Oleh: Iffah Komalasari S.Pd (Pemerhati Masalah Sosial dan Pendidikan)
Peredaran minunan keras (miras) di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, saat pandemi Covid-19 masih saja terjadi. Pasalnya, Satpol PP Kabupaten Sumedang berhasil menggerebek toko kelontong yang menjual miras, Senin (22/6/2020).
Toko yang diketahui milik NM itu digerebek karena melanggar Peraturan Daerah Perda Kabupaten Sumedang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Pelarangan Peredaran Minuman Beralkohol.
Selain itu, pemiliknya juga melanggar pasal 8 Huruf e Perda Kabupaten Sumedang Nomor 7 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat. (https://sumedang.online/2020/06/bandel-jual-miras-toko-kelontongan-milik-nm-dirazia-satpol-pp-sumedang/)
Ada Apa Di Balik Miras?
Peredaran miras dari tahun ke tahun benar-benar membuat miris. Setidaknya sejak satu dekade lalu, pemusnahan miras memang sudah jadi agenda rutin pemerintah di berbagai wilayah Indonesia. Kalau ditotal, ada sekitar ratusan ribu botol miras di seluruh Indonesia yang dimusnahkan tiap tahunnya. Tapi hal itu tidak berdampak pada penurunan konsumsi miras.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), dalam sepuluh tahun terakhir rata-rata konsumsi alkohol nasional justru mengalami peningkatan. Dari 35 provinsi yang disurvei, konsumsi alkohol hanya berkurang di 3 provinsi saja, yakni Kepulauan Riau (Kepri), Sumatera Selatan (Sumsel), dan Jambi. Sedangkan di 32 provinsi lainnya, jumlah konsumsi alkohol bertambah. Bali menjadi provinsi yang peningkatannya paling tajam, meskipun tiap tahunnya pemerintah Bali juga memusnahkan ribuan botol miras ilegal.
Beriringan dengan meningkatnya konsumsi alkohol nasional, korban tewas akibat miras oplosan juga semakin banyak. Menurut riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), sepanjang tahun 2008 – 2013 ada sekitar 230 korban tewas akibat mengonsumsi miras tak berizin. Kemudian di tahun 2014 – 2018, jumlah korbannya naik dua kali lipat hingga mencapai sekitar 540 orang. (https://m.kbr.id)
Para pengamat menilai bahwa mengkonsumsi miras oplosan sudah menjadi masalah sosial dan cerminan dari gejala depresi sosial di masyarakat. Persoalan ekonomi menjadi salah satu pemicunya. Terlebih di masa pandemi saat ini, dimana pengangguran akibat sulitnya mencari lapangan pekerjaan dan tekanan biaya hidup semakin tinggi, membuat mereka yang pendek akal mencari “penyelamat” sejenak untuk melupakan permasalahan hidup mereka.
Selain itu juga karena gaya hidup dan pengaruh lingkungan sosial yang melatarbelakangi konsumsi miras oplosan. Oleh karena itu, tidak bisa hanya dengan mengandalkan polisi saja saja untuk menyelesaikan masalah miras ini, namun juga berhubungan dengan departemen, kementrian dan lembaga pemangku lainnya yang tetkait.
Peredaran miras ini juga tidak bisa dengan mudahnya dihentikan secara menyeluruh. Ini karena terkait dengan regulasi, perizinan dan sanksi hukum yang berlaku. Adanya payung hukum untuk miras yaitu Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 74 Tahun 2013 tentang Pengendalian dan Pengawasan Minuman Beralkohol secara resmi menetapkan bahwa minuman beralkohol (mihol) boleh beredar kembali dengan pengawasan.
Selain itu, menurut Pepres ini, minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri hanya dapat diproduksi oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin usaha industri dari Menteri Perindustrian. Adapun minuman beralkohol yang berasal dari impor hanya dapat diimpor dari pelaku usaha yang memiliki izin impor dari Menteri Perdagangan. Peredaran minuman beralkohol itu hanya dapat dilakukan setelah memiliki izin dari Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). “Minuman beralkohol hanya dapat diperdagangkan oleh pelaku usaha yang telah memiliki izin memperdagangkan Minuman Beralkohol dari Menteri Perdagangan,” bunyi Pasal 4 Ayat (4) Perpres ini.
Ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2013 ini, minuman beralkohol yang berasal dari produksi dalam negeri atau asal impor harus memenuhi standar mutu produksi yang ditetapkan oleh Menteri Perindustrian, serta standar keamanan dan mutu pangan yang ditetapkan oleh Kepala BPOM.
Terbitnya Perpres tentang miras sama artinya dengan membuka ruang peredaran minuman keras di Indonesia. Perpres ini menunjukkan ketidaktegasan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan miras. Ini tidak sejalan dengan komitmen pemerintah yang katanya ingin memberantas miras dan narkoba secara tuntas.
Alih-alih menutup rapat-rapat pintu peredarannya, pemerintah malah memberi payung hukumnya sehingga miras masih bisa beredar di tengah masyarakat. Miras bukan barang terlarang, menurut hukum ia adalah legal selama terdaftar resmi dan mematuhi aturan yang ada. Sementara yang tidak terdaftar secara resmi di lembaga terkait adalah miras yang illegal dan harus diberantas atau sering disebut sebagai miras oplosan.
Disinilah miras oplosan akhirnya menjadi pilihan masyarakat yang ingin mencari pelarian sejenak dari himpitan masalah ekonomi. Selain karena harganya lebih murah, barangnya pun bisa lebih mudah didapat. Namun fatalnya bahan miras oplosan ini sangat berbahaya bagi tubuh seperti adanya campuran methanol, lotion anti nyamuk, thiner atau bahan lain yang berbahaya. Akibatnya mereka yang mengkonsumsinya akan mengalami keracunan alkohol yang sampai berakibat pada kematian.
Bahaya Miras Bagi Masyarakat
Miras, mau itu yang legal atau oplosan sama-sama minuman yang bisa merusak kesehatan manusia yang mengonsumsinya. Dalam jangka pendek setelah minum miras, seseorang akan merasa mabuk yang diikuti dengan sakit kepala berat sehingga menyebabkan mual sampai muntah. Sementara dalam jangka panjang mengkonsumsi miras dapat menyebabkan gangguan kesehatan seperti sakit liver, jantung, kanker, masalah mulut dan pencernaan, sampai pada keracunan alkohol yang berujung pada kematian.
Miras juga bisa menyebabkan kecanduan luar biasa karena kandungan zat aditif di dalamnya. Apabila dikonsumsi secara kontinu, akan memicu kerusakan saraf otak yang mengakibatkan pengkonsumsinya menjadi gampang kehilangan akal, keseimbangan dan berkurangnya tingkat sensitivitas indera perabanya. Selain itu miras juga bisa menyebabkan perubahan perilaku dan gangguan kesehatan mental seperti frustasi dan depresi.
Selain diri sendiri, miras juga berdampak bagi masyarakat sekitarnya. Banyak kasus kecelakaan lalu lintas yang disebabkan oleh pengemudi yang mabuk. Tindakan kriminal juga banyak yang bermula dari mabuk karena miras, seperti pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan maupun pembunuhan. Jadi, jelas miras ini tidak hanya merugikan diri peminumnya, tetapi juga orang-orang di sekitarnya akan turut merasakan dampak buruknya. Lantas, masihkah Negara akan terus membiarkan dan melegalkannya?
Miras Dalam Hukum Islam
Miras atau minuman beralkohol adalah termasuk khamr, yang haram zatnya secara mutlak. Miras tidak boleh diminum, sedikit maupun banyak. Apa yang diharamkan meminumnya, diharamkan pula menjualnya dan menghadiahkannya. Berapapun kadar alkoholnya miras tetaplah haram hukumnya. Legal maupun illegal, tetap tidak akan merubah hukum miras dari haram menjadi halal. Maka meminum miras, baik illegal maupun yang dioplos tetaplah haram dan berdosa besar.
Dalam surat Al Maidah disebutkan bahwa perbuatan meminum minuman keras atau khamr adalah perbuatan syetan yang harus dihindari oleh umat muslim.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (Qs Al Maidah : 90)
Nabi saw mensifati minuman keras sebagai ‘ummul khabaits’, sumber segala kejahatan. Karena dengan meminum khamr kesadaran seseorang bisa hilang dan ia bisa melakukan kejahatan apa saja seperti merampok, berzina bahkan membunuh.
“Hendaklah kalian menjauhi minuman keras karena ia adalah induk segala kejahatan, barangsiapa yang tidak mau menjauhinya, sungguh ia telah durhaka kepada Allah dan RasulNya dan azab layak menimpa yang durhaka kepada Allah dan RasulNya.”(HR. Thabrani).
Beda dengan sistem kapitalis yang tidak mengindahkan halal-haramnya suatu barang, asalkan mendatangkan manfaat maka tetap akan diproduksi. Maka dalam Islam, benda yang haram hukumnya maka tidak boleh diproduksi, dijual, dikonsumsi ataupun dimanfaatkan dalam bentuk apapun.
Bahkan syariat islam tidak hanya melarang dalam mengkonsumsinya saja, namun juga yang berkaitan dengan pengadaan dan pihak yang mengadakannya. Dalam hadits dijelaskan ada 10 golongan yang dilaknat terkait dengan khamr, yaitu orang yang (1) memeras/pembuat, (2) minta diperaskan, (3) meminum/mengkonsumsi, (4) membawakan, (5) minta dibawakan, (6) memberi minum dengannya, (7) menjual, (8) makan hasil penjualannya, (9) membeli, (10) yang dibelikan. (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Hadis ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kesepuluh pihak itu telah melakukan tindak kriminal dan layak dijatuhi sanksi sesuai ketentuan syariah. Peminum khamr, sedikit atau banyak, jika terbukti di pengadilan, akan dihukum cambuk sebanyak 40 atau 80 kali. Anas ra. menuturkan:
“Nabi Muhammad SAW pernah mencambuk peminum khamar dengan pelepah kurma dan terompah sebanyak empat puluh kali”.(HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi dan Abu Dawud).
Ali bin Abi Thalib ra. juga menuturkan:
“Rasulullah saw. pernah mencambuk (peminum khamar) 40 kali, Abu Bakar mencambuk 40 kali, Umar mencambuk 80 kali. Masing-masing adalah sunnah. Ini adalah yang lebih aku sukai”.(HR Muslim).
Adapun pihak selain peminum khamr dikenai sanksi ta’zîr, yakni hukuman yang bentuk dan kadarnya diserahkan kepada Khalifah atau qâdhi, sesuai ketentuan syariah. Tentu sanksi itu harus memberikan efek jera.
Sungguh ironis, negara yang mayoritas muslim, diperjuangkan oleh para syuhada, justru dibanjiri dengan minuman keras. Padahal sedikitpun minuman keras tidak memberikan manfaat apapun kepada masyarakat selain keuntungan materi yang tidak ada nilainya di hadapan Allah. Inilah buah sistem demokrasi dan kapitalisme yang memang rusak.
Demokrasi telah menjamin kebebasan perilaku termasuk kebebasan mengkonsumsi barang-barang haram di masyarakat. Sedangkan kapitalisme membolehkan jual-beli apa saja selama ada konsumennya, meski itu barang haram dan merusak masyarakat. Bisa kita bayangkan bahwa negeri ini pun dibangun dengan aneka pajak yang berasal dari minuman keras. Maka bagaimanakah bisa mendatangkan berkah, ketenangan dan kenyamanan hidup?
Jika umat mengharapkan kehidupan yang baik, terbebas dari ‘biang kejahatan’ khamr ini, maka hanya satu jalan, yakni kembali kepada aturan Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Ganti aturan, budaya, dan gaya hidup dengan yang datang dari Allah, niscaya selamat dunia dan akhirat. Oleh karena itu solusi tuntas untuk memberantas miras secara total adalah dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Islamiyah yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.