Oleh : Teti Ummu Alif (Pemerhati Sosial dari Kendari)
Radikalisme rupanya menjadi isu empuk nan gurih untuk diframing habis-habisan hingga kini. Belum lama ini publik dihebohkan oleh pernyataaan wakil presiden Ma’ruf Amin yang menyebut institusi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) mulai terpapar radikalisme. “Kita ingin libatkan secara keseluruhan, terorganisasi, tersinergi, komprehensif, sehingga perkembangan radikalisme (dapat dicegah) dari hulu sampai ke hilir. Mulai pendidikan, bukan hanya SD, dari PAUD juga mulai ada gejala, dari TK tokoh-tokoh radikal itu sudah dikenalkan,” ujar Ma’ruf di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Jumat (15/11).
Sontak saja hal ini menuai beragam reaksi dari berbagai elemen masyarakat. Salah satunya datang dari ketua umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir. Beliau menanggapi pernyataan tersebut “Definisikan ulang apa yang kita sebut terpapar radikalisme juga sasaran objeknya,” ujar Haedar kepada wartawan di Gedung PP Muhammadiyah, beberapa waktu lalu (4/12) seperti dikutip dari rmol.id.
Menurut Haedar, apabila pemerintah mendapati indikasi radikalisme dalam institusi seperti PAUD dan bahkan institusi manapun, maka tidak mesti dipukul rata. Sebab wilayah satu dengan yang lainnya berbeda dan tidak bisa digeneralisasi.
Ungkapan Ma’ruf Amin tersebut begitu amat disayangkan, ditengah masih rancunya definisi radikalisme seharusnya Ma’ruf mampu memberikan pencerahan. Bukannya malah melabeli PAUD dengan apaparan radikalisme tanpa sebuah data penelitian yang valid dan hanya berdasarkan asumsi hasil dari kunjungan. PAUD mana yang terpapar radikalisme? Apakah PAUD yang mengajarkan bernyayi bertepuk tangan “Tepuk Anak Sholeh” itu yang radikal?
Anggota Komisi I DPR Fadli Zon tidak percaya bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sudah terpapar radikalisme. Wakil ketua umum Partai Gerindra itu mengatakan terlalu berlebihan menyebut PAUD sudah terpapar radikalisme.
“Saya itu termasuk yang tidak terlalu percaya bahwa banyak institusi-institusi apalagi PAUD itu terpapar radikalisme. Saya kira itu agak berlebihan,” kata Fadli di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (2/12).
“PAUD inikan untuk anak-anak ya, masa radikalisme. Macam apa ini ya, saya tidak melihat itu,” tambah Fadli.
Beliau menilai dagangan isu radikalisme harus dihentikan karena ini akan merugikan pemerintah sendiri.
Dia menilai isu ini semacam pelarian dari kegagalan pemerintah menunaikan janji-janjinya, seperti ekonomi, kesejahteraan dan lainnya.“Akhirnya jualannya dagangan itu soal radikalisme, terorisme. Itu jualan kuno dan barang basi yang sebenarnya merugikan kita sendiri,” katanya.
Tak pelak pernyataan tersebut kini bak bola panas yang bergulir jika tidak segera diperjelas dan dituntaskan. Kalau yang dimaksud disini adalah PAUD yang berbasis pendidikan Islam. Bukankah mereka hanya mengajarkan tentang mengenal Allah, Asmaul Husna, memperkenalkan 25 Nabi dan Rasul, membaca dan menulis Alquran, menghafal doa-doa dan surat-pendek. Cuma berkisar itu saja .
Lalu mana pelajaran anak PAUD yang dituding terpapar radikalisme? Apakah bermain balok kayu, menyusun lego, menyanyi, menghafal warna dan sebagainya itu disebut radikal?
Bukankah konsep pendidikan dalam Islam adalah menanamkan akidah yang kuat pada anak sejak usia dini?. Dengan memiliki akidah yang kokoh, diharapkan anak-anak yang merupakan cikal bakal tumbuhnya generasi muda, dapat menjadi generasi yang beriman dan berakhlakul karimah. Senantiasa melandaskan setiap perbuatannya atas dasar iman dan takwa. Sehingga akan terwujud generasi calon pemimpin peradaban yang amanah, jujur, bertanggung jawab dan adil.
Jadi sekali lagi, pemerintah harus memperjelas batasan dan pengertian Radikalisme itu sendiri. Jangan asal menuduh tanpa dasar yang kuat sehingga muncul anekdot bahwa dizaman Fir’aun takut sama anak bayi. Dizaman sekarang takut sama anak PAUD.
Wallahu A’lam bis Asshowwab.