Pemerintah Gegabah, Kasus Covid-19 Makin Bertambah

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Mukhy Ummu Ibrahim, (Member Akademi Menulis Kreatif)

Pemerintah memutuskan untuk memberlakukan tata kehidupan baru atau yang disebut New Normal sebagaimana yang telah lebih dulu dilakukan oleh beberapa negara di dunia seperti Prancis, Italia, Jepang dan Korea Selatan. Pemberlakuan New Normal dinilai sebagai solusi terbaik untuk tetap dapat menjaga berputarnya roda perekonomian meskipun pandemi Corona belum sirna.

Di Indonesia, tata kehidupan baru ini bahkan diprakarsai dengan ajakan untuk berdamai dengan virus Corona yang disampaikan Presiden Jokowi dalam salah satu pidatonya. Seolah-olah ia adalah virus yang tidak berbahaya, dan tidak masalah jika kita beraktivitas seperti biasa meski virus ini masih terus menginfeksi dimana-mana.

Entah ini terobosan penuh keberanian atau justru tindakan yang penuh kekonyolan. Negara-negara maju yang telah memberlakukan New Normal tentu disertai pertimbangan yang sangat matang. Salah satu indikasi yang dapat dijadikan tolok ukur untuk dapat memberlakukan New Normal dengan resiko minimal adalah telah menurunnya kasus infeksi Corona selama paling tidak 2 minggu berturut-turut. Penurunan jumlah kasus infeksi Corona secara signifikan menjadi pertimbangan krusial termasuk di beberapa negara seperti Vietnam dan Selandia Baru yang bahkan sudah mencapai zero case, yaitu nol kasus infeksi.

Sementara di Indonesia, New Normal diberlakukan bahkan ketika jumlah kasus infeksi Covid-19 per hari masih dalam angka ratusan bahkan ribuan. Tren penyebarannya pun belum menunjukkan tren menurun malah justru masih menunjukkan peningkatan dari hari ke hari. Seminggu pasca penerapan New Normal angkanya bahkan konsisten di atas angka 1000. Pada Sabtu (20/6/2020) pemerintah mencatat ada penambahan 1.226 kasus. Jumlah ini meningkat signifikan dari hari-hari sebelumnya. Dan konsisten di angka ini pada hari-hari berikutnya. (kompas.com, 20/6/2020)

Adanya peningkatan jumlah kasus harian ini memang sudah diprediksi banyak pihak. Para ahli dan praktisi kesehatan pun sebenarnya telah memperingatkan akan ancaman penyebaran Covid-19 yang lebih masif jika New Normal diberlakukan. Peringatan yang akhirnya diabaikan pemerintah karena lebih mementingkan pertimbangan perekonomian dibanding virus yang masih terus menjadi ancaman.

Jika kini prediksi itu terbukti, maka memang tak terelakkan lagi. Dengan bertambahnya jumlah masyarakat yang beraktivitas di luar rumah, maka resiko penyebaran dan penularan virus Corona pun akan semakin besar. Ditambah lagi dengan kesadaran masyarakat kita yang masih terhitung cukup rendah akan bahaya virus ini. Begitu juga dengan kesadaran untuk senantiasa menerapkan protokol kesehatan saat beraktivitas di luar yang juga masih kurang.

Namun, nyatanya pemerintah justru membantah jika meningkatnya kasus infeksi virus Corona akhir-akhir ini diakibatkan adanya pemberlakuan New Normal. Pemerintah mengklaim bahwa peningkatan kasus itu dikarenakan penambahan kapasitas test dan tracing yang semakin agresif yang dilakukan atas mereka yang terpapar Covid-19. Demikian disampaikan oleh Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Achmad Yurianto pada jumpa pers, Sabtu (20/6), (kompas.com, 20/6/20).

Seakan sudah menjadi tabiat, pemerintah terus saja berdalih untuk dapat membenarkan kebijakan-kebijakan tak bijak yang mereka ambil. Sejak awal pemberlakuan New Normal di Indonesia telah menuai banyak kritikan. Keputusan untuk membuka kembali 9 sektor ekonomi dianggap terlalu gegabah dan tidak mementingkan keselamatan warga. Dengan penyebaran Covid-19 yang masih tinggi dan rendahnya kesadaran masyarakat, New Normal ini bahkan ibarat bunuh diri.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra pun menuturkan sikap gegabah pemerintah dalam membuka kembali sembilan sektor ekonomi dan penerapan New Normal menimbulkan persepsi yang keliru di tengah masyarakat tentang pencegahan penyebaran transmisi lokal virus corona. Hermawan berpendapat masyarakat pada akhirnya menganggap langkah itu menunjukkan kondisi yang sudah kembali normal seperti sebelum adanya pandemi Covid-19.

Namun, nyatanya pemerintah bersikeras dan menyatakan bahwa kebijakan ini dilkukan untuk menekan dampak ekonomi dan sosial dari pandemi Covid-19. Dan langkah itu pun telah mempertimbangkan risiko penularan dengan menggunakan indikator kesehatan masyarakat berbasis data yakni epidemiologi, surveilans kesehatan masyarakat dan pelayanan kesehatan. Demikian disampaikan Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Doni Monardo. (bisnis.com, 21/6/2020)

Sudah seharusnya menjadi tanggung jawab negara untuk melakukan tes dan pelacakan yang masif agar memastikan individu terinfeksi tidak menularkan ke yang sehat. Juga agar mereka yang sakit dapat segera diobati dan ditangani sedini mungkin. Hal itu tidak sepatutnya dijadikan dalih bahwa pemerintah telah bersikap proaktif dan menjadi sah sah saja jika pemerintah hendak menerapkan New Normal dengan alasan perekonomian.

Pemerintah beralasan jika perekomomian tidak segera kembali dibuka maka masyarakat akan makin menderita karena tidak mampu memperoleh penghasilan. Dan mereka pun tidak akan dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Maka solusi terbaik menurut pemerintah adalah membuka karantina, dan membiarkan mereka yang berkepentingan untuk keluar mencari penghidupan.

Padahal sudah menjadi kewajiban negara untuk mencari jalan keluar yang komprehensif dan solutif bagi pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang terdampak pembatasan selama masa karantina. Dan ini tentunya dengan menjadikan keselamatan sebagai prioritas utama. Bukan hanya pertimbangan ekonomi semata.

Jika kita telaah lebih dalam yang paling terdampak dan mengalami kerugian paling besar akibat pembatasan akibat pandemi Corona, tentulah para pelaku ekonomi besar, para kapitalis, pemilik modal. Pemilik pabrik-pabrik, perusahaan dan mall-mall raksasa yang merugi karena harus menutup sementara usahanya. Maka, membuka pembatasan adalah jalan bagi mereka untuk menghindari kerugian yang kian besar. Namun sayangnya, dengan mengabaikan resiko besar penularan virus Corona yang membahayakan nyawa khalayak.

Semestinya kelesuan ekonomi yg dialami pelaku ekonomi raksasa/kapitalis tidak menjadi pendorong kuat pemerintah memberlakukan New Normal. Ini adalah tindakan gegabah yang beresiko membahayakan masyarakat. Namun, dengan paradigma kapitalisme dan penguasa yang menjadi pelayan pengusaha, pilihan itu pun menjadi niscaya.

Jika saja penguasa negeri ini adalah penguasa yang berparadigma kepemimpinan adalah amanah berat yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta kelak, maka niscaya rakyat pun akan jauh dari nestapa. Setiap kebijakan yang diambil akan menjadikan kepentingan rakyat sebagai pertimbangan krusial. Pengurusan urusan rakyat, terlebih dalam kondisi wabah, tentu akan diupayakan dengan optimal dan maksimal. Negara pun akan menjamin terpenuhinya segala kebutuhan rakyat, baik dalam kondisi biasa ataupun kondisi karantina. Setiap sumberdaya negara yang ada pun akan dikerahkan demi memenuhi kebutuhan tersebut. Hingga tak ada satu pun warganya yang harus terpaksa bertaruh nyawa hanya demi dapat memenuhi kebutuhan pokoknya.

Penguasa yang seperti ini tentu hanya ada pada penguasa yang menjadikan aturan Sang Pencipta sebagai pedoman dalam mengatur urusan rakyatnya. Penguasa yang memahami kepemimpinan sebagai tanggungjawab berat yang akan dimintai pertanggungjawaban di Hari Penghisaban kelak.

”Kalian adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban. Penguasa adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Bukhari Muslim)

Dia adalah pemimpin dalam sistem Islam. Pemimpin negara yang menerapkan Islam sebagai sebuah sistem aturan terbaik yang mengatur segenap manusia. Wallahu a’lam bishshawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *