Pemberian Remisi Tahanan, Gerus Efek Jera

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Pemberian Remisi Tahanan, Gerus Efek Jera


Oleh Erni Apriani
Aktivis Muslimah

Tindak pidana di Indonesia perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun. Khususnya para koruptor yang telah menjarah anggaran negara tersebut justru mendapatkan pengurangan hukuman atau remisi dengan sangat mudah. Seperti yang dilansir oleh, tempo.com (23/04/2023), Narapidana atau Napi kasus korupsi proyek KTP elektronik atau korupsi e-KTP Setya Novanto, bersama 207 napi lainnya mendapatkan remisi khusus Hari Raya Idulfitri 1444 Hijriah, Sabtu, 22 April 2023. Mantan Ketua DPR RI itu mendapatkan remisi hari raya selama satu bulan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung.

Beragam fakta tindak kriminalitas terutama korupsi telah menjadi suatu kejahatan yang luar biasa. Bagaimana tidak, para predator uang tersebut dengan brutal merampok yang semestinya digunakan untuk kesejahteraan rakyatnya. Alih-alih mendapatkan hukuman berat hingga efek jera. Sebaliknya, diberikan kebijakan untuk mendapatkan remisi. Hal ini sontak meragukan publik atas ketuk palu kebijakan remisi dengan alasan menghemat pengeluaran negara. Diantara kasus Setya Novanto yang sempat menghebohkan tersebut. Sebelumnya beberapa kasus korupsi yang selalu terjadi berulang kali, seolah-olah menjadikan korupsi itu sebagai tindakan biasa yang membuat ketagihan bagi pelakunya. Lebih lanjut, menurunnya moralitas pemberantasan korupsi di negeri ini menjadi bukti dari kecacatan sistem hukum demokrasi. Bahkan sistem demokrasi sebagai sebuah sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme dan ketidakadilan bagi rakyatnya.

Hal ini berbeda dengan hukum Islam yang bersumber pada wahyu, bukan atas dasar kesepakatan manusia. Hukum Islam yang diterapkan di tengah masyarakat melahirkan keputusan pengadilan di dalam Islam bersifat mengikat, tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Terkait dengan itu Allah Swt. berfirman (yang artinya):

“Maka demi Tuhanmu, mereka tidak beriman sebelum mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, (sehingga) kemudian tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65).

Dengan demikian kepatuhan dengan selalu menaati seluruh hukum-Nya adalah bentuk dari ibadah yang kafah. Ibadah tak lain yaitu bentuk ketundukan dan kepasrahan secara totalitas seorang hamba kepada Penciptanya. Maka itu, di samping memperbaiki sumber penerapan sistem di negeri ini, mental atau moralitas pemberantasan korupsi juga harus dibarengi dengan kesadaran kolektif dari para kaum elite. Sehingga korupsi sirna bukan karena ancaman hukumannya saja yang memberikan efek jera, akan tetapi karena muncul dari kesadaran bahwa korupsi adalah tindakan laknat yang dilarang oleh Allah Swt.

Wallahu a’lam bishshawab

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *