Pemberian Bansos untuk Dongkrak Ekonomi

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Khoirotiz Zahro Verdana (Muslimah Surabaya)

Sejak dihantam pandemi Covid-19, masyarakat berpenghasilan menengah dan menengah ke bawah terkena dampak yang signifikan dari kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di berbagai daerah.

Akibatnya, pendapatan menurun dan daya beli masyarakat semakin jatuh. Belum lagi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dilakukan oleh sejumlah perusahaan.

Dikutip dari CNBC Indonesia (6/8), Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk memberikan bantuan sosial bagi para pekerja di sektor swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan. Besaran uang yang akan didapat mencapai Rp 600 ribu per bulannya selama empat bulan. Kini rencana tersebut tengah difinalisasi. Skema bantuan sosial ini merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

Di tengah merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) seperti sekarang ini,bantuan sosial (bansos) mutlak diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi untuk ekonomi seperti Indonesia yang tulang punggungnya ada di konsumsi domestik.

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menyebut saat ini program bantuan sosial (bansos) yang diberikan pemerintah sudah cukup baik, hanya saja kurang tepat sasaran. “Banyak bansos yang tidak tepat sasaran, ada kelompok menengah atas yang dapat bansos. Kalau mereka yang dapat kan tidak jadi barang konsumsi yang efektif, mereka akan disimpan. Kalau yang dapat kalangan bawah itu bisa menciptakan atau menggerakan roda perekonomian,” ujar dia saat dihubungi detikcom, Selasa (4/8/2020).

Bantuan sosial saat ini memang sangat diperlukan bagi masyarakat yang terkena dampak corona. Tapi jika ditelisik lebih dalam agaknya bantuan berupa uang tunai senilai Rp 600.000 untuk 2,3-2,4 juta masyarakat yang berpenghasilan rendah masih terbilang kecil dan tidak bisa mendorong konsumsi.

Memang ada perdebatan seputar alokasi bansos ini dalam bentuk tunai atau non-tunai. Namun terlepas dari itu, pemerintah memutuskan untuk memberikan dalam bentuk keduanya.

Namun nyatanya persoalan penyaluran dana bantuan memang bukan hanya persoalan teknis berupa salah sasaran, data ganda, atau mekanisme berbelit. Jumlah atau besaran dana yang dialokasikan negara untuk rakyat seringkali mengusik rasa keadilan publik.

Karena besaran dananya tidak mampu memenuhi kebutuhan yang harus ditanggung masyarakat selama masa pandemi. Apalagi jumlah dan luasan penerima manfaat juga tidak menjangkau semua masyarakat miskin. Belum terhitung masyarakat kelas menengah yang usaha dan pekerjaannya terdampak langsung pandemi dan menjadi miskin.

Ada beberapa catatan dan evaluasi untuk pemerintah terhadap implementasi bansos yang sudah terjadi seperti kartu sembako misalnya.

Isu seputar validitas data menjadi masalah yang membuat distribusi sembako menjadi tidak tepat sasaran. Pemutakhiran dan update data jelas dibutuhkan sebelum mendistribusikan bansos agar bisa diterima oleh masyarakat yang memang benar-benar butuh.

Dari sisi distribusi juga perlu mendapat kontrol yang ketat agar tidak ada celah untuk berbuat kecurangan bagi para vendor-vendor yang ditunjuk untuk membantu pendistribusian sembako.

Karena selama ini, masih banyak keluarga miskin belum menerima program sosial dari pemerintah. Jika ada orang mampu masih menerima program sosial maka sama saja mereka mengambil hak orang lain. Untuk itu, hukumnya haram.

Bantuan sosial untuk mendongkrak daya beli masyarakat terlihat memang menggiurkan, tapi agaknya masih tetap tidak mampu mendongkrak ekonomi karena daya beli masyarakat menengah kebawah tidak begitu tinggi.

Beda dengan daya beli masyarakat menengah keatas. Yang itu tanpa bansos pun mereka bisa membantu mendongkrak ekonomi. Pemerintah juga harus ikut berupaya dalam meningkatkan daya beli. Misalnya elanja pemerintah yang diharapkan membawa dampak spill over juga harus ditingkatkan. Namun bukannya meningkat, serapan anggaran kementerian dan lembaga malah rendah. Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi kolektif pemerintah justru malah turun 6,9% (yoy).

Islam menggariskan bahwa pemenuhan kebutuhan dasar rakyat adalah kewajiban pemerintah untuk menjaminnya. Dalam soal pangan, jaminan negara berupa pemastian bahwa setiap individu rakyat mampu memenuhi kebutuhan pangan tersebut secara layak.

Mekanisme langsung diberikan melalui pemberian bantuan kepada kelompok masyarakat yang faktanya kesulitan mendapat bahan pangan karena tidak ada penghasilan atau tidak cukup dana (fakir miskin) atau juga harga sedang tidak stabilnya harga akibat pasokan kurang.

Wallahu’alam Bishawab.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *