Oleh: Isna Yuli, S.Pd (Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)
Kuatnya desakan revisi Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tak langsung direspons pemerintah dan DPR dengan menggelar legislative review di parlemen untuk segera melakuan revisi. Namun, pemerintah justru membuat langkah baru guna menafsirkan UU ITE. Padahal tidak hanya satu atau dua lembaga yang menyarankan dan meminta revisi UU ITE tersebut.
DPR yang menyatakan dukungannya terhadap wacana revisi UU ITE (yang kerap digunakan untuk menangkal kritik) tak juga mengambil inisiatif untuk menyiapkan langkah revisi sejumlah pasal karet di UU tersebut. Pasal-pasal yang dianggap multitafsir ialah Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik dan Pasal 28 Ayat 2 tentang ujaran bermuatan SARA.
Munculnya UU ITE sendiri sebenarnya bertentangan dengan kebebasan masyarakat dalam berpendapat. Lebih jauh lagi gagasan UU ITE ini berasal dari presiden. Pada faktanya banyak kasus yang menjerat masyarakat secara umum dikarenakan pasal karet dan UU ITE yang berkaitan dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah. Banyaknya pasal karet dalam UU ini dinilai menjadi celah multitafsir dalam pelaksanaannya. Faktanya beberapa buzzer penguasa lebih tahan dari jeratan UU ITE ini, sedangkan rakyat jelata dengan mudah masuk bui hanya karena beberapa kata.
Lantas alih-alih segera merevisi UU, pemerintah justru mempersiapkan tim guna menentukan standar interpretasi terhadap tindak pidana yang terkait ekspresi dalam UU ITE. Dilansir dari detik.com (20/2/2021), Wakil Ketua MPR RI Syarief Hasan mempertanyakan langkah pemerintah yang ingin membuat tafsir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Menurutnya, membuat tafsir UU ITE bukanlah ranah pemerintah, melainkan ranah hakim di pengadilan atau penegak hukum.
Selain menyalahi konsep demokrasi, pembahasan standar interpretasi tidak melibatkan ‘orang luar’. Hal itu semakin meyakinkan bahwa Negara saat ini mengarah ke otoritarianisme. Pemerintah seolah membungkam oposisi dan masyarakat lewat UU ITE. Terdapat banyak ranjau ITE disemua lini media sosial. Tidak sedikit aktivis dan masyarakat umum yang tak lagi lantang menyuarakan kebenaran atau sekedar menyampaikan kritik kepada pemerintah. Sebab semua ujaran serta kata-kata yang tertulis dalam media sosial mereka selalu diawasi oleh UU ITE. Bahkan hanya menyebut beberapa kata kunci di media sosialpun masyarakat sudah mendapat peringatan atau pemblokiran sementara dari pihak media sosial.
Agaknya revisi UU ini bukan mengarah kepada kebebasan berpendapat kembali, namun justru semakin membungkam sikap kritis masyarakat. Ketika masyarakat memberikan kritik kepada penguasa pasti mereka melihat ada kekeliruan yang akan berdampak pada kepentingan umum. Sebagai Negara demokrasi harusnya hal-hal semacam ini merupakan kegiatan positive dan diberikan wadah, sehingga pemerintah bisa menyaring pendapat dan aspirasi masyarakat.
Dalam pandangan Islam, kritik kepada penguasa adalah sebuah kewajaran. Pengaduan rakyat terhadap sikap penguasanya yang tidak menegakkan hukum secara adil merupakan bagian dari amar ma’ruf nahi mungkar. Kritik rakyat akan disampaikan melalui Majelis Umat, yaitu bagian dari struktur pemerintahan Islam yang mewadahi aspirasi rakyat serta tempat meminta nasihat bagi penguasa dalam berbagai urusan.
Dalam sebuah hadist dikatakan, “Siapa saja yang melihat suatu kemungkaran, maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan lisannya. Jika ia tidak mampu, maka (ubahlah) dengan hatinya, dan yang demikian itu selemah-lemah iman.” (HR Muslim)
Dalam Islam memberikan kritik kepada yang berbuat salah adalah kewajiban, sedangkan penguasa yang akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya akan terselamatkan jika mau mendengar kritik dan saran dari rakyatnya.
Wallahu a’lam bishowab.