Peleburan Eijkman Dan Potensi Surutnya Independensi Riset Anak Negeri

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh : Vikhabie Yolanda Muslim, S.Tr.Keb

 

Per 1 Januari 2022, Eijkman Institute for Molecular Biology atau Lembaga Biologi Molekuler (LBM) yang telah beroperasi hampir 3 dekade ini, secara resmi diambil alih Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Lembaga yang telah menjadi rumah jutaan riset yang fokus ke penelitian bidang biologi molekuler dan bioteknologi kedokteran ini, mengucapkan salam perpisahan dalam unggahannya di twitter.  Kini, Eijkman berubah status menjadi Pusat Riset Biologi Molekuler (PRBM) yang dilakukan sejak 28 Desember 2021 lalu. Cuitan perpisahan yang diunggah Eijkman pun direspon oleh warganet dengan komentar yang beragam. Mulai dari ungkapan kesedihan hingga berbagai pertanyaan terkait nasib para penelitinya (news.detik.com, 3/1/2022).

Setiap kebijakan tentu harus bersiap menghadapi pro dan kontra. Termasuk peleburan Eijkman ke dalam BRIN. Tak ayal, peleburan ini tentu menyisakan sejumlah persoalan. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman periode 2014-2021, Amin Soebandrio menyatakan, peleburan dengan BRIN setidaknya akan berdampak pada tiga aspek berikut, yakni peneliti dengan kerja kontrak, fasilitas, hingga statusnya yang menurun. Tercatat sebanyak 113 tenaga honorer tidak diperpanjang kontraknya atau diberhentikan, dan sekitar 71 orang diantaranya adalah tenaga honorer periset (nasional.kompas.com, 3/1/2022)

Faktanya, ternyata bukan hanya Eijkman. Sekitar 38 lembaga riset lain juga diambil alih oleh BRIN seperti Badan Tenaga Nuklir Nasional, LAPAN, dan LIPI. Awak kapal riset Baruna Jaya milik BPPT pun kini tinggal nama. Dengan peleburan banyak lembaga riset ini, akankah hal tersebut menjadi langkah maju ataukah justru langkah mundur teratur bagi kemajuan riset serta sains di Indonesia?

Pertama, Peleburan Eijkman ke BRIN tentu memiliki konsekuensi atas non aktifnya sebagian peneliti non ASN, dan resiko mandeknya riset vaksin merah putih yang tengah berjalan. Pasalnya, Eijkman telah menjadi koordinator pada jalannya proses pembuatan vaksin yang rencananya akan diproduksi pada Februari mendatang. Ketika terjadi peleburan, bukan menjadi hal yang aneh jika para peneliti yang tadinya secara independen dalam proses pembuatan vaksin dan riset, akan direpotkan lagi dengan urusan bingkai birokrasi. Bukan tidak mungkin, kebijakan ini pun bisa merubah tata budaya riset dan independensi para ilmuwan yang selama 33 tahun sudah terbangun baik di Eijkman.

Yang kedua, hal ini mengindikasikan rendahnya perhatian negara terhadap kemampuan anak negeri dalam riset dan penelitian. Jika perhatian negara terhadap anak bangsa sudah sedemikian rendah, maka jangan heran jika fenomena brain drain akan terus menjangkiti negeri. Fenomena Brain Drain alias hengkangnya kaum intelektual dari negerinya sendiri ke negara lain yang lebih maju tentu akan merugikan negeri yang ditinggalkan, dalam hal ini khususnya negara berkembang seperti Indonesia. Perginya aset intelektual ini salah satunya disebabkan karena keterbatasan negara memberikan wadah, kesempatan, juga peluang.

Fenomena ini seharusnya tidak terjadi di negara yang menggaungkan diri menganut demokrasi. Pasalnya di negeri-negeri maju, yang risetnya tertata dengan dengan baik, justru melakukan desentralisasi agar tiap lembaga punya kekuatan khusus dan bisa melakukan penelitian dengan maksimal. Kebebasan gerak keilmuan yang dilebur akan terancam, termasuk dalam menjalankan fungsinya melakukan riset yang kritis, sebab terhalang oleh rantai birokrasi.

Kemudian yang ketiga, ada banyak sisi krusial yang akan menjadi resiko bila pemerintah tidak cukup perhatian pada riset. Salah satunya yakni ketergantungan dan intervensi asing khususnya pada vaksin covid-19, dan kerugian politik bahkan yang terburuk ialah akan mengancam kedaulatan negara. Semakin tertundanya produksi vaksin yang sesuai dengan kondisi masyarakat kita, maka tujuan dalam percepatan dan perluasan vaksin terlebih untuk booster pun ikut tertunda. Lagi-lagi, kita hanya mampu tunduk menggunakan vaksin buatan asing, dengan biaya tinggi yang tentunya semakin memberatkan pengeluaran APBN dan hutang negara. Berdiri di kaki sendiri tampaknya masih jauh panggang dari api.

Penelitian terkait vaksin, harusnya menjadi salah satu upaya pemerintah sebagai wujud jaminan dan tanggung jawab kepada rakyat. Begitu pula pihak-pihak yang terikat dengan riset tersebut, haruslah dipastikan memiliki kapasitas dan kualitas terbaik. Sayangnya, dalam sistem kapitalis saat ini, standar tersebut telah tergadaikan dengan kepentingan dari pihak tertentu. Terlebih adanya spekulasi bahwa BRIN terkait dengan partai politik tertentu.

Inilah salah satu dari sekian fakta pahit dalam sistem demokrasi-kapitalis. Sistem yang tak menjadikan hifdz an-nafs (menjaga jiwa) sebagai prioritas. Sebab, orientasi dalam sistem ini hanyalah berbicara tentang kepentingan dan keuntungan. Tentu sangat jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, yang menjadikan negara sebagai penjamin dan pelayan rakyat seperti dalam sabda Rasulullah SAW, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR. al-Bukhari). Maka orientasi dalam mengurus kebutuhan rakyat, termasuk penyediaan pelayanan kesehatan yakni vaksin.

Islam pun sangat melindungi kekayaan intelektual para ilmuwan atau cendekiawan. Terbukti, banyak penemuan fenomenal dan sumbangan peradaban dipelopori oleh para cendekiawan muslim jauh sebelum ilmuwan barat mengklaim risetnya. Hal ini mampu dilakukan karena negara di bawah kepemimpinan Islam sangat mendukung lembaga penelitian ataupun individu dalam mengembangkan inovasi bagi umat. Negara turut membiayai penelitian agar dapat fokus memproduksi vaksin yang halal, aman, juga tervalidasi keakuratannya. Begitulah Islam dengan perhatiannya pada keilmuan, dan tentu kesejahteraan rakyat, dan semesta.

Wallahua’lam bishawab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *