Pendidikan Masa Pandemi Teramputasi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Nita Savitri (Member Revowriter-WCWH)

Sudah jatuh ketiban tangga. Pepatah yang pas untuk melukiskan kondisi rakyat jelata dan yang tinggal di daerah terpencil. Kesulitan hidup yang mereka alami sebelum terjadi pandemi semakin bertambah dengan beban masalah pendidikan melalui BDR (belajar di rumah) secara daring (dalam jaringan) dengan bantuan telepon pintar.

Masalah muncul ketika banyak yang mengeluh kesulitan menjalani BDR, karena keterbatasan ekonomi untuk membeli telepon pintar, plus kuotanya. Belum lagi masalah sinyal dan listrik yang belum terjangkau secara merata di penjuru negeri. Seperti terjadi di wilayah Kampung Todang Ili Gai, Desa Hokor, Kecamatan Bola, Kabupaten Sikka, Provinsi NTT menjadi salah satu wilayah yang terisolir dari berbagai akses kehidupan saat ini. Wilayah ini harus ditempuh dengan jalan kaki selama 3 jam melewati jalan setapak berbukit. Akses yang cukup menyulitkan, membuat fasilitas listrik dan telekomunikasi sangat minimal bagi warga setempat, terutama pelajar yang menerapkan sistem BDR (Merdeka.com, 24/7/20).

Dilansir dari Media Indonesia (24/7/20), banyak sekolah yang mengeluh proses belajar daring tidak efektif. Hal ini karena sebagian siswa tidak mempunyai fasilitas telepon pintar. Seperti SMPN 1 Rembang, yang memberi layanan KBM langsung bagi anak didik yang bermasalah dengan daring. Meski hanya satu siswanya rela bersekolah sendirian, datang ke sekolah untuk mendapat pendidikan. Sementara beberapa siswa lain, yang juga tidak memiliki gawai pintar tetap diam di rumah.

Sehingga Mendikbud pun dalam peringatan Hardiknas dalam pidatonya melalui kanal youtube telah mengakui kesenjangan ini sebagai pembelajaran nomor satu. Dengan adanya pandemi, kesenjangan tersebut seperti ditelanjangi (Asumsi.co, 12/5/20). Adanya program pembelajaran jarak jauh selama pandemi untuk wilayah perkotaan memang tidak menemukan kendala dalam masalah sinyal. Tetapi banyak yang tidak memiliki sarana telepon pintar karena keterbatasan ekonomi. Jangankan membeli telepon pintar, mencukupi kebutuhan makan pun sudah terasa menyesakkan dada. Sedangkan bagi wilayah terpencil, selain keterbatasan sarana telepon pintar juga adanya jangkauan listrik dan sinyal yang tidak mendukung.

Maka kesenjangan sangat mencolok terjadi dan semakin nyata di era pandemi. Tidak meratanya kesejahteraan, fasilitas kemajuan iptek, yang mencuat tajam. Apalagi semasa pandemi, ekonomi masyarakat menurun di segala sisi baik di desa maupun kota. Banyak perusahaan mengurangi jumlah karyawannya. Peluang pengangguran pun di depan mata. pembangunan infrastruktur yang digencarkan, ternyata hanya terlihat di kota besar. Teelihat megah dan menguntungkan bagi pemilik bisnis dan kapital. Sementara bagi rakyat pelosok negeri hanya jauh diangan.

Padahal menurut undang-undang, pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Baik masyarakat desa dan kota, miskin maupun kaya. Adanya jaminan memperoleh pendidikan idealnya sudah menjadi tugas negara. Baik di masa pandemi seperti saat ini, dan apalagi masa tidak terjadi wabah. Mestinya tidak terjadi diskriminasi memperoleh pendidikan bagi seluruh masyarakat.

Jaminan Pendidikan Dalam Islam

Islam telah menegaskan adanya pendidikan merupakan proses mendidik generasi dalam menuntut ilmu. Sebagai salah satu bentuk kewajiban, bernilai ibadah yang dibalas dengan pahala. Tertuang dalam hadits Rasulullah :
طَلَبُ اْلعِلْمْ فَرِثْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap individu muslim.”( HR.Ibnu Majah)

Maka negara sebagai pelayan umat akan menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya. Dalam buku Muhammad SAW, The Super Leader Super Manager, Rasulullah menjadi pemimpin negara Madinah saat itu. Beliau telah membebaskan 70 orang tawanan dari kaum Quraisy Makkah. Dengan syarat setiap 70 orang tawanan tadi mengajarkan sepuluh orang penduduk Madinah membaca dan menulis. Sehingga terbebaslah dari buta huruf sejumlah 700 penduduk Madinah saat itu. Maka inilah bukti nyata pemerintahan Islam yang sangat mengutamakan pendidikan bagi rakyatnya. Keberlangsungan jaminan ini diteruskan oleh para pemimpin sepeninggal beliau. Umar bin Khattab, khalifah kedua yang memimpin Madinah. Beliau sangat memperhatikan penyelenggaraan pendidikan bagi rakyatnya. Negara memberi gaji kepada tiga orang guru di Madinah senilai 15 dinar atau setara dengan 31 juta-an. Sehingga inilah kunci sukses suatu pendidikan yang diatur oleh negara.

Dana pendidikan yang begitu besar, mampu dikeluarkan oleh negara untuk membiayai pendidikan. Hal ini berasal dari pengelolaan kekayaan umum yang berupa sumber daya alam dalam jumlah besar (minyak bumi, gas alam, batu bara, emas, nikel dll bahan tambang serta mineral). Juga adanya kekayaan laut, hutan, padang gembalaan. Negara mengelola secara mandiri, dan hasilnya buat kesejahteraan umat, termasuk hak memperoleh pendidikan. Inilah bukti kesempurnaan Islam yang akan membawa rahmat bagi seluruh alam.

Wallahu a’laam bishawwab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *