Peradaban Kapitalistik: Mengebiri Hak Pendidikan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sofia Ariyani, S.S (Muslimah Pegiat Literasi)

Pandemi masih belum menunjukkan penurunan. Multisektor disasarnya, tak hanya sektor ekonomi, sektor pendidikan pun turut menjadi sasaran. Hal ini mengakibatkan kegiatan belajar mengajar (KBM) harus dilakukan dari rumah. Dimana, belajar dan mengajar pun menggunakan alat bantu ponsel pintar.

Memang sebuah kemudahan di era RI 4.0 masyarakat beraktivitas dibantu oleh piranti canggih. Namun sayang, kemajuan zaman tidak membuat masyarakat pelosok menikmatinya.

Dilansir oleh mediaindonesia.com, Dimas Ibnu Alias, siswa SMP Negeri 1 Rembang, Jawa Tengah, ialah satu siswa yang tidak mempunyai gawai sebagai sarana belajar daring. Akibatnya, Dimas tetap berangkat ke sekokah untuk belajar meskipun sendiri di sekolah tersebut.

Setiap pagi, anak pasangan Didik Suroyo (nelayan) dan Asiatun (buruh pengeringan ikan) berangkat sekolah dengan seragam lengkap diantar ibunya dengan sepeda. Dia duduk sendiri di kelasnya mengikuti pelajaran dari guru.”Setelah pulang sekolah biasanya diantar wali kelas ke rumahnya di Desa Pantiharjo, Kecamatan Kaliori, Kabupaten Rembang,” kata Kepala SMPN 1 Rembang Isti Chomawati.

SMP Negeri 1 Rembang ini, imbuh Isti, memang memberikan kesempatan kepada siswanya untuk mengikuti KMB di sekolah. Namun baru Dimas yang rajin bersekolah setiap hari padahal diperkirakan ada beberapa siswa lain yang tidak memiliki gawai. (mediaindonesia.com, 24/07/2020)

Dimas adalah salah satu dari puluhan juta anak yang harus gigit jari kala pandemi melanda. Fasilitas yang kurang memadailah yang mereka rasakan. Alhasil hak untuk mendapatkan pendidikan sulit didapat. Padahal pendidikan adalah hak bagi seluruh warga negara Indonesia.

Sebagaimana pasal 31 UUD 1945 amandemen mengatakan: “(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan, (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Berdasarkan pasal 31 ini, negara berkewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan bagi setiap warganya. Serta memberikan pendidikan secara gratis dan berkualitas.

Menyelenggarakan pendidikan berarti menyediakan sarana dan prasarana agar kegiatan KBM dapat berjalan. Negara menyediakan sekolah, guru, fasilitas penunjang KBM, hingga infrastruktur yang memadai.

Dan membiayai pendidikan, berarti negara harus menyediakan anggaran untuk pendidikan. Anggaran ini tercakup, membiayai gaji guru, pengadaan fasilitas agar kegiatan belajar mengajar terlaksana dengan baik.

Pendidikan yang berkualitas, berarti negara menyiapkan kurikulum yang mumpuni. Tak hanya cumlaude dalam prestasi akan tetapi nilai-nilai akidah dan akhlak pun tinggi.

Karena pendidikan merupakan kewajiban layanan publik yang harus didapat oleh setiap warga negara. Pendidikan pun sebagai ujung tombak peradaban suatu bangsa. Pendidikan yang seimbang (sains dan ruhiyah) akan membawa bangsanya kepada peradaban yang mulia.

Nampaknya negara belum mengaplikasikan pasal 31 UUD 1945. Hal ini terbukti masih sulitnya warga negara untuk mendapatkan haknya (pendidikan). Tingginya angka buta huruf, tingginya angka anak putus sekolah, mahalnya biaya pendidikan, serta sarana dan prasarana di sejumlah wilayah Indonesia yang belum dan tidak layak.

Negara justru jor-joran membangun infrastruktur yang mubazir. Bukan membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat pelosok. Namun membangun untuk para pemilik modal. Alhasil tak memberikan manfaat bagi seluruh rakyatnya, apalagi sampai memenuhi kebutuhan dasarnya.

Padahal jika negara sadar akan kewajibannya memenuhi segala hak dasar rakyatnya, maka negara akan memprioritaskan infrastruktur di pelosok-pelosok. Dengan demikian dapat meminimalisir kendala-kendala dalam KBM pada saat pandemi ataupun kondisi normal. Tidak sebagaimana fakta hari ini, minimnya sarana dan prasarana membuat puluhan juta pelajar kehilangan haknya. Baik sebelum pandemi bahkan lebih parah di saat pandemi.

Hal ini mengonfirmasi bahwa, undang-undang yang ada serta negara tidak mampu menyelenggarakan aturan yang telah dibuatnya. Pun mengonfirmasi abainya negara terhadap hak-hak setiap warga negaranya.

Hal ini pun berimplikasi pada seluruh aspek pendidikan. Sebagaimana kita disuguhkan potret buram pendidikan hari ini. Pelajar tidak lagi mencerminkan orang terpelajar. Tawuran, narkoba, pergaulan bebas, aborsi, bullying, kriminalitas, siswa membunuh guru, guru membunuh siswa. Belum lagi beragam persoalan kesejahteraan tenaga pendidik yang belum mendapat perhatian dari negara. Inilah hasil dari sistem pendidikan yang rapuh yang berasal dari aturan manusia.

Rapuhnya aspek pendidikan di negeri ini sejatinya buah dari sistem yang rapuh pula, sistem kapitalisme. Dimana, sistem ini berasal dari buah pikir manusia yang lemah. Sistem ini berakidah sekularisme, yaitu memisahkan kehidupan dari agama. Alih-alih manusia menciptakan aturan kehidupannya sendiri, justru tak mampu menyelesaikan setiap persoalan kehidupannya.

Apalagi yang menonjol dari sistem kapitalisme adalah sistem ekonominya. Dengan goal keuntungan dan kemanfaatan semata. Alhasil dari setiap kebijakannya tidak pernah menyejahterakan rakyat kecil, akan tetapi menyejahterakan segelintir orang, para pemilik modal.

Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Sistem Islam yang lahir dari Pencipta manusia, melahirkan aturan-aturan sempurna (syariat). Maka tak akan ada trial and error pada sistem ini. Sekecil dan serumit apapun persoalan akan mudah terselesaikan dengan syariat Islam.

Pendidikan misalnya, Islam pun telah mengaturnya. Pendidikan dalam Islam sama halnya pada UUD 1945 yang merupakan public service obligation. Namun pada penerapannya jelas berbeda. Apa yang sudah ditetapkan dalam undang-undang faktanya justru berkebalikan. Pendidikan bukan lagi hak bagi tiap warga negara, akan tetapi hanya dapat diakses bagi masyarakat menengah atas. Negara semestinya yang membiayai justru menarik tarif kepada mereka yang ingin mencicipi bangku sekolah.

Dalam Islam, pendidikan adalah hak dan kebutuhan dasar bagi tiap warga negara Daulah Islam. Karena syara telah memerintahkan wajibnya menuntut ilmu. Atas dasar inilah negara akan menyelenggarakan segala sesuatunya untuk kegiatan belajar mengajar, pendidikan. Menjamin seluruh kebutuhan primer rakyat, baik sandang, pangan, papan, maupun keamanan, kesehatan, dan pendidikan.

Negara akan memprioritaskan aspek ini. Dengan menyiapkan anggaran yang bersistem ekonomi Islam pula. Sistem ekonomi ini merupakan supporting system untuk seluruh aspek. Dimana seluruh saling mendukung satu sama lain. Dengan penerapan sistem ekonomi Islam yang mengelola sumber daya alam dan harta milik umum, serta mengatur bagaimana barang dan jasa harus sampai ke tiap individu warga negara secara mudah dan gratis.

Seluruh biaya pendidikan diambil dari baitul mal yang diperoleh melalui pos fa’i, kharaj, dan milkiyah ‘ammah. Dari sini negara akan menyediakan fasilitas-fasilitas pendidikan berupa observatorium, laboratorium, perpustakaan, menara-menara penangkap sinyal, hingga alat penunjang kegiatan belajar mengajar, dan gaji para tenaga pendidik.

Dalam metode pembelajarannya pun seimbang antara sains dan akidah. Akidah dan tsaqafah (ilmu pengetahuan) Islam akan mendapat porsi besar dalam kurikulumnya. Namun bukan mengesampingkan ilmu sains. Justru atas dasar akidah inilah ilmu-ilmu sains akan didorong dan didukung karena sebagai aspek penunjang kehidupan manusia.

Demikianlah perhatian Islam kepada pendidikan. Negara tidak berlepas tangan atas seluruh kebutuhan dasar rakyatnya. Seluruhnya menjadi tanggung jawab yang harus dilaksanakan demi kemaslahatan rakyat dan bangsa.

Tak heran peradaban emas telah ditorehkan oleh generasi-generasi qurani semasa satu milenium lebih. Generasi yang takwa, melahirkan peradaban mulia.

Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *