Pembangunan Infrastruktur Kota Kendari, Bermodalkan Utang Ribawi?

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Waode Rachmawati, S.Pd.,M.Pd
(Aktivis Dakwah Muslimah Kota Kendari)

Pemkot Kendari tengah menggagas dua proyek megah, di tengah minimnya anggaran daerah. Pembangunan Rumah Sakit dan Ruas jalan baru menjadi proyek megah tersebut. Tak tanggung-tanggung dua proyek tersebut ditaksir menelan biaya sekitar Rp 349 Milyar. Lalu pertanyaannya darimanakah biaya sebesar itu? Ya, utang akan menjadi jawaban dari pertanyaan ini.

Dilansir dari Kendaripos.co.id (6/8/2020) walikota Kendari H. Sulkarnain Kadir mengungkapkan besaran dana untuk pembangunan dua infrastrukur ini yaitu sekitar Rp 349 Milyar. Dengan rincian Rp 146 Milyar untuk pembangunan Rumah Sakit yang berlokasi di kawasan Puwatu dan Rp 203 Milyar untuk pembangunan jalan dan jembatan yang menghubungkan perempatan RSUD Kendari dengan pertigaan kampus Universitas Halu Oleo.

Lebih lanjut Sulkarnain menerangkan bahwa pemkot akan melakukan peminjaman dana kepada PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Persero untuk membiayai pembangunan infrastruktur tersebut. Peminjaman tersebut akan diajukan tahun depan (2021), dengan jangka waktu pengembalian selama 10 tahun. Pun rencana ini disambut baik oleh ketua DPRD Kota Kendari, Subhan. Beliau menuturkan bahwa pembangunan kedua proyek megah ini merupakan salah satu bentuk pengembangan kota Kendari. Oleh karenanya, rencana ini perlu didukung. (detiksultra.com, 15/8/2020).

Bahaya Utang Ribawi

Minimnya alokasi anggaran pemda untuk pembangunan infrastruktur memang terjadi diberbagai daerah, termasuk kota Kendari. Sehingga bukan menjadi hal tabuh, pemda melakukan peminjaman alias utang untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Dilansir dari kemenkeu.go.id (4/5/2020) pinjaman daerah terdiri dari pinjaman melalui perbankan biasanya Bank Pembangunan Daerah (BPD) atau perbankan nasional, pinjaman dari lembaga bukan bank salah satunya dari PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) dan Obligasi Daerah (pinjaman dari masyarakat).

Pemkot Kendari sendiri berencana melakukan peminjaman kepada PT SMI sebesar Rp 349 milyar untuk menggenjot pembanguna rumah sakit dan ruas jalan baru. Irfan Sofi, Ditjen Perimbangan Keuangan (kemenkeu.go.id, 4/5/2020) menjelaskan bahwa pinjaman kepada PT SMI ini dijamin oleh pemerintah melalui pemotongan transfer ke Pemda apabila terjadi gagal bayar dari debitur. PT SMI sendiri memberikan pinjaman dengan bunga sebesar 8 % sd. 8,5 %.

Usaha pemkot Kendari untuk mengembangkan kota tentu patut untuk didukung. Akan tetapi dibalik program pengembangan infrastrukutr kota, ternyata harus menjeremuskan diri dalam transaksi utang ribawi. Hal ini mengisayaratkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber pendapatan daerah untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

Selama sistem ekonomi masih bernaung di bawah payung kapitalisme sekulerisme, maka transaksi ribawi tidak akan dihindari. Oleh karenanya, pembangunan yang dibiayai dengan utang, hanya akan mendatangkan permasalahan ekonomi yang baru. Semakin besar jumlah utang, maka semakin besar pula jumlah transaksi ribawi yang dilakukan. Maka rakyat akan menanggung utang tersebut baik melalui pajak maupun retribusi lainnya dengan jumlah yang lebih besar lagi.

Padahal jika kita melirik pada banyaknya Sumber Daya Alam (SDA) yang dimiliki oleh wilayah Sulawesi Tenggara dengan Kendari sebagai ibu kota Provinsi, maka SDA tentu akan menjadi sumber pemasukan daerah yang besar. Betapa tidak, diantara SDA yang dimiliki adalah tambang. Kita ketahui potensi alam berupa tambang di bumi anoa ini cukup besar, seperti tambang nikel, emas, dan aspal. Ironisnya SDA yang melimpah ruah itu lebih banyak dikuasasi oleh pihak swasta dan asing. Sedang pemerintah harus bersusah payah melakukan transaksi utang ribawi untuk membiayai pembangunan kota.

Sejatinya sistem ekonomi ribawi tidak akan mendatangkan kebaikan, justru sebaliknya hanya akan menyeret bangsa ini ke lembah kesengsaraan. Pasalnya, utang disertai riba itu pasti akan memunculkan bahaya terbesar yakni datangnya azab Allah SWT. Rasul saw. bersabda:

« إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِيْ قَرْيَةٍ، فَقَدْ أَحَلُّوْا بِأَنْفُسِهِمْ عَذَابَ اللهِ »
Jika zina dan riba telah tersebar luas di satu negeri, sungguh penduduk negeri itu telah menghalalkan azab Allah bagi diri mereka sendiri (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Solusi Islam

Berbicara persoalan pembangunan di suatu Negara, islam pun memiliki solusi yang komperhensif. Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, pemerintah memiliki sumber kekayaan yang cukup untuk membiayai penyelanggaraan negara. Kemudian bagaimana Negara dalam membiayai pembangunan infrastruktur?

Merujuk pada artikel KH. Hafidz Abdurrahman yang berjudul “Kebijakan Negara Khilafah dalam Membangun Infrastruktur”, maka solusinya adalah yang pertama, tentu negara bisa membangun infrastruktur dengan dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Apakah itu mungkin? Tentu, sangat mungkin. Dengan kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara, maka tidak ada yang tidak mungkin. Ini sudah dibuktikan dalam sejarah khilafah di masa lalu, baik di zaman Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah. Contoh mutakhir adalah proyek pembangun rel kereta api yang menghubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul.

Kedua, jika Baitul Mal tidak ada dana, baik karena terkuras untuk peperangan, bencana maupun yang lain, lalu bagaimana? Dalam hal ini, harus dilihat. Jika proyek infrastuktur tersebut memang vital, karena merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan, atau karena satu dan lain hal, sehingga harus ada guna mengatasi ledakan penduduk maupun ketidakcukupan daya tampung. Dalam kondisi seperti ini, negara bisa mendorong pastisipasi publik untuk berinfak. Jika tidak cukup, maka kaum Muslim, laki-laki dan mampu dikenakan pajak khusus untuk membiayai proyek ini hingga terpenuhi.

Pada saat yang sama, negara bisa mengajukan fasilitas kredit, baik kepada negara maupun perusahaan asing, tanpa bunga dan syarat yang bisa menjerat negara. Negara akan membayarnya dengan cash keras, setelah dana infak dan pajak tersebut terkumpul. Namun, kebijakan ini ditempuh dalam kondisi yang sangat terdesak. Adapun, jika proyek infrastuktur tersebut tidak vital, maka negara tidak perlu menarik pajak dari masyarakat. Negara juga tidak boleh mengambil fasilitas kredit, termasuk berutang kepada negara atau perusahaan asing untuk membiayai proyek ini

Maka sudah saatnya kita kembali kepada penerapan sistem ekonomi islam, agar kita terlepas dari jeratan utang ribawi dan berbagai permasalahan ekonomi lainnya. Kemudian dengan kembali pada syariah Islamlah keberkahan akan segera dilimpahkan kepada bangsa ini.
Wallahu a’lam bisshowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *