Pengesahan KUHP, Bukti Standar Ganda Demokrasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pengesahan KUHP, Bukti Standar Ganda Demokrasi

Oleh Aisah Oscar

(Kontributor Suara Inqilabi)

 

Wetboek van Strafrecht adalah pedoman yang diberlakukan sejak 1918 di Indonesia saat masih dijajah oleh Belanda. Lalu pedoman itu berubah nama menjadi KUHP saat Indonesia merdeka pada 1946. Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022 yang sejatinya melewati proses puluhan tahun. Hingga wajarlah saat ini KUHP disebut warisan Belanda.

Saat ini desakan untuk menciptakan pedomen hukum pidana baru yang tak mengekor Belanda muncul di Seminar Hukum Nasional I pada 1963. Dikutip dari berbagai sumber, Rancangan KUHP (RKUHP) mulai dirumuskan pada 1970. Namun, upaya tersebut berlarut dan tak kunjung dibahas dikoordinasikan antara eksekutif dan legislatif.

Hingga pada tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengambil keputusan untuk mengajukan pembahasan revisi atas KUHP ini. Hal ini pun diamini dan disepakati oleh DPR periode 2014-2019 dalam pengambilan keputusan tingkat pertama. Langkah politik inj menimbulkan gelombang protes masyarakat yang menolak RKUHP. Tapi penolakan akan RKUHP terkesan tertutup dan anggap bermasalah. Sehingga masyarakat merasa khawatir akan rancangan beleid itu untuk membungkam kritik dan mengekang kebebasan berekspresi.

Beberapa pasal yang menjadi sorotan adalah terkait tentang pasal penghinaan ke presiden (pasal 218) lalu pasal penghinaan terhadap pemerintah yang diatur pada Pasal 240, Pasal 353, dan Pasal 354. Terakhir, Pasal 417 ayat 1 RKUHP yang menuai kritik karena berisi tentang konsekuensi pidana bagi tiap pelaku persetubuhan dengan pasangan yang bukan suami atau istri. Mereka dibayangi hukuman penjara 1 tahun dan denda hingga Rp7,5 juta. (medcom.id, 23/12/2022)

Pasal kontroversi diatas seperti mencederai makna dari demokrasi itu sendiri. Seperti kebebasan menyatakan pendapat yang telah disalahi. Kebebasan berekspresi dalam alam demokrasi ini mengalami anomali ketika berhadapan dengan otoritas kekuasaan. Namun kedzoliman yang mencolok mata yang dialami oleh rakyat terus berulang. Lalu daya rakyat yang terus kian merosot karena harga barang barang kebutuhan pokok yang terus melambung. Tak hanya itu kemiskinan yang menajam dan meluas, dan tidak mampu menutupi banyak fakta bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Sayangnya saat suara kritikan nyaring terdengar dan mampu membahayakan penguasa. Mereka dimaknai sebagai hatespeech, makar, berbagai stigma negatif dan dapat teganya hal ini dimasukkan dalam ranah pidana. Diisinilah demokrasi menjadi hipokrit, yang berpenyakit dan punya standar ganda. Tidak dipungkiri demokrasi disebutkan suara rakyat adalah suara Tuhan, suara mayoritas adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Sehingga saat suara mayoritas dipandang bisa membuat kekuasaan runtuh maka demokrasi berubah menjadi tirani minoritas.

Dalam demokrasi semestinya berpendapat dan mengeluarkan pikiran bukanlah sebuah kejahatan dan perlu dibungkam. Namun faktanya UU ITE menjadi senjata pamungkas bagi penguasa untuk membungkam kritik yang bisa meruntuhkan citra penguasa.

Kritik terhadap penguasa sejatinya telah dilakukan oleh para Nabi terdahulu. Nabi Ibrahim telah mendakwahi dengan ajaran tauhid yang dibawanya kepada Namrud yang terus mengaku sebagai Tuhan karena berbagai kelebihan yang dimilikinya. Meskipun pada akhirnya Namrud tetap pada kekafiran sampai akhir hidupnya. Nabi Musa juga mendakwahi Fir’aun yang sombong mengaku sebagai Tuhan. Fir’aun pun ditenggelamkan oleh Alloh karena kesombongannya.

Mengkritik dan mengingatkan penguasa bukan tanpa resiko. Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api yang menyala-nyala oleh raja Namrud. Nabi Musa dikejar-kejar oleh Fir’aun hendak dihabisi. Namun selama kritik yang disampaikan sesuai dengan apa yang Alloh perintahkan maka yakinlah pertolongan Alloh akan datang.

Rasulullah bersabda :

”Seutama-utama jihad adalah menyampaikan kalimat yang adil (haq) kepada penguasa (sulthan) yang zalim.” (HR.Abu Dawud no.4.346, Tirmidzi no. 2.265, dan Ibnu Majah no 4.011).

Dengan demikian tak ayal, kritikan yang membuat kursi kekuasaan goyang inilah yang menjadi musuh terbesar demokrasi. Islam membuka pintu lebar kritikan dan muhasabah terhadap penguasa. Hingga tidak ada dalam sejarah peradaban Islam umat dipidanakan karena mengkritik pemerintah.

Wallahu a’lam bishshawab

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *