Perempuan dan Kemiskinan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Mia purnama

Tahun 2020 merupakan peringatan ke-25 Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing (BPfA), sebuah dokumen kesepakatan dari negara-negara PBB dalam rangka melaksanakan konvensi CEDAW (Convention on Elimination of All Forms Disciminations Againts Women) pada September 1995 di Beijing, Tiongkok. Tujuannya adalah untuk meningkatkan hak-hak kaum perempuan dan kehidupan mereka secara global melalui penegakkan Kesetaraan Gender di seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, dan sosial, serta untuk menggabungkan perspektif gender ke dalam seluruh kebijakan, hukum, dan program di dalam negara-negara dunia, Salah satu bidang kritik dalam BPfA adalah perempuan dan kemiskinan.
Menteri keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Ketidaksetaraan gender mengakibatkan dampak negatif dalam berbagai aspek pembangunan, mulai dari ekonomi, sosial, hingga pertahanan dan keamanan. Beberapa lembaga internasional melihat ketidaksetaraan gender memiliki hubungan yang kuat dengan kemiskinan, ketidaksetaraan akses pendidikan, layanan kesehatan, hingga akses keuangan.

Tetapi kenyataannya, yang terjadi di di Desa Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, dimana istri dan suami harus pergi mencari nafkah sebagai TKI, sehingga lebih dari 350 anak (0-18 tahun) yang ditinggal oleh ibu atau bapak dan bahkan keduanya untuk bekerja di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Hong Hong dan negara-negara Timur Tengah, hal tersebut berdasarkan penelitian Yayasan Tunas Alam Indonesia (Santai) tahun 2015.

Ketidakhadiran orang tua menyebabkan anak-anak tersebut terlantar dan terjerumus kedalam berbagai masalah, salah satunya anak-anak cenderung melakukan pernikahan dini. Menurut Kepala Divisi Pemberdayaan Anak, Pemuda dan Masyarakat di Yayasan Santai, Zurhan Afriadi. pernikahan tersebut disebabkan 2 faktor,
Yang pertama kurang pengawasan dari orang tua karena ibu atau bapaknya harus bekerja ke luar negeri dan anak-anak tersebut dititipkan bersama kakek, nenek dan pamannya jadi pengawasan terhadap anak bisa jadi agak longgar.

Dan itu menyebabkan anak-anak tertarik untuk menikah di usia anak, dan yang kedua dikarenakan faktor ekonomi, harapan mereka pernikahan tersebut dapat mengubah nasib mereka.
Kenyataannya, menurut Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Sri Winarna, Kalau perempuan menikah usia anak, lulusan SMP, bagaimanapun mereka tidak bisa bekerja di formal. Kebanyakan informal. Kemudian cerai dan jadi kepala keluarga, Padahal perempuan yang terpaksa menjadi kepala keluarga mempengaruhi kemiskinan hingga mencapai angka 40 persen.

Jadi, masalah yang ingin diselesaikan oleh pejuang kesetaraan gender adalah lingkar setan, dimana semua masalah tersebut saling terkait dan tak menemukan titik temu dalam penyelesaian masalah. Mereka ingin memberantas kemiskinan tetapi kenyataannya kesetaraan gender tersebutlah yang menjadi biang kemiskinan.

Hal tersebut berbeda dengan islam, yang memperlakukan laki-laki dan perempuan sebagai manusia, yang mereka memiliki hak dan kewajiban, dan memiliki peran yang berbeda dalam rumah tangga, dimana suami yang menjadi pencari nafkah dan istri sebagai pendidik anak-anak, itulah peran strategis perempuan dalam islam sebagai ummu wa rabbatul baituntuk mempersiapkan generasi terbaik masa depan. Hal ini hanya bisa terwujud ketika islam dijadikan pedoman kehidupan dibawah naungan khilafah.
Islam adalah agama syariat dan aturan. Oleh karena itu ia datang untuk memperbaiki kondisi kaum wanita, mengangkat derajatnya, agar umat Islam (dengan perannya) memiliki kesiapan untuk mencapai kemajuan dan memimpin dunia.” (al Tahrîr wa al Tanwîr: 2/400-401)

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *