Pengelolaan Air Bersih, Tanggungjawab Siapa?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Anggun Permatasari (Aktivis Muslimah dari Jakarta Utara)

Pasca terpilihnya Jokowi sebagai presiden dan Ma’aruf Amin sebagai wakil presiden, masyarakat bukannya semakin difasilitasi dengan kemudahan untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari justru dihujani dengan pil pahit produk kebijakan yang membebani.

Naiknya harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), iuran bpjs, harga sembako yang kian meroket dan mewahnya pendidikan yang berkualitas bagai hantu yang menakutkan bagi rakyat.

Pernyataan wakil presiden Ma’aruf Amin tentang PDAM yang merugi karena rendahnya tarif layanan air bersih yang ditetapkan untuk masyarakat, semakin membuat masyarakat antipati kepada pemerintah.

Dikutip dari laman CNBC Indonesia.com, “Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin menyoroti rendahnya tarif air bersih yang diterapkan perusahaan air minum di daerah. Hal ini menjadi salah satu penyebab kerugian di perusahaan air minum daerah.

Dia mencontohkan, tarif air bersih di DKI Jakarta dan Depok hanya berada di kisaran Rp7 ribu per meter kubik. Cara seperti ini membuat perusahaan air minum kesulitan karena tarif itu masih di bawah full cost recovery (FCR). “Tarif air bersih yang diberlakukan Pemerintah Daerah DKI Jakarta dan Depok hanya Rp7.000 per meter kubik, di Bogor Rp4.500 per meter kubik,” katanya.

Bukankah sangat lucu? Pemerintah yang sejatinya memiliki tanggungjawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, justru mengeluh terkait untung-rugi pengelolaan sumber daya alam.

Pemerintah berkelit, peningkatan tarif air bertujuan untuk memperluas infrastruktur jaringan dan menjangkau kelompok masyarakat miskin agar bisa menikmati air bersih. Faktanya, naiknya tarif air bersih untuk memberikan insentif dan keuntungan berkelanjutan bagi perusahaan agar dapat terus menginvestasikan dana mereka.

Pernyataan wapres tersebut adalah bukti bahwa saat ini negara seolah hanya bertindak sebagai perusahaan yang mengelola kekayaan milik umum untuk mendapatkan keuntungan bagi negara dengan menjualnya kepada rakyat.

Padahal, semua kekayaan alam karunia Allah swt. adalah sepenuhnya milik umat, termasuk sumber daya air. Pemerintah hanyalah fasilitator dan regulator agar hasil bumi dapat dikelola optimal menjadi sumber penghidupan rakyat yang berkualitas dan terdistribusi secara merata.

Sementara laman berita online orbitdigitaldaily.com mewartakan. Anggota DPRD Karo Firman Firdaus Sitepu, SH., melalui hubungan whatsapp, Kamis (5/12/2019) ketika dimintai tanggapan seputar terhentinya pasokan air minum kerumah-rumah warga karena aliran listrik diputus pihak PLN, sehingga mesin pompa PDAM tidak dapat dioperasikan mengatakan, “Melihat kondisi PDAM Tirta Malem semakin terpuruk, dari tahun ke tahun tidak ada peningkatan prestasi, Pemkab Karo selaku pemilik saham di Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) itu, diminta mencari solusi jitu menyelesaikan permasalahan keuangan guna memenuhi kebutuhan langganan di Kabanjahe.

Beliau merekomendasikan agar pihak PDAM menggandeng pihak investor dalam bentuk kerjasama joint venture atau joint operation atau kerjasama operasional (KSO). Skema kerjasama yang dimaksud ada banyak pilihan, misalnya, business to business yang dituangkan dalam kesepakatan bersama atau Memorandum of Understanding (MoU). Artinya murni kedepannya investorlah yang menanamkan investasinya dalam bentuk jangka waktu beberapa tahun.

Himbauan dari anggota DPRD tersebut, memperlihatkan betapa negara berlepas diri atas urusan umat. Komersialisasi dan privatisasi pengelolaan air dan sumber air yang seharusnya dikuasai dan dikelola oleh negara justru dilepas ke pemodal.

Kesengsaraan yang dirasakan rakyat saat ini akibat komersialisasi layanan publik merupakan buah penerapan sistem kapitalis neolib. Dan sudah menjadi watak buruk yang melekat dari sistem ini adalah akan membawa kerusakan bagi pengembannya.

Tidak dapat dibayangkan apabila masyarakat harus membayar tiap tetes air. Padahal dalam Islam air merupakan salah satu kebutuhan utama yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah. Thaharah atau bersuci merupakan bab utama yang dibahas dalam fiqih islam merupakan syarat wajib dari aktivitas ibadah.

Islam melarang fasilitas umum yang merupakan sumber pemenuhan hajat publik dikomersialisasi apalagi diserahkan pada swasta. Islam memerintahkan negara mengelola harta publik dan memenuhi layanan publik tanpa boleh mengambil untung sedikitpun.

Sumber air adalah sumber daya alam yang masuk dalam kategori fasilitas umum yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat dan barang milik publik (al-milkiyyah al-‘ammah).

Pengelolaannya harus seluruhnya diserahkan kepada negara secara profesional. Dan hasilnya sepenuhnya dikembalikan kepada rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.: Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Karena itu pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi pihak asing. Hal ini juga didasarkan pada hadist: “Dari Abyadh bin Hammal: Ia menghadap kepada Nabi saw. dan memohon diberi bagian dari tambang garam yang menurut Ibnu Mutawakkil berada di daerah Ma’rib.

Lalu beliau memberikan tambang itu kepada abyadh. Namun, seseorang yang berada di majelis beliau berkata, “Tahukah Anda bahwa yang Anda berikan adalah [seperti] air yang mengalir?” Beliau pun membatalkan pemberiannya. (HR al-Baihaqi dan at-Tirmidzi).

Oleh karena itu, penerapan sistem yang salah hanya akan melahirkan produk aturan merusak dan manusia rusak. Berbeda dengan penerapan sistem shahih yang berasal dari Sang Pemilik Hidup yaitu sistem Islam yang sudah terbukti menyejahterakan manusia selama 13 abad.

Wallahualam.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *