Oleh: Ummu Alkhalifi (Anggota Komunitas Setajam Pena)
Kasus infeksi virus corona (Covid-19) hingga kini terus saja mengalami peningkatan. Tentu saja ini berdampak besar bagi perekonomian dunia. Apalagi isu atas resesi sudah siap mengancam didepan mata. Negara Singapura contohnya, akibat pandemi kini telah terperosok pada curamnya jurang kehancuran.
Jika infeksi covid-19 terus saja merambah luas, ekonomi Indonesia bisa juga diambang resesi. Disebutkan dalam peluncuran laporan Bank Dunia bahwa untuk ekonomi Indonesia edisi Juli 2020, tidak akan ada jaminan untuk ekonomi Indonesia terbebas dari resesi. Bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali mengingatkan untuk para menterinya soal ancaman resesi tersebut.
Resesi adalah dimana kondisi ketika produk domestik bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama dua kuartal atau lebih dalam 1 tahun. Sebagaimana yang pernah dijelaskan Kementerian Keuangan Sri Mulyani Indrawati. “Technically kalau dua kuartal berturut-turut negatif memang resesi. Kan itu definisi resesimemang bahwa pertumbuhan ekonomi dua kuartal berturut-turut negatif itu berarti ekonomi mengalami resesi.” (16/7/20)
Begitupun yang dismpaikan Direktur Ekonomi Indef Tauhid Amad menjelaskan bahwa resesi dapat dilihat masyarakat dari beberapa tanda antara lain, pendapatan yang menurun, kemiskinan bertambah, penjualan kebutuhan motor dan mobil anjlok, dan sebagainya. “Misalnya mulai triwulan III-2020,kalau pasar kebutuhan pokok saya kia tidak ada perubahan, tapi kalau mal – mal masih sepi saja itu menunjukan resesi,jadi masyarakat mulai banyak yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.” Kata Tauhid (detik.com, 18/7/2020).
Jika resesi ekonomi sudah di depan mata, dorongan kepada masyarakat untuk mengantisipasi dengan gaya hidup hemat dan menyiapkan alternatif pekerjaan saja tidaklah cukup. Yang dibutuhkan masyarakat adalah solusi yang mampu menuntaskan atas resesi akibat dari berlakunya sistem ekonomi yang serba kapitalisme ini. Justru yang ada hanyalah rakyat semakin terbebani dan jauh dari kesejahteraan. Kebijakan pemerintah pemerintah belum menunjukkan perubahan pada kebaikan rakyatnya. Bahkan, sebaliknya masalah baru dan semakin bobroknya rezim dengan kebijakan tak manusiawi.
Ini adalah fakta bahwa apa yang ditemukan di negara ini dengan sistem yang hanya mengandalkan akal dan peraturan manusia semata. Berbeda jauh dengan fakta sejarah dengan diterapkannya syariat Islam melalui kokohnya sistem khilafah. Bukan saja hanya mensejahterakan namun kemakmuran pun rakyat rasakan. Pada zaman kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz kekayaan negara khilafah sampai pada titik berlebih, sehingga umat tidak ada yang merasa butuh untuk menerima bantuan ataupun zakat.
Begitu juga dulu bagaimana sikap tanggap Khalifah Umar bin Khathab dalam mengatasi wabah tha’un, dengan segera beliau bergegas menyandarkan masalah ini kepada suatu hadist yang isinya berisi perintah untuk karantina wilayah atau lockdown, apabila telah diketahui bahwa wilayah tersebut terdapat wabah yang menyerang.
Bukankah sudah saatnya kita mendambakan kondisi negara yang kuat, negara yang adil, negara yang mengayomi rakyatnya? Yaitu negara dengan naungan Khilafah yang menerapkan segala peraturan dari Allah yang menciptakan segala kehidupan. Dengan kepemimpinan yang peduli dan tanggap terhadap segala urusan rakyatnya. Tentu dengan kebijakan yang membawa kesejahteraan dan kebahagiaan yang dapat dirasakan semua rakyat, tidak hanya segelintir orang saja yang beekuasa.
Wallahu a’lam bish-shawwab.