Pengentasan Stunting, Apakah Mungkin?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pengentasan Stunting, Apakah Mungkin?

Dzakiyah

(aktivis kesehatan)

Stunting merupakan kondisi terhambatnya pertumbuhan pada anak akibat asupan gizi yang tidak tercukupi. Kondisi stunting akan mengakibatkan dampak bagi anak berupa risiko terjadinya penurunan kognitif dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang.

Hal ini mendorong fokus pemerintah dalam pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas di masa depan. Akhirnya banyak program-program yang dijalankan bahkan masuk dalam kebijakan RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019 dan 2020-2024. Dalam hal ini, tidak hanya kementrian kesehatan saja yang memiliki andil, namun juga segenap jajaran kementrian lain. Senada dengan yang disampaikan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK) Muhadjir Effendy, “Kemenko PMK terus mengingatkan masyarakat mengenai perlunya memberikan perhatian penuh terhadap pemenuhan gizi balita dan ibu hamil. Terkait ibu hamil pemeriksaan berkala selama masa kehamilan juga sangat dianjurkan untuk deteksi dini stunting,” katanya (antaranews 12/3/23).

Walaupun segenap jajaran kementrian sampai perangkat paling dasar digerakkan, namun prevalensi stunting masih saja diluar batas aman. Di tahun 2023 prevalensi stunting di Indonesia saat ini berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) adalah 21,6 persen. Sementara pemerintah menargetkan prevalensi stunting bisa turun menjadi 14 persen pada tahun 2024 mendatang. Sebab, Standard WHO terkait prevalensi stunting harus di angka kurang dari 20%.

Fenomena ini merupakan hal yang wajar. Sebab, dari awal masalah stunting muncul sampai detik ini, tidak ada program serius yang dijalankan selain upaya pembenahan gizi masyarakat secara individual. Berdasarkan penelitian Nabila, dkk, 2022, terdapat dua jenis intervensi upaya penurunan stunting, yakni intervensi gizi spesifik untuk mengatasi penyebab langsung dan intervensi gizi sensitif untuk mengatasi penyebab tidak langsung (Sekretariat Percepatan Pencegahan Stunting, 2019). Intervensi gizi spesifik meliputi kurangnya asupan makanan dan gizi serta penyakit infeksi. Intervensi gizi spesifik mengarah pada intervensi perorangan. Sedangkan intervensi gizi sensitif menyasar pada kelompok masyarakat. Hal ini meliputi peningkatan akses pangan bergizi, peningkatan kesadaran, komitmen dan praktik pengasuhan gizi ibu dan anak, peningkatan penyediaan air bersih, air minum, dan sarana sanitasi.

Contoh intervensi gizi spesifik ialah program Gemari (Gerakan memayarakatkan makan ikan) yang notabene dapat mengingkatkan kognitif anak, maupun program PMT (Pemberian Makanan Tambahan) Balita dan ibu hamil bahkan sampai kepada remaja guna memperbaiki gizi generasi. Sayangnya, semua bentuk program adalah bersifat temporer individual dengan bantuan pemerintah yang temporer pula. Seperti, program Subsidi Beras Masyarakat Berpenghasilan Rendah (Raskin/Rastra) dan Program Keluarga Harapan (PKH).

Pemerintah terlalu berfokus kepada intervensi gizi spesifik dan kurang terhadap intervensi gizi sensitif. Sebab, dalam menjalankan intervensi gizi sensitif akan berkaitan erat dengan peningkatan ketahanan pangan keluarga serta perbaikan sanitasi lingkungan. Sehingga, dalam menjalankan intervensi gizi sensitif memerlukan perencanaan komprehensif dan juga harus sejalan dengan pengembangan tingkat perekonomian masyarakat. Karena dari sisi ekonomi lah masyarakat dapat melakukan pemenuhan gizi dengan baik.

Sayangnya, berdasarkan data kementrian keuangan pada Januari 2023, tingkat kemiskinan September 2022 tercatat sebesar 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan. Angka ini naik tipis dari Maret 2022 (9,54%). Akan sangat miris apabila kita mengetahui bahwa yang dimasukkan dalam Garis Kemiskinan pada September 2022 tercatat sebesar Rp535.547,00/kapita/ bulan.

Oleh karena itu, dengan angka stunting yang menurun sedikit dari sebelumnya, ditambah dengan garis kemiskinan yang meningkat, apakah mungkin program-program saat ini yang berkutat pada pembenahan gizi masyarakat akan berhasil?

Kondisi ini dapat dibenahi, apabila kunci penangan stunting yakni kemiskinan bisa dituntaskan. Masalahnya, saat ini peningkatan angka kemiskinan terjadi oleh karena penerapan dari sistem yang berlaku ditengah-tengah masyarakat, yakni sistem kapitalisme. Sistem dimana para pemilik modal sah-sah saja secara hukum untuk menguasai Sumber Daya Alam (SDA). Padahal sesungguhnya SDA merupakan harta kepemilikan umum (masyarakat). Sumber pendapatan negara pun sebagian besar disandarkan pada pajak yang diambil dari masyarakat, namun banyak yang justru pelayanannya tidak dirasakan oleh masyarakat. Alhasil, masyarakat pontang-panting mencari kebutuhan hidup sementara para korporat menikmati harta rakyat.

Data dari Credit Suisse Global Wealth Report tahun 2019 menyebutkan bahwa “1 persen orang terkaya di dunia memiliki kekayaan lebih dari $1 juta atau mewakili hampir 44 persen kekayaan dari penduduk dunia.” Bahkan pada level yang ekstrem, 10 orang miliarder terkaya di dunia memiliki kekayaan gabungan sebesar $801 miliar, angka yang jauh lebih besar dari total produksi barang dan jasa bagi sebagian besar negara di dunia. Praktek ekonomi kapitalisme inilah yang menyebabkan kemiskinan struktural/sistemik, sehingga berakibat pada meningkatnya pula angka stunting. Masyarakat terpaksa hidup mandiri, sementara negara berlepas tangan.

Peran Negara

“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari)

Berbeda dengan kapitalisme, Khalifah dalam Daulah Islamiyah tak akan membiarkan adanya monopoli harta oleh beberapa individu. Sebab, syariah Islam telah mengatur pembagian harta kepemilikan antara kepemilikan individu, umum maupun negara. Dengan harta kepemilikan umum / milik masyarakat lah Daulah akan meniscayakan kesejahteraan masyarakat, yang sebagian sumbernya berasal dari SDA.

Ekonomi Islam menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Di dalam negeri, Khilafah menjalankan politik ekonomi yang bertujuan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara. Khilafah juga mendorong warga dapat memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya dalam batas-batas kemampuan yang mereka miliki. Alhasil, hanya dengan tegaknya khilafah dan penerapan syariat Islam lah pengentasan masalah stunting pasti dapat dilakukan.

Wallahu’alam bishshawaab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *