Pembatalan Haji dan Tanggung Jawab Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Ummu Faiha Hasna (Member Pena Muslimah Cilacap)

 

Keberangkatan Calon Jamaah Haji tahun ini terancam batal. Pemerintah menerbitkan keputusan menteri agama tentang pembatalan keberangkatan Jamaah Haji tahun 1442 H/ 2021 M. Sementara pemerintah Arab Saudi belum mengundang Pemerintah Indonesia untuk membahas dan menandatangani Nota Kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraannya.

Dikutip dari CNBC Indonesia – Kementerian Agama RI resmi mengumumkan bahwa tahun 2021 ini tidak ada keberangkatan jemaah haji asal Indonesia. Hal ini dilakukan guna menjaga dan melindungi WNI, baik di dalam maupun luar negeri.

Kebijakan ini juga dianggap sebagai bentuk upaya pemerintah untuk menanggulangi pandemi Covid-19 yang sempat mengalami lonjakan pasca libur lebaran kemarin. Dengan adanya kebijakan ini, maka jemaah haji asal Indonesia batal berangkat untuk kedua kalinya setelah larangan pertama diberikan pada 2020 lalu.

Hal tersebut disampaikan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dalam konferensi pers belum lama ini. Yaqut mengatakan, pemerintah telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 perihal Pembatalan Keberangkatan Haji tersebut.

Kami, pemerintah melalui Kemenag menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Pemberangkatan Ibadah Haji 1442 H/2021 M,” kata Yaqut dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (3/6/2021).

Dengan adanya peraturan tersebut, maka penyelenggaraan keberangkatan haji tahun 2021 resmi dibatalkan. Keputusan ini merupakan keputusan final setelah mempertimbangkan keselamatan haji dan mencermati aspek teknis persiapan dan kebijakan otoritas Arab Saudi.

Keputusan ini juga mendapat dukungan dari Komisi VIII DPR RI dalam rapat kerja masa persidangan kelima tahun sidang 2020/2021 pada 2 juni 2021 kemarin di mana pihak DPR RI menyatakan menghormati keputusan pemerintah yang akan diambil terkait penyelenggaraan ibadah haji tahun 1442 H/ 2021 M.

Kita juga tahu kalau pandemi Covid-19 belum berlalu, Indonesia sudah terlihat bagus penanganannya, tapi belahan dunia lain kita masih menyaksikan pandemi belum bisa terkendali dengan baik. Atas beberapa pertimbangan tersebut dan komunikasi dari hati ke hati selain dengan Komisi VIII DPR RI, para alim ulama, pimpinan ormas Islam, dan penyelenggara haji dan umroh khusus/biro perjalanan haji, dan juga berdiskusi panjang dengan KBH yang menjadi ujung tombak pelayanan haji di lapangan, kami pemerintah melalui Kementerian Agama menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 tahun 2021 tentang pembatalan keberangkatan jemaah haji pada tahun 1442 H/2021 Masehi,” papar Yaqut.

Selain itu, alasan pemerintah untuk membatalkan keberangkatan jemaah haji tahun ini menurutnya adalah karena Kerajaan Arab Saudi yang juga belum membuka akses layanan penyelenggara ibadah haji tahun 2021. Akibat kasus Covid-19, Arab Saudi juga belum mengundang Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman tentang persiapan penyelenggaraan haji.

Sebelumnya, Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi lewat akun Twitter nya telah menyebutkan 11 negara yang diperbolehkan masuk Arab Saudi seperti Amerika Serikat, Jepang, Inggris, Jerman, Prancis, Portugal, Swedia, Swiss, Italia, Irlandia hingga Uni Emirat Arab. Sayangnya, Indonesia masih belum masuk ke dalam daftar tersebut.

Dalih pemerintah tidak memberangkatkan ibadah haji adalah kesehatan dan Keselamatan jiwa jamaah lebih utama.

Pertama, terancamnya kesehatan, keselamatan dan keamanan jamaah haji akibat pandemi Covid-19 yang melanda hampir seluruh negara di dunia termasuk Indonesia dan Arab Saudi.

Sementara dalam ajaran Islam menjaga jiwa harus dijadikan dasar pertimbangan utama dalam menetapkan hukum atas kebijakan oleh Pemerintah.

Allah Swt. telah menetapkan haji sebagai fardu ain bagi kaum muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah Swt. menyatakan dalam Alquran:

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (TQS. Ali Imran: 97)

Nabi saw. bersabda, “Wahai manusia, Allah Swt. telah mewajibkan haji kepada kalian, maka berhajilah.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah)

Mengenai syarat wajibnya haji, menurut Ibn Qudamah, ada lima: Islam, berakal, balig,  merdeka (bukan budak), mampu. Mampu itu sendiri dijelaskan dalam hadits Nabisaw.  meliputi dua: bekal (az-zad) dan kendaraan (arrahilah). (HR. ad-Daruquthni dari Jabir, Aisyah, Anas, Abdullah bin ‘Umar) (Lihat, Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 650).

Bagi setiap muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan untuk menunaikannya, kewajiban haji tersebut telah jatuh kepadanya, maka saat itu juga dia wajib berazam untuk menunaikan haji.

Jika karena satu dan lain hal dia tidak bisa menunaikannya, kemudian meninggal sebelum sempat menunaikannya, maka dia dinyatakan tidak berdosa karena telah berazam saat kewajiban tersebut jatuh kepadanya. Namun, jika dia mempunyai ghalabatud dzan (dugaan kuat) bahwa kemampuannya akan hilang, sebelum menunaikan haji, dia tidak boleh menangguhkan hajinya. Sebaliknya, wajib menunaikan haji saat itu juga. Jika tidak, maka dia berdosa. (Lihat, al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz III/41; Ibn Qudamah, al-Mughni, hal. 660).

Bentuk pengaturan negara  itu semata untuk memfasilitasi seseorang untuk beribadah. Agar mereka dapat beribadah sekaligus menyiarkan agama Allah. Dan keputusan penundaan/ penghentian ibadah haji bisa menyebabkan terhapusnya syiar- syiar Allah ( syaairallah) yang hukumnya wajib ditampakkan.

Penyelenggaraan haji menggambarkan bagaimana Islam mewajibkan negara menjadi ra’in, melakukan upaya maksimal untuk memastikan terlaksananya kewajiban haji oleh rakyat, menghilangkan hambatan dan  di masa Khilafah beragam sarana dan bantuan disiapkan negara agar sempurna kewajiban.

Selain masalah hukum syariat yang terkait dengan syarat, wajib, dan rukun haji, dalam penyelenggaraan ibadah haji juga ada masalah hukum ijra’i yang terkait dengan teknis dan administrasi, termasuk uslub dan wasilah. Hanya saja, karena ibadah haji ini dilaksanakan pada waktu (Syawal, Zulkaidah dan Zulhijah) dan tempat (Makkah, Mina, Arafah, dan Muzdalifah, termasuk Madinah) tertentu, maka dibutuhkan pengaturan yang baik oleh negara.

Hukum ijra’i, sebagai bentuk pengaturan, yang notabene merupakan derivasi dari hukum syariat, tentu tidak boleh menabrak hukum syariat itu sendiri. Sebagai contoh, ditetapkannya syarat usia 18 tahun dalam UU No. 13/2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji, jelas menyalahi hukum syariat, khususnya ketentuan tentang usia baligh. Ketentuan seperti ini tidak boleh ada, meski dimaksudkan sebagai bentuk pengaturan.

Selain itu, Islam juga menetapkan prinsip dasar dalam masalah pengaturan (manajerial), yaitu basathah fi an-nizham (sistemnya sederhana), su’ah fi al-injaz (eksekusinya cepat), dan ditangani oleh orang yang profesional.

Karena itu, Khilafah sebagai satu negara, yang menaungi lebih dari 50 negeri kaum muslim, bisa menempuh beberapa kebijakan:

Pertama, membentuk departemen khusus yang mengurus urusan haji dan umrah, dari pusat hingga ke daerah.

Karena ini terkait dengan masalah administrasi, urusan tersebut bisa didesentralisasikan, sehingga memudahkan calon jemaah haji dan umrah. Dengan prinsip basathah fi an-nizham, sur’ah fi al-injaz, dan ditangani oleh orang yang profesional, urusan ini bisa dilayani dengan cepat dan baik.

Departemen ini mengurusi urusan haji, terkait dengan persiapan, bimbingan, pelaksanaan, hingga pemulangan ke daerah asal. Departemen ini juga bisa bekerja sama dengan departemen kesehatan dalam mengurus kesehatan jemaah, termasuk departemen perhubungan dalam urusan transportasi massal.

Kedua, jika negara harus menetapkan ONH (ongkos naik haji), besar dan kecilnya tentu akan disesuaikan dengan biaya yang dibutuhkan oleh para jemaah berdasarkan jarak wilayahnya dengan Tanah Haram (Makkah – Madinah), serta akomodasi yang dibutuhkan selama pergi dan kembali dari tanah suci.

Dalam penentuan ONH ini, paradigma negara Khilafah adalah ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurus urusan jemaah haji dan umrah). Bukan paradigma bisnis, untung dan rugi, apalagi menggunakan dana calon jemaah haji untuk bisnis, investasi, dan sebagainya. Khilafah juga bisa membuka opsi: rute darat, laut, atau udara. Masing-masing dengan konsekuensi biaya yang  berbeda.

Pada zaman Sultan Abdul Hamid II, Khilafah saat itu membangun sarana transportasi massal dari Istanbul, Damaskus, hingga Madinah untuk mengangkut jemaah haji.

Jauh sebelum Khilafah Utsmaniyah, Khalifah Abbasiyyah, Harun ar-Rasyid, membangun jalur haji dari Irak hingga Hijaz (Makkah – Madinah). Di masing-masing titik dibangun pos layanan umum, yang menyediakan logistik, termasuk dana zakat bagi yang kehabisan bekal.

Ketiga, penghapusan visa haji dan umrah. Kebijakan ini merupakan konsekuensi dari hukum syariat tentang kesatuan wilayah yang berada dalam satu negara. Seluruh jemaah haji yang berasal dari berbagai penjuru dunia Islam bisa bebas keluar masuk Makkah – Madinah tanpa visa. Mereka hanya perlu menunjukkan kartu identitas, bisa KTP atau Paspor. Visa hanya berlaku untuk kaum muslim yang menjadi warga negara kafir, baik kafir harbi hukman maupun fi’lan.

Keempat, pengaturan kuota haji dan umrah. Khalifah berhak untuk mengatur masalah ini, sehingga keterbatasan tempat tidak menjadi kendala bagi para calon jemaah haji dan umrah. Dalam hal ini, Khalifah harus memperhatikan bahwa kewajiban haji dan umrah hanya berlaku sekali seumur hidup. Serta kewajiban ini berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan.

Bagi calon jemaah yang belum pernah haji dan umrah, sementara sudah memenuhi syarat dan berkemampuan, mereka akan diprioritaskan. Pengaturan ini akan bisa berjalan dengan baik jika negara Khilafah mempunyai database seluruh rakyat di wilayahnya, sehingga pengaturan ini bisa dilaksanakan dengan baik dan mudah.

Kelima, pembangunan infrastruktur Makkah – Madinah. Pembangunan ini telah dilakukan terus-menerus sejak zaman Khilafah Islam. Mulai dari perluasan Masjidil Haram, Masjid Nabawi, hingga pembangunan transportasi massal dan penyediaan logistik bagi jemaah haji dan umrah.

Hal yang sama akan terus-menerus dilakukan oleh Khilafah pada masa mendatang. Namun, harus dicatat, perluasan dan pembangunan ini tidak akan menghilangkan situs-situs bersejarah, karena situs-situs ini bisa membangkitkan kembali memori jemaah haji tentang perjalanan hidup Nabi dalam membangun peradaban Islam, sehingga bisa memotivasi mereka.

Selain aspek ijra’i,  yang tidak kalah penting tentu pelaksanaan manasiknya itu sendiri. Hanya saja, karena ini menyangkut kaifiyyah manasik, maka negara tidak akan mengadopsi tata cara tertentu dalam pelaksanaan manasik. Sebaliknya, diserahkan kepada masing-masing individu jemaah.

Namun demikian, untuk memastikan manasik ini berjalan dengan baik, bimbingan dan pendampingan bisa dilakukan, khususnya bagi yang membutuhkan. Karena itu, Khilafah akan menyiapkan para pembimbing dan pendamping jamaah haji dalam jumlah yang memadai.

Mulai tanggal 8 Zulhijah, sarana dan prasarana di Mina telah dipersiapkan, termasuk akomodasi dan logistik yang dibutuhkan oleh jemaah yang hendak melaksanakan Tarwiyah.

Demikian juga Arafah, yang digunakan oleh para jemaah haji saat wukuf, dan Muzdalifah yang digunakan mabit tanggal 9 Zulhijah.

Demikian juga Mina yang digunakan untuk melakukan Jumrah ‘Aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra, hingga mabit, baik bagi yang mengambil Nafar Awwal (11-12 Zulhijah) maupun Tsani (11-13 Dzulhijjah) dipersiapkan sedemikian oleh negara, sehingga manasik yang dilakukan jemaah di tempat tersebut bisa dilaksanakan dengan sempurna.

Negara tidak hanya bertanggung jawab menyediakan akomodasi dan logistik, tetapi juga transportasi massal yang memadai dan efektif, sehingga jemaah tidak terjebak kemacetan sehingga mengganggu jadwal mereka.

Dari Makkah – Mina (8 Dzulhijah) untuk melakukan tarwiyah, Mina – Arafah (9 Dzulhijah) untuk melakukan wukuf, Arafah – Muzdalifah (9 – 10 Dzulhijjah) untuk melakukan wukuf – mabit, Muzdalifah – Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan jumrah ‘aqabah, menyembelih kurban dan tahallul shughra hingga mabit, Mina – Makkah – Mina (10 Dzulhijjah) untuk melakukan thawaf ifadhah – sai dan mabit, Mina – Makkah (12 – 13 Dzulhijah) kembali ke Baitullah bagi nafar awwal maupun tsani, selanjutnya untuk melakukan thawaf wada’.

Secara khusus, Khalifah akan menyampaikan khotbah Arafah di Masjid Namirah, dan memimpin wukuf para jemaah. Di Arafah, negara akan memasang fasilitas sound system yang memadai, termasuk layar raksasa di beberapa titik, sehingga seluruh jemaah haji bisa menyaksikan dan mendengarkan khotbah Arafah Khalifah.

Pesan Khalifah ini merupakan pesan penting yang akan mereka bawa ke negeri mereka masing-masing. Dengan begitu, hanya ada satu khotbah saat wukuf, yaitu Khotbah Khalifah, bukan khotbah sendiri-sendiri. Satu bahasa, bahasa Arab, yang merupakan bahasa resmi negara.

Mereka pun bisa menyampaikan syakwa (pengaduan) kepada Khalifah, terhadap para kepala daerah mereka masing-masing, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Khalifah Umar terhadap para walinya

Bentuk tanggung jawab negara yang seperti ini dalam rangka memberikan pelayanan terbaik rakyatnya. Hanya dalam sistem Islam pelayanan Jamaah haji tersebut bisa dilakukan oleh penguasa ber-mindset Islam kaffah yakni Khilafah Islam.

Wallahu a’lam bish-showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *