Oleh Agung Andayani
Dua tahun terakir ini merupakan tahun yang suram bagi para aktivis amal ma’ruf nahi mungkar. Seruannya dan pendapatnya di bungkam. Dicari-cari kesalahannya dan masukan ke sel deruji dengan pasal karet. Seperti misalnya Ahmad Dani, Syahganda Nainggolan, Jumhur Hidayat, Anton Permana, Despianoor, Ali Baharsyah, HRS dan seterusnya. Jika seruan tersebut tidak pro dengan rezim maka bersiap-siaplah. Jika pro rezim maka anda akan dijamin aman.
Hal ini membuat rakyat semakin yakin bahwa hukum yang ditegakkan semau penguasa alias suka-suka penguasa. Kebebasan berpendapat mulai terkikis bahkan dibuat mati suri. Bukankah negara ini menerapkan sistem kapitalis demokrasi yang menjamin kebebasan berpendapat? Buktinya baru saja negeri ini merayakan pesta demokrasi, pilkada serempak 9 Desember lalu.
Demokrasi seolah mengagungkan suara rakyat. Rakyatlah yang berkuasa yang berhak menentukan pemimpinnya, membuat UU dan dapat mencabut UU serta dapat menghentikan pemimpinnya. Begitu juga dengan slogannya “dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat”. Namun faktanya suara rakyat hanya dimanfaatkan setiap menjelang pesta demokrasi baik pilkada ataupun pilpres saja. Setelah itu suara rakyat tak berarti apa-apa.
Buktinya, rakyat tidak menghendaki BBM dan tarif listrik naik endingnya naik juga. Sama halnya dengan UU Omnibuslaw, rakyat pada turun kejalan dengan lantang menyerukan penolakan. Sekali lagi endingnya diketok palu dan sah. Lantas, jargon dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat sebenarnya berlaku untuk rakyat yang mana? Para penjahat dibebaskan dan sekarang penjara diisi para tokoh, ulama/ustad dan rakyat yang kritis menyerukan amal ma’ruf nahi mungkar. Inilah potret penegakan hukum ala demokrasi.
Bagaimana dengan penegakan hukum Islam?
Jika kita melihat sejarah selama rentang 14 abad, tidak pernah umat Islam di seluruh dunia tidak mempunyai seorang Khalifah (pemimpin) dan Khilafah (sistem negara Islam) kecuali setelah runtuhnya Khilafah pada 3 Maret 1924 M. Sepanjang sejarah Khilafah tidak ada satu pun hukum yang diterapkan kecuali hukum Islam. Dalam seluruh aspek kehidupan baik sistem pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri dan semuanya menerapkan hukum sistem Islam.
Dalam hukum sistem Islam, rakyat maupun penguasa tidak boleh membuat hukum. Karena sumber hukum Islam hanya berasal dari Alloh SWT dan Rasulloh. Dan tugas khalifah memastikan terlaksananya semua penerapan hukum islam di dalam khilafah (sistem negara Islam). Maka sistem hukum Islam tidak akan memberikan peluang bagi siapapun untuk membuat hukum sesuai dengan kepentingan maupun hawa nafsu segelintir orang.
Sebagaimana firman Allah ﷻ,
“…..dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka”.
(Al-Maidah: 49).
Allahu a’lam bisshawab.