Pelarangan Minol dalam Sistem Demokrasi, Just an Illusion

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Rumaisha 1453

(Aktivis BMI Community Kota Kupang)

 

Pelarangan minol (minuman beralkohol) akhir-akhir ini makin masif disuarakan. Tetapi, sudah menjadi jalan alam, sebuah kebaikan selalu bersebrangan dengan keburukan. Ya, selain masif menyuarakan pelarangan minor, ada juga yang gencar menyuarakan bahwa pelarangan itu tak selaras dengan demokrasi.

DPR kembali menggulirkan RUU tentang larangan minuman beralkohol. RUU ini mengatur tentang sanksi pidana bagi mereka yang mengonsumsi minuman keras. Hal ini dilakukan dengan alasan untuk menciptakan ketertiban dan menaati ajaran agama. Kata salah satu anggota Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan salah satu pengusung RUU ini. Di sisi lain, penolakan juga terjadi dengan alasan akan membunuh pariwisata, karena cukai alkohol ini mencapai Rp 7,3 triliun pada 2019 lalu. (https://www.bbc.com, 13/11/2020)

Penolakan ini juga berasal dari kalangan kelompok Fraksi Golkar dan PDIP. Firman sebagai ketua kelompok Fraksi Golkar di Baleg mengingatkan ada persoalan keberagaman yang harus diperhatikan. Dia mengatakan minuman beralkohol pun digunakan di daerah atau agama tertentu untuk kepentingan ritual. Senada dengan Firman ketua PDIP di Baleg DPR, Sturman Panjaitan meminta mengusul jeli dalam memperhatikan keberagaman di Indonesia. (https://nasional.tempo.co, 13/11/2020)

Inilah fakta yang terjadi pada negara yang menerapkan sistem demokrasi. RUU Minol yang sedang dirancang pun sudah menuai pro dan kontra. Pihak yang kontra berpendapat bahwa pelarangan minol tidak memperhatikan keberagaman, karena minol digunakan dalam ritual dan agama tertentu. Selain itu pengesahan RUU ini dipandang sebagai hal yang tidak penting dan tidak dewasa serta akan membuat perekonomian terutama dari bidang pariwisata terganggu.

Tak bisa dipungkiri, sistem demokrasi telah mengakomodir keberadaan minol. Karena sistem ini menjunjung tinggi yang namanya kebebasan. Dalam hal ini karena banyak sekali manfaat yang bisa diperoleh dari mirol seperti peningkatan perekonomian negara karena dinilai mengalami peningkatan cukai alkohol. Manfaat dijadikan prioritas, tidak dengan kesejahteraan dan keselamatan dari masyarakatnya.

Banyak kasus kejahatan dan kerusakan yang terjadi di negeri ini tersebabkan minuman keras. Kasus itu antara lain pembunuhan, perampokan, kecelakaan dan kejahatan lainnya. Berdasarkan catatan Polri sepanjang tiga tahun terakhir, terjadi 223 tindak pidana yang disebabkan oleh miras. Begitulah fakta kerusakan yang ditimbulkan oleh miras. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang artinya: “Khamr adalah induk dari kekejian dan dosa yang paling besar. Siapa saja yang meminum khamr, ia bisa berzina dengan ibunya, saudari ibunya dan saudari ayahnya (HR ath-Thabrani)

Peringatan keras Rasulullah Saw ini berdasarkan fakta yang telah terjadi saat ini. Selain memberikan dampak yang buruk terhadap orang lain, mengonsumsi miras pun bisa berakibat fatal untuk pengonsumsinya. Mengonsumsi miras akan merusak akal, dalam jangka yang panjang pun dapat merusak tubuh peminumnya. Seperti merusak jantung dan akal. Alkohol juga mengancam kesehatan mental seperti depresi.

Sekularisme yang sangat tumbuh subur di negara yang menganut sistem demokrasi. Banyak kalangan pemerintah sendiri yang menolak dengan alasan penduduk ini beragam bukan Muslim saja. Padahal tempat di seluruh dunia ini adalah milik Allah SWT. Dimana pun itu hukum Allah SWT tetap ditegakan atas seluruh umat manusia, tanpa terkecuali. Padahal RUU ini pun bila dijalankan dampak baiknya bukan hanya untuk umat muslim saja.

Demokrasi tentu akan melihat untung ruginya jika memutuskan berbagai kebijakan. Kerugian yang didapat pun akan banyak sekali. Oleh karena itu tidak lagi memikirkan halal dan haram menurut hukum syara’. Jika kita umat Islam juga menaruh harapan besar agar syariat dan hukum Allah SWT diterapkan dalam sistem ini, pun kemudian hanya ilusi semata. Masihkah kita berharap agar hukum Allah SWT yang lain dapat tegak dalam sistem demokrasi?

Islam sangat tegas dalam mengambil kebijakan pelarangan mirol. Karena dalam Islam khamr adalah haram. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang keharaman khamr. Khamr haram dikonsumsi meskipun sedikit jumlahnya. Sebagaimana sabda Nabi Saw yang artinya: “Setiap yang memabukan adalah haram. Apa saja yang banyaknya membuat mabuk, maka sedikitnya adalah haram (HR Ahmad). Syariat Islam juga mengharamkan aktivitas yang berkaitan dengan khamar. Seperti pemerasnya, pendistribusinya, apalagi pengonsumsinya.

Demikian kemuliaan syariat Islam dalam memberikan perlindungan terhadap akal. Miras jelas menyebabkan kekacauan pada akal manusia. Miras mendorong berbagai tindak kejahatan dan melalaikan manusia dalam mengingat Allah SWT. Oleh karena itu, salah satu peran penting dari negara Islam yang menerapkan syariat Islam adalah melindungi akal manusia. Dan seluruh aturannya Allah bisa terlaksana dengan adanya institusi negara Islam.

WalLahu a’lam bi ash-shawab

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *