Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, Hanya Pergantian Istilah?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Dwi Sri Utari, S.Pd (Guru dan Aktivis Politik Islam)

 

Sudah dua tahun lebih Indonesia dilanda pandemi virus corona atau Covid-19. Namun, lamanya waktu berjalan nyatanya tak membuat angka kasus positif Covid-19 menurun. Sebaliknya, hari ke hari kian meningkat hingga beberapa pekan terakhir meroket tajam terlebih dengan munculnya varian baru. Sampai Kamis (01/07) saja, kasus harian kembali pecah rekor yakni mencapai 24.836 kasus atau meningkat dua kali lipat dari dua pekan sebelumnya. Menyikapi hal tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan kebiajakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat. Aturan ini mulai berlaku pada 3 hingga 20 Juli 2021 untuk wilayah Jawa dan Bali.

Dengan PPKM darurat, aktivitas perkantoran sektor nonesensial akan dilakukan sepenuhnya dari rumah. Adapun sektor nonesensial artinya bukan sektor keuangan, perbankan pasar modal, sistem pembayaran, teknologi informasi dan komunikasi, perhotelan, industri orientasi ekspor. Sektor ini pun dibatasi kapasitasnya 50%. Sementara sektor kritikal diperbolehkan 100%, diantaranya energi, kesehatan, keamanan, logistik dan transportasi, industri makanan, minuman dan penunjangnya, petrokimia, semen, objek vital nasional, penanganan bencana, proyek strategis nasional, konstruksi, utilitas dasar (seperti listrik dan air), serta industri pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat sehari-hari. (Dilansir BBC pada 1/7).

Namun demikian, banyak pakar yang menyangsikan kebijakan ini akan berhasil. Pasalnya, apa bedanya PPKM Darurat dengan yang sebelumnya? Dikutip dari merdeka.com pada 1/7, Anggota DPR RI, Saleh Partaonan Daulay mengatakan bahwa banyak kalangan menilai kebijakan yang diambil pemerintah cenderung hanya berganti nama dan istilah namun pada tataran praktis, kebijakan itu tidak mampu menjawab persoalan yang ada.Seperti diketahui, sejak Indonesia turut mengalami kehebohan dilanda pandemi virus Covid-19 yang terjadi awal 2020 silam, pemerintah telah memberlakukan berbagai strategi untuk mengendalikan kasus. Beragam istilah digunakan mulai dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PSBB transisi, micro lockdown, sampai PPKM mikro yang dianggap paling memungkingkan karena aktivitas ekonomi masih bisa berjalan meski dibatasi. Terakhir, pemerintah memutuskan mengubah konsep penerapan PPKM dari skala mikro menjadi berat dengan pertimbangan laju kasus Covid-19 yang kian memprihatinkan.

Sementara, Advokat Ahmad Khozinudin menilai kebijakan pemerintah mengenai PPKM tidak memiliki dasar hukum. Apabila merujuk pada Undang-Undang yang ada adalah istilah karantina wilayah atau lockdown, yang secara rinci sudah diatur dalam sejumlah pasal dalam UU No 6 Tahun 2018 mengenai Kekarantinaan Kesehatan. Misalnya pada Pasal 2, bahwa pelaksanaan kekarantinaan kesehatan harus berlandaskan pada sembilan asas yaitu perikemanusiaan, manfaat, perlindungan, keadilan, non-diskriminatif, kepentingan umum, keterpaduan, kesadaran hukum, dan kedaulatan negara. Kemudian, pada Pasal 7 UU Kekarantinaan Kesehatan dinyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak memperoleh perlakuan yang sama dalam penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan, serta mendapatkan pelayanan kesehatan dasar sesuai kebutuhan medis, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya selama karantina berlangsung. Namun demikian, meskipun sudah diatur dalam Undang-Undang, alih-alih memberlakukan lockdown pemerintah lebih memilih menetapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat.

Kuat dugaan bahwa pemerintah tidak menerapkan lockdown karena pertimbangan Ekonomi, dimana untuk melakukan lockdown pemerintah harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk memenuhi semua kebutuhan hidup rakyatnya. Dimana ketika pemerintah melakukan lockdown, secara otomatis semua fasilititas publik harus ditutup dan aktivitas warganya pun dibatasi. Tentu ini sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat. Disinilah peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memenuhi semua kebutuhan hidup masyarakat selama lockdown ditetapkan.

Namun, kondisi ekonomi Indonesia yang lemah nampaknya menjadi kegalauan sendiri bagi pemerintah untuk memberlakukan lockdown. Saat ini saja, pemerintah Indonesia sudah terseok-seok dalam memenuhi anggaran dana untuk rumah sakit dan Tenaga Kesehatan (Nakes). Dikutip dari tirto.id (26/6/2021), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan sedang berupaya menuntaskan tunggakan klaim rumah sakit rujukan Covid-19. Total tunggakan yang belum dibayarkan pada tahun anggaran 2020 mencapai Rp22,08 triliun. Disinyalir, cekaknya dana bukan semata-mata disebabkan belum cair, akan tetapi alokasi anggaran negara yang memang masih bercabang dan belum terfokus untuk penyelamatan kesehatan masyarakat. Percabangan itu diduga terletak pada pembayaran utang negara dan juga pembiayaan infrastruktur. Sebagaimana diketahui, Indonesia memiliki beban hutang yang jumlahnya fantastis hingga perlu menggelontorkan dana puluhan triliun rupiah hanya untuk membayar bunganya saja. Belum lagi proyek infrastruktur yang terus berjalan, seperti pembangunan ibu kota baru. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya kasus korupsi dana bantuan sosial.

Sehingga yang terjadi dalam kondisi seperti ini adalah rakyat dipaksa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dalam mengatasi dampak Covid-19. Demikianlah ketika negara menjalankan pemerintahannya dengan berbasis ideologi kapitalisme. Dimana indikator roda ekonomi selalu menjadi prioritas utama, meskipun hingga mengabaikan kebutuhan hidup dan jaminan kesehatan rakyatnya. Seharusnya, menekankan bahwa kunci pemulihan ekonomi adalah penyelesaian masalah Covid-19 dilakukan sejak awal. Bukan ketika semua pihak (nakes, masyarakat) di lapangan sudah babak belur dihantam Covid-19. Sebab, ekonomi tidak akan pulih jika pandemi tak bisa dikendalikan sejak awal seperti yang dialami negara saat ini.

Selayaknya, pemerintah merujuk pada aturan agama dalam mengelola negara dan menyelesaikan persoalan pandemi Covid-19. Sebab, hakikatnya jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab negara. Dalam Islam jaminan kesehatan ditanggung oleh negara, melalui keberadaan rumah sakit dengan fasilitas yang mumpuni, dengan pembiayaan yang bersumber dari Baitul Mal. Untuk menjamin ekonomi dan kebutuhan hidup warganya, syariat Islam telah memberikan kewenangan kepada pemimpin yaitu Khalifah untuk mengelola Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah ruah. Pengelolaannya dilakukan oleh negara untuk kemashlahatan warganya. Melalui pengelolaan anggaran berdasarkan syariat Islam tersebut, negara Khilafah tidak akan ragu melakukan lockdown untuk memutus penyebaran wabah yang menular dengan berbagai konsekuensinya, juga tidak akan perhitungan untuk memenuhi kebutuhan hidup warganya, demi menjaga keberlangsungan hidup warganya. Wallahu’alam bi shawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *