakukannya khawatir kita menyerupai budaya kufur tersebut.

Hadits ini dalil terlarangnya tasyabbuh bil kuffar, menyerupai ciri khas kaum kuffar. Terkadang ketika seseorang dinasehati agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang tasyabbuh bil kuffar ia menyanggah: “saya tidak berniat meniru orang kafir, saya hanya melakukannya karena begini dan begitu“.

Larangan tasyabbuh tidak memandang niat, tasyabbuh bil kuffar, atau meniru kekhususan orang kafir, tetap terlarang dalam syariat walaupun pelakunya tidak berniat untuk tasyabbuh. Karena larangan tasyabbuh tidak melihat niat, namun melihat zhahir perbuatannya. Walaupun pelakunya tidak meniatkan diri untuk menyerupai orang kafir, akan tetapi hasil dari perbuatan yang ia lakukan adalah ia menjadi serupa dengan orang kafir dan memiliki salah satu ciri khas orang kafir. Oleh karena itu tetap terlarang, walaupun tidak berniat demikian.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menyatakan: “suatu perbuatan yang merupakan tasyabbuh, tidak disyaratkan adanya niat untuk tasyabbuh. Maka, bentuk dari perbuatan tasyabbuh itu terjadi walau tidak dimaksudkan demikian. Maka jika terjadi suatu perbuatan yang merupakan bentuk dari tasyabbuh, hukumnya terlarang. Ini tidak dibedakan baik dalam tasyabbuh dengan orang kafir atau tasyabbuh-nya wanita dengan laki-laki atau tasyabbuh-nya laki-laki dengan wanita. Tidak disyaratkan adanya niat, selama di sana terjadi satu bentuk tasyabbuh (maka terlarang)”

Di dalam Al Qaulul Mufid, beliau juga menjelaskan: “karena hukum tasyabbuh ini hanya terkait dengan bentuk zhahirnya. Maka perbuatan ini tidak membutuhkan pengecekan niat, karena hukumnya hanya dikaitkan dengan amal. Adapun amal itu berpengaruh pada amal-amal shalih yaitu berpengaruh pada sah atau tidaknya amal shalih tersebut. Juga terkait dengan amal-amal yang tidak disebut batasan pahalanya, sehingga seseorang diberi pahala karena niatnya, atau amalan-amalan semacam itu. Ini tidak berlaku pada yang hanya dikaitkan dengan amalannya saja. Dalam hal ini maka tidak perlu pengecekan niat”.

Beliau melanjutkan: “dalam hal ini, syariat mengaitkan hukum dengan tasyabbuh. Maksudnya, terkait dengan perbuatan melakukan tasyabbuh, baik disertai niat atau pun tidak. Oleh karena itu dalam masalah tasyabbuh para ulama berkata: ‘(haram) walaupun tidak bermaksud tasyabbuh‘. Karena tasyabbuh itu sudah terjadi semata-mata dengan adanya perbuatan tasyabbuh.
Lalu apa yang harus dilakukan sebagai seorang muslim menghadapi pergantian tahun? Hendaknya melakukan muhasabah. Merenung atas apa yang telah dilakukan selama setahun. Semakin baik kah atau tidak. Apakah usia kita sampai pada pergantian tahun dan tahun berikutnya? Hal ini menjadi self reminder bagi seorang muslim. Mengingat kematian adalah cara yang jitu agar di dalam hidup kita senantiasa memperbaiki diri untuk lebih baik dari hari ke hari dan mempersiapkan untuk hari esok setelah kehidupan di dunia.

Sabda Baginda Rasulullah Saw:
“Para sahabat bertanya, Siapakah orang mukmin yang paling cerdas?’ Beliau menjawab, ‘Yang paling banyak mengingat mati, kemudian yang paling baik dalam mempersiapkan kematian, itulah orang yang paling cerdas.’ (H.R. Ibnu Majah, Thabrani, dan Al Haitsamiy. Syaikh Al Albaniy dalam Shahih Ibnu Majah 2/419 berkata : Hadits Hasan)

Semoga kita masuk dalam kategori umat Baginda Rasulullah Saw yg cerdas, yaitu yang banyak mengingat kematian dan sibuk mempersiapkannya.

Allahu A’lam bi as Shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *