Pengkerdilan Peran Pemuda Sebagai Tonggak Perubahan

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Arsyila

Baru-baru ini pemerintah mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka). Namun UU Cilaka ini menuai banyak kontroversi. Pro-kontra di tengah-tengah masyarakat hingga memicu konflik antara rakyat dan Pemerintah/DPR.

Pemerintah/DPR mengklaim bahwa UU ini dibuat demi kepentingan rakyat. Sebaliknya, rakyat menuding UU tersebut sangat merugikan mereka dan hanya menguntungkan para pengusaha. Hingga kemudian mereka turun ke jalan melakukan demonstrasi. Dari berbagai macam elemen masyarakat di berbagai kota mulai dari para buruh hingga para pelajar dan mahasiswa.

Tak sedikit dari mereka yg mengalami luka-luka, bahkan para pelajar dan mahasiswa sempat ditahan dan mendapat ancaman agar tak melakukan aksi demo kembali. Mulai ancaman nilai akademis sampai kehilangan kesempatan kerja. Sungguh sangat miris. Di negri yang katanya demokratis, tapi aspirasi rakyat di hadapi dengan anarkis.

Pemuda bangsa yang ingin menyalurkan rasa empati mereka terhadap rakyat yang terdampak UU Cilaka ini justru dituding sebagai “alat” dari oknum tertentu yang ingin mengambil keuntungan dari aksi demonstrasi ini.

Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV seperti dikutip Kamis (8/10/2020). Dia mengaku tahu pihak-pihak yang membiayai aksi demo itu.

“Sebetulnya pemerintah tahu siapa behind demo itu. Kita tahu siapa yang menggerakkan, kita tahu siapa sponsornya. Kita tahu siapa yang membiayainya,” ucapnya. (finance.detik.com, 8/10/2020)

Bahkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai mengeluarkan surat edaran resmi tentang pelarangan mahasiswa untuk tidak ikut aksi demo Omnibus Law Undang Undang Cipta Lapangan Kerja. Surat edaran tersebut termuat dalam surat nomor 1035/E/KM/2020.

Para dosen diimbau untuk tidak memprovokasi mahasiswa agar menolak UU tersebut.

Selain itu, Kemendikbud juga meminta pimpinan Perguruan Tinggi untuk melanjutkan pembelajaran jarak jauh. Memastikan para mahasiswanya benar-benar belajar di rumah masing-masing.
Pihak kampus juga diminta untuk ikut mensosialisasikan Omnibus Law UU Cilaka. (Pikiran Rakyat Tasikmalaya.com, 11/10/2020)

Sangat disayangkan di sistem kapitalis saat ini para pemuda bangsa di mindset bahwa belajar hanya di ruang kuliah yang terbatas tembok saja. Potensi mereka sebagai agen perubahan dikerdilkan hanya untuk memikirkan kemaslahatan pribadi mereka saja. Fokus mereka adalah belajar, tak boleh keluar jalur.

Padahal ruang kuliah sesungguhnya para mahasiswa adalah lingkungan masyarakat itu sendiri. Mengikuti aksi demonstrasi adalah bagian dari laboratorium sosial mahasiswa sebagai agen perubahan. Menjauhkan mahasiswa dari rakyat, sama saja menjauhkan ikan dari lautan luas.

Lalu bagaimana islam melihat besarnya potensi yang dimiliki para pemuda ?

Agama Islam memberi perhatian sangat besar terhadap para pemuda. Karena generasi muda hari ini adalah pemeran utama di masa yang akan datang. Merekalah fondasi yang menopang masa depan umat ini.

Pemuda adalah sosok manusia yang berada dalam batas usia produktif. Ia memiliki banyak potensi dalam melakukan suatu perubahan, seperti fisik yang kuat, potensi akal yang besar, kemauan yang kuat, cita-cita yang tinggi, dan sebagainya.

Potensi yang dimiliki pemuda tentu haruslah diarahkan untuk melakukan perubahan, untuk sebuah pergerakan, tidak hanya untuk dirinya ataupun keluarganya, namun juga untuk masyarakat. Seorang pemuda dalam melakukan suatu pergerakan bagaikan seorang dokter. Dia harus mendiagnosa dengan benar apa sebenarnya penyakit yang diderita oleh negeri ini, dan memberikan obat tepat yang dapat mengobati penyakit tersebut langsung ke sumber penyakit.

Ibarat burung elang yang terbang tinggi dan mampu melihat segala sesuatu dibawahnya dengan jelas. Para pemuda harus mampu berpikir cemerlang, mampu melihat masalah jauh dari yang terlihat oleh mata.

Dilihat dari sejarah, pemuda mempunyai peran penting dalam kemerdekaan. Di belahan dunia mana pun, kemerdekaan tak pernah luput dari peran pemuda. Karena pemudalah yang paling bersemangat dan ambisius memperjuangkan perubahan menuju lebih baik. Hasan al-Banna seorang tokoh pergerakan di Mesir pernah berkata, “Di setiap kebangkitan pemudalah pilarnya. Di setiap pemikiran pemudalah pengibar panji-panjinya.”

Menilik sejarah, kisah Usamah bin Zaid yang diangkat oleh Rasulullah menjadi komandan pasukan kaum muslimin dalam penaklukan Syam padahal baru berusia 18 tahun. Atau kisah Imam Syafi’i yang telah hafal Alquran di usia 9 tahun, serta Ibnu Sina yang telah hafal Alquran di usia 5 tahun bahkan kemudian mampu menjadi bapak kedokteran dunia.

Tentu kita tidak akan lupa kisah heroik Muhammad Al Fatih sang penakluk Konstantinopel yang mampu menjadi sultan di usia 21 tahun. Juga, kisah Zaid bin Tsabit yang dengan gagah berani berjihad di usianya yang baru 13 tahun. Kemudian diperintahkan untuk menghimpun wahyu di usia 21 tahun. Itulah generasi muda militan Islam terdahulu yang gaungnya masih terdengar sampai saat ini.

Inilah bukti bahwa islam sangat mendukung setiap potensi yang dimiliki para pemuda. Dalam islam ada 3 peran penting dalam membina generasi muda agar menjadi generasi yang tangguh yang mampu menjadi tonggak perubahan bangsa:

1. Keluarga

Keluarga kaum Muslim menjadi madrasah pertama bagi putra-putrinya. Sejak sebelum lahir dan saat balita, orang tuanya telah membiasakan putra-putrinya yang masih kecil untuk menghafal Alquran dengan cara memperdengarkan bacaannya. Rutinitas itu membuat mereka bisa hafal Alquran sebelum usia enam atau tujuh tahun. Di usia emas (golden age) seperti ini, anak-anak bisa dibentuk menjadi apapun, tergantung orang tuanya.

Setelah mereka bisa menghafal Alquran di usia enam atau tujuh tahun, mereka pun mulai menghafal kitab-kitab hadits. Saat usia sepuluh tahun, mereka pun bisa menguasai Alquran, hadits, juga kitab-kitab bahasa Arab yang berat, sekelas Alfiyah Ibn Malik. Karena itu, di era khilafah bermunculan pemuda yang sudah mampu memberikan fatwa. Iyash bin Mu’awiyah, Muhammad bin Idris as-Syafii, misalnya, sudah bisa memberikan fatwa saat usianya belum genap 15 tahun.

Selain penguasaan knowledge yang begitu luar biasa, mereka juga dibiasakan oleh orang tua-orang tua mereka untuk ke mengerjakan shalat, berpuasa, berzakat, infaq hingga berjihad. Sosok Abdullah bin Zubair, misalnya, yang dikenal sebagai ksatria pemberani tidak lepas dari didikan orang tuanya, Zubair bin al-Awwam dan Asma’ binti Abu Bakar. Abdullah bin Zubair sudah diajak berperang oleh ayahnya saat usianya masih 8 tahun. Dia dibonceng di belakang ayahnya di atas kuda yang sama.

Sehingga terbentuklah pemuda-pemuda yang memiliki ilmu yang luas, nafsiyah yg mantap, dan mental yang kuat. Inilah modal pertama menjadi pemuda yang mampu mengubah dunia ke arah yang lebih baik.

2. Masyarakat

Setelah keluarga, masyarakat yang bersih adalah faktor penting penunjang generasi muda menjadi generasi yang tangguh. Sebersih dan secemerlang apapun mutiara ketika jatuh dalam lumpur, ia akan kotor juga. Jadi masyarakat yang bersih menjadi hal yang sangat penting agar suasana keimanan generasi muda terjaga.

Pada era khilafah kehidupan para pemudanya sangat jauh dari hura-hura, dugem dan kehidupan hedonistik lainnya. Mereka tidak mengonsumsi miras, atau narkoba, baik sebagai dopping, pelarian atau sejenisnya. Karena ketika mereka mempunyai masalah, keyakinan mereka kepada Allah, qadha’ dan qadar, rizki, ajal, termasuk tawakal begitu luar biasa. Masalah apapun yang mereka hadapi bisa mereka pecahkan. Mereka pun jauh dari stres, apalagi menjamah miras dan narkoba untuk melarikan diri dari masalah.

Kehidupan pria dan wanita pun dipisah. Tidak ada ikhtilath, khalwat, menarik perhatian lawan jenis (tabarruj), apalagi pacaran hingga perzinaan. Selain berbagai pintu ke sana ditutup rapat, sanksi hukumnya pun tegas dan keras, sehingga membuat siapapun yang hendak melanggar akan berpikir ulang. Pendek kata, kehidupan sosial yang terjadi di tengah masyarakat benar-benar bersih. Kehormatan (izzah) pria dan wanita, serta kesucian hati (iffah)mereka pun terjaga.

Karena kehidupan mereka seperti itu, maka produktivitas generasi muda di era khilafah ini pun luar biasa. Banyak karya ilmiah yang mereka hasilkan saat usia mereka masih muda. Begitu juga riset dan penemuan juga bisa mereka hasilkan ketika usia mereka masih sangat belia. Semuanya itu merupakan dampak dari kondusivitas kehidupan masyarakat di zamannya.

Kehidupan masyarakat yang bersih ini juga bagian dari tatsqif jama’i yang membentuk karakter dan kepribadian generasi muda di zaman itu.

3. Negara

Selain pendidikan keluarga, kehidupan masyarakat yang bersih, faktor penting lainnya adalah adanya peran negara yang menjadi penjaga dan pemberi sanksi.

Lihatlah saat ini, karena sistem yang digunakan bukanlah sistem islam maka masyarakat menjadi rusak dan individu-individunya pun ikut rusak. Ketika masyarakat sudah rusak maka generasi mudanya pun ikut rusak. Ketika generasi penerus bangsa sudah rusak, maka selanjutnya apa yang akan terjadi dengan negara di masa depan ? Tentu akan rusak dan hancur.

Negara tanpa islam akan hancur dan islam tanpa negara (penjaga) akan hilang. Inilah pentingnya negara menggunakan sistem yang benar yaitu islam.

Jadi peran negara, masyarakat dan keluarga begitu luar biasa dalam pembentukan karakter dan kepribadian generasi muda menjadi generasi yang tangguh. Selain kesadaran individunya sendiri. Karena itu, sejarah mencatat bahwa islam dengan sistemnya yang luar biasa mampu bertahan hingga ribuan tahun. Bahkan, beberapa tradisi islam masih dipertahankan di beberapa negri kaum Muslim, meski khilafah yang menaunginya telah tiada.

Ini bisa kita lihat di Madinah, Makkah, Mauritania, Hederabad, dan beberapa wilayah lain.

Damn tentunya sejarah keemasan seperti ini hanya pernah terjadi dalam sistem khilafah, bukan yang lain.

Wallohu a’lam bishawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *