Penulis : Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)
Pembangunan proyek strategis nasional terus digenjot di negeri ini. Tak peduli dengan kondisi pandemi yang belum menemukan titik cerah berakhirnya, pembangunan berbagai proyek di seluruh wilayah tetap dilakukan. Dengan dalih pembangunan infrastruktur ini memberikan banyak manfaat.
Sayangnya, dalam pembangunan berbagai proyek infrastruktur tersebut negara mengabaikan warga terdampak yang lahannya terpakai demi lancarnya pembangunan. Minimnya pendekatan intensif yang dilakukan pemerintah setempat kepada warga terdampak menjadi salah satu hal yang sangat disesalkan. Terkesan pemerintah hanya peduli pada pembangunan proyek, tanpa peduli pada nasib warga terdampak. Ganti untung yang dijanjikan pun belum semuanya tertunaikan.
Pembangunan bendungan Semantok di kabupaten Nganjuk pun mengalami hal yang serupa. Pemerintah beserta rekanan proyek fokus merancang terkait pembangunan bendungan. Namun, ganti untung terhadap lahan warga menjadi hal yang terabaikan. Terdapat setidaknya 244 bidang tanah yang belum disetujui nilainya oleh pemerintah. Bupati Nganjuk, Novi Rahman Hidhayat pun menegaskan akan memperjuangkan nilai ganti untung akibat pembangunan bendungan itu. (Surabaya.tribunnews.com, 26/3/2021)
Padahal permasalahan papan atau tempat tinggal merupakan permasalahan krusial menyangkut kebutuhan primer warga. Lahan warga diambil tanpa mendapat ganti untung, lantas akan kemana warga beserta keluarganya akan tinggal?
Warga Terdampak Merugi
Begitulah tabiat kapitalisme dalam membangun sebuah negara. Pembangunan infrastruktur kian digenjot demi segelintir keuntungan yang diperoleh para pemeran yang bermain. Hati nurani disisihkan terlebih dahulu, supaya bisa memainkan perannya secara total. Mencekik warga tanpa menyentuh.
Tabiat sadis bak drakula ini sudah mendarah daging. Warga menangis sampai air mata darah pun tak akan menggoyahkan pendirian teguh dari para pemainnya. Asalkan pundi-pundi rupiahnya kian menggemuk maka tangisan warga laksana irama pengantar tidur.
Kalaupun mendapat uang ganti lahan, mayoritas nominalnya tidak sesuai atau biasa disebut ganti rugi. Pada pembangunan bendungan Semantok ini warga terdampak meminta agar nominalnya di naikkan sebab NJOP wilayah tersebut sudah mengalami kenaikan sebesar tiga kali lipat. Hal ini yang menjadi pemicu perdebatan antara warga dengan pemerintah setempat.
Pembebasan Lahan dalam Islam
Pembebasan lahan dalam rangka pembangunan infrastruktur oleh penguasa boleh dilakukan. Namun ada rambu-rambu yang harus ditaati supaya pembangunan proyek mendapat keberkahan. Misalnya melakukan pendekatan intensif terhadap warga terdampak. Apabila setelah dilakukan pendekatan ini ternyata warga ada yang menolak, maka pemerintah tak boleh memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pembangunan proyek sekalipun disinyalir proyek tersebut banyak memberikan manfaat.
Ganti lahan yang diberikan pada warga terdampak pun berupa ganti untung bukan ganti rugi. Sehingga ada keridhoan dari pihak warga yang insya Allah akan memberikan kelancaran dalam pembangunan proyek.
Khalifah Umar bin Khattab pernah menginisiasi perluasan masjid karena dinilai masjid sudah tak bisa menampung jamaah. Salah satu lahan yang terkena untuk dijadikan perluasan masjid adalah milik paman nabi, Abbas. Abbas menolak menyerahkan lahan rumahnya walaupun diberikan ganti untung oleh Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah pun akhirnya ikhlas tidak memaksa Abbas menyerahkan lahannya. Namun di luar ekpektasi, ternyata Abbas malah berbalik menyerahkan lahannya secara cuma-cuma.
“Jika engkau melakukan demikian, maka aku sedekahkan rumah dan lahan kepunyaanku untuk perluasan masjid umat Islam. Tapi kalau engkau memusuhiku, maka aku tak mau.” Kemudian Umar membangunkan rumah sebagai ganti untuknya dari biaya Baitul Mâl. (Ibnu Sa`ad, al-Thabaqôtu al-Kubrâ, 4/15).
Begitulah semestinya yg dilakukan penguasa yang nota bene pelayan masyarakat. Bukan sebaliknya,
penguasa senantiasa bertindak sewenang-wenang demi segelintir keuntungan pribadi.
Wallahu a’lam bish showab.