Pemerintah Inkonsisten Memenuhi Janji Bagi Pengangguran Millenial

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam (Dosen dan Pengamat Politik)

Jakarta – Direktur Komunikasi Manajemen Pelaksana Pra Kerja, Panji Winanteya Ruky mengatakan pemerintah tidak menjamin peserta program Kartu Pra Kerja bisa langsung mendapat pekerjaan usai melakukan pelatihan. Panji mengatakan hal tersebut dikarenakan adanya perubahan fokus pada program Kartu Pra Kerja dari yang sebelumnya untuk meningkatkan kemampuan atau keterampilan sesuai kebutuhan pasar kerja, beralih menjadi pemberian bantuan sosial di saat pandemi virus Corona (COVID-19).

Setiap peserta Kartu Pra Kerja nantinya akan mendapat insentif sebesar Rp 3.550.000 per orang, di mana Rp 1 juta sebagai biaya pelatihan, Rp 2.400.000 atau Rp 600.000 per bulan merupakan insentif yang diberikan kepada peserta selama empat bulan. Sedangkan sisanya Rp 150.000 merupakan insentif survei kebekerjaan. Panji mengatakan nantinya peserta yang mengikuti pelatihan dan menyelesaikan akan mendapat sertifikat digital dan insentif sebesar Rp 600.000 setiap bulannya selama empat bulan. Menurut Panji, dana insentif yang totalnya mencapai Rp 2.400.000 bisa dimanfaatkan oleh peserta sebagai modal bertahan hidup maupun modal berusaha.(detikfinance.com.21/04/2020)

Masih bisa terhitung jari keputusan yang baru diumumkan terkait pengggunaan kartu pra kerja dalam menyeleksi penerima. Kini, muncul keputusan yang lain lagi untuk rubrik kartu prakerja. Tetapi keputusan yang diambil bukanlah keputusan yang melanjutkan rencana awal atau menyempurnakannya. Melainkan membelokkan dan mengalihkannya. Bagaimana pemerintah bisa bersikap inkonsisten terhadap janji-janji yang diutarakan kepada para pengangguran millenial di negeri ini?

Pertama, kartu pra kerja bagi pengangguran awalnya menjadi harapan bagi mereka yang tidak bekerja untuk tetap dapat bertahan hidup karena dibiayai oleh negara. Anggaran yang dijanjikan pun tak tanggung-tanggung. Pada saat kampanye awal kartu prakerja, tunjangan sebesar 5-7 juta dijanjikan bagi pengangguran. Tidak ada kriteria awal apakah fresh graduated, tidak bersekolah atau di PHK. Pokoknya judul utamanya pengangguran. Janji yang membahagiakan bukan?

Kedua, selang beberapa bulan janji itu redup dan tak kunjung berkembang beritanya. Tetapi di tengah pandemi akibat maraknya PHK yang dilakukan perusahaan karena kerugian, jelas kartu pra kerja menjadi harapan untuk segera direalisasikan. Pemerintah mendengarkan desakan masyarakat agar segera menindaklanjuti program kartu pra kerja. Tetapi apa yang terjadi? Dengan segudang persyaratan dan ketidakjelasan penilaian, mendapatkannya pun malah dipersulit. Termasuk persyaratan usia batas 18 tahun, dan kegunaan tunjangan pra kerja yang ditentukan untuk biaya kursus sebelum dapat kerja. Jadi, dikasih duit tapi disuruh bayar program pelatihan kerja. Sama saja bohong bukan?

Ketiga, kini ceritanya lain lagi. Sebelumnya dikatakan bahwa bagi yang selesai pelatihan akan diberikan sertifikat pelajaran dan dicarikan pekerjaan. Pemerintah berbalik arah tidak menjamin bisa langsung memberikan pekerjaan bagi peserta pelatihan kartu prakerja. Karena situas wabah sehingga menjadikan fokus program kartu pra kerja menjadi bantuan penanganan covid-19. Jika dana bantuan sosial dianggarkan dari dana kartu par-kerja, berarti pemerintah sama saja sebenarnya tidak merealisasikan janjinya kepada para pengangguran khususnya kalangan millenial. Jika judulnya adalah bantuan sosial, maka akan berubah sewaktu-waktu.

Pemerintah mengalihkan dana pra kerja menjadi bantuan sosial selama 4 bulan. Dengan jumlah 2400.000 dan dibagikan 600ribu/bulannya. Inilah sebagai biaya bertahan hidup. Pertanyaannya setelah empat bulan kemudian mereka makan apa? Bukankah lebih efektif seandainya pemerintah konsisten memberikan mereka pekerjaan setelah pelatihan daripada bantuan 4 bukan saja? Kelak, selesai empat bulan tentu mereka akan dilupakan. Boro-boro modal usaha, dengan 600/bulan biaya bertahan hidup dapat apa di zaman yang serba mahal sekarang?

Kebijakan yang inkonsisten tentu akan berdampak buruk bagi rakyat. Awalnya rakyat merasa senang karena dipedulikan pemerintahnya, kini pasti sangat kecewa. Namun, seperti sebelumnya, acuh dan tidak mau tahu urusan kekecewaan rakyat. Rezim hanya tahu keuntungan dan tidak mengalami kerugian pribadi dan kelompok mereka sahaja.

Padahal, tingginya angka pengangguran di negeri ini tidak lepas dari keterlibatan para penguasa mengadopsi kapitalisme sebagai akar permasalahan pengangguran. Aset negara dijarah, utang menumpuk, dan TKA jadi bonus investasi dan kerjasama dengan asing maupun aseng. Walhasil, anak negeri menjadi tak berarti di negeri sendiri.

Sudah seharusnya pemerintah khsususnya rezim sekarang bertanggungjawab atas meningkatktnya angka pengangguran di Indonesia. Sebab di tangan mereka lah UU pesanan asing itu dimluskan yang menjadi malapetaka bagi anak negeri.

Ketidakadilan yang diakibatkan ideologi kapitalis akan terus menimpa bangsa ini. Terlebih kepada rakyat menengah ke bawah. Semakin diabaikan, dilupakan dan ditekan. Sikap inkonsisten pemerintah terhadap janji adalah bukti bahwa pemimpin yang tidak menerapkan hukum Islam tidak memahami arti amanah dan bijaksana. Saatnya PHP kepada pengangguran diakhiri dan bersama satu suara menyerukan kebaikan untuk negeri dengan penerapan Islam kaffah. Wallahu a’lam bissawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *