Pasar Oligopoli Absen Riayah Negara

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sri Suarni

 

Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), menyebut struktur industri minyak goreng sejak lama ditengarai sebagai pasar oligopoli, di mana pembentukan harga pasar rawan dimanipulasi produsen. kumparanbisnis.com(13/3)

Persoalan minyak goreng membuat susasana panas. Akibat mahalnya harga minyak goreng dipasaran, pemerintah mengambil kebijakan untuk menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan Harga Eceran Tertinggi (HET) minyak goreng curah Rp11.500, kemasan sederhana Rp13.500 dan kemasan premium Rp14.000. Namun minyak goreng semakin mengalami kelangkaan. Terjadilah fenomena masyarakat rela mengantri berjam-jam untuk mendapatkan minyak goreng bahkan hingga menimbulkan korban jiwa.

Kelangkaan minyak goreng tersebut sempat ditanggapi Kementerian Perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi yang mencurigai masyarakat panic buying dan menimbun minyak goreng. Disusul pernyataan beliau bahwa ternyata telah terjadi kebocoran penjualan minyak goreng diekspor ke luar negeri, yang sebagian disalurkan ke industri.

Pasar Oligopoli memberi ruang bagi praktik kartel dan produsen minyak goreng yang kompak menimbun minyak goreng. Sambil menunggu keresahan di tengah kebutuhan masyarakat agar bisa mempermainkan situasi kejiwaan (psikologi) masyarakat. Dimana hal ini dapat menciptakan permintaan pasar dan mengatur harga. Sehingga dalam kondisi mendesak akibat pasca HET dicabut penawaran harga bisa dinaikkan.

Para pedagang kerap disalahkan terhadap kelangkaan komoditas pangan bahkan dituduh melakukan penimbunan. Padahal itu terjadi akibat adanya sinyal kesepakatan harga para kartel minyak goreng dengan dalih menyesuaikan harga di pasar global. Dan tetap mengutamakan pasar ekspor karena dapat meningkatkan keuntungan. Tentu hanya segelintir orang yang diuntungkan.

Miris, kelangkaan minyak goreng terjadi di negeri penghasil sawit terbesar di dunia. Padahal, setiap tahun lahan sawit bertambah luas dan hasil panen juga tidak mengalami kendala. Lahan sawit dari hulu hingga ke hilir hanya dikuasai segelintir pengusaha.

Dalam kondisi kelangkaan minyak goreng dan kenaikan harga sejumlah komoditas yang menyulitkan masyarakat, terutama para pedagang gorengan. Namun tidak ada sikap dari wakil rakyat dan justru terkesan sibuk berpolitik dan bagi-bagi kuasa.

Sebagaimana kebiasaan demokrasi. Penguasa peduli dan turun ke jalan hanya dalam rangka meraih simpati masyarakat terutama guna mendulang suara. Namun, saat ada permasalahan seperti minyak goreng langka para wakil rakyat hanya duduk dan menyuruh pemerintah mengawasi. Sungguh ironi, karena tidak sesuai dengan konsep yang mereka janjikan saat pemilu.

Anehnya, ada partai politik yang mengambil kesempatan menggunakan momen kelangkaan minyak goreng dengan mengambil peran karena kedekatannya dengan pemerintah sehingga mudah mendapatkan akses. Memanfaatkan suasana dengan motif terselubung, membagikan sepuluh ton minyak goreng kepada warga.

Aksi yang mereka maksudkan untuk meningkatkan elektabilitas bahwa mereka peduli. Namun sebaliknya hal ini menimbulkan kecurigaan masyarakat dan tentu saja menimbulkan pertanyaan. Bagaimana mereka bisa dengan mudahnya mendapatkan minyak goreng sebanyak itu, sementara masyarakat kesulitan?

Begitulah watak rezim neolib dan politisi sekuler dalam sistem demokrasi kapitalime yang merebak di negeri dalam kendali korporasi atau korporatokrasi. Sebab kebijakan negara mudah untuk diubah, bahkan dilanggar oleh para pemilik modal. Asas kapitalisme yang berorientasi pada materi. Dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya dengan modal sekecil-kecilnya.

Di dalam kapitalisme terdapat invisible hand, yang akan menciptakan keseimbangan antara harga, penawaran dan permintaan. Namun apakah keseimbangan tersebut murni sebagai harga pasar ataukah sudah mengalami distorsi karena strategi milik sebagian pengusaha atau para pemodal kapitalis?

Maka tidak heran banyak penimbunan minyak terjadi, sebab dalam sistem ekonomi kapitalisme distribusi kebutuhan pokok dikendalikan atau dipegang oleh korporasi. Negara hanya tampil sebagai regulator tidak lagi menjalankan fungsinya sebagai fasilitator atau periayah yang menjamin tepenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya.

Kelangkaan minyak goreng hanya salah satu persoalan kebutuhan pangan yang dipastikan akan terus berulang, saat para kapitalis bisa menguasai pasar dan tidak tersentuh hukum. Sehingga berbuat semaunya. Tentu saja yang dirugikan adalah rakyat. Karena tidak adanya perlindungan. Fakta ini menunjukkan bahwa sejatinya minyak goreng menjadi hal yang langka disebabkan kelalaian pemerintah akan tugasnya dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

Seberapa besar lagi harapan kita pada sistem ini, dimana penguasanya terkesan selalu merasa segan dan berhutang budi pada pengusaha ketimbang mengurusi kebutuhan rakyatnya.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang melahirkan banyak kesulitan dan ketimpangan. Islam justru sebaliknya. Sebagai dien yang sempurna dengan menerapkan Islam kafah. Seorang Khalifah akan diangkat dan diserahi tanggung jawab terhadap pengurusan rakyatnya. Menjalankan segala ketundukan hanya kepada Allah Swt..

Menyelesaikan seluruh problematika umat berdasarkan Al-Quran dan As-Sunah. Tak terkecuali dalam bidang ekonomi, Islam memiliki pengaturan dalam menyusun kebijakan dan perencanaan ekonomi dengan memetakan kebutuhan pangan warganya.

Bahwa dalam sistem Islam menimbun minyak goreng, baik dilakukan oleh perusahaan atau pedagang akan mendapatkan sanksi tegas. Dipimpin seorang Khalifah yang akan melakukan pengawasan ketat dan kontrol stabilitas harga terhadap mekanisme pasar secara komprehensif. Jika terjadi pelanggaran praktek penimbunan atau kecurangan pelakunya akan dikenai sanksi ta’zir oleh negara.

Khalifah akan menjaga mekanisme pasar dengan mendorong perdagangan berjalan sesuai syariat dan mencegah terjadinya liberalisasi perdagangan. Islam melarang peredaran barang haram, aktivitas penimbunan, monopoli, penipuan, curang, dan spekulasi. Pengawasan dilakukan agar permintaan dan penawaran berjalan berdasarkan kerelaan.

Negara dalam Islam tidak akan membiarkan korporasi mempermainkan harga. Islam melarang negara menggunakan otoritasnya untuk ikut di dalam mematok harga barang. Namun mengatur kebijakan dan tetap memastikan distribusi terjaga. Sehingga penawaran dan permintaan stabil. Maka tidak akan terjadi kelangkaan dan penimbunan.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw.,

“Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukkannya dengan tempat duduk dari api pada hari kiamat kelak.” (HR Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi).

Banyak fakta sejarah yang membuktikan bahwa Islam mampu menyelesaikan urusan pangan. Pemerintahan dalam Islam bertanggung jawab, menjamin dan melindungi di garda terdepan untuk menghadapi dhoror jangan sampai terkena kepada rakyatnya. Negara dalam Islam tidak akan membiarkan korporasi mempermainkan harga.

Khalifah akan menjaga rantai tata niaga dan proses produksi dan distribusi guna menghilangkan gangguan di pasar. Operasi pasar berbasis orientasi pelayanan untuk pedagang guna melihat kecukupan stok pangan dan pembelian dengan harga murah.

Demikianlah perlindungan negara dalam sistem Islam.. Menghadirkan individu-individu bertakwa. Pemimpin yang meriayah umatnya sebab memiliki rasa takut hanya pada Allah Swt.. Menyadari setiap kebijakan yang diambil akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapan-Nya.

Wallahu a’lam bishowab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *