Pandemi Tak Kunjung Berakhir, Eksistensi Demokrasi di Titik Nadir

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Oleh: Sri Indrianti (Pemerhati Sosial dan Generasi)

 

Hampir dua tahun sudah pandemi mengepung negeri ini. Namun angka kasus harian Covid 19 belum menunjukkan penurunan secara stabil. Dari grafik harian kasus masih terlihat turun naik.

Kondisi pandemi yang belum juga berakhir ini, membuat publik mempertanyakan penanganan pemerintah menangani pandemi. Sudahkah pemerintah serius dan mengerahkan segenap daya upaya dalam menangani pandemi? Sebab yang terlihat oleh publik pemerintah cenderung tarik ulur dalam menetapkan kebijakan. Bahkan tak jarang pula kebijakan yang ditetapkan saling berlawanan dan tumpang tindih. Masyarakat sebagai objek akhirnya hanya mampu semaksimal mungkin menjalani protokol kesehatan di samping harus tetap bekerja demi tercukupinya kebutuhan hidup.

Kebijakan pemerintah selama pandemi ini hanya berganti istilah tanpa diiringi dengan tindakan tepat penanganan pandemi. Bahkan nampak penanganan yang dilakukan pemerintah masih setengah hati. Bantuan sosial yang kerap digadang-gadang sebagai bantuan tepat selama pandemi nyatanya salah sasaran. Masyarakat pun seakan teriris sembilu kala dengan tega menteri sosial yang semestinya bertanggung jawab penuh terhadap bantuan pandemi malah mengambil keuntungan besar paket bantuan sosial.

Tentu bukanlah sesuatu yang mengherankan jika publik tidak percaya lagi dengan pemerintah. Sudah terlalu sering masyarakat tercekik dan serasa dipermainkan dengan kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Terbukti pemerintah hanya memikirkan keuntungan segelintir pihak dan mengabaikan kepentingan rakyat. Jika hal ini terus dibiarkan maka eksistensi demokrasi di negeri ini tengah berada pada titik nadir.

Demokrasi Mengabaikan Rakyat

Asas demokrasi dari, oleh, dan untuk rakyat sepertinya hanya slogan pemanis. Sebab oligarkilah yang berkuasa di atas segalanya. Rakyat tidaklah menjadi prioritas utama dalam setiap penetapan kebijakan. Sebaliknya, rakyat yang kerap dijadikan tumbal atas kebijakan yang ditetapkan. Jeritan rakyat dengan segala penderitaannya bagaikan nyanyian yang melenakan penguasa dan para oligarki.

Rakyat benar-benar dibuat kecewa dengan penguasa. Padahal penguasa tersebut adalah pilihan rakyat sendiri. Nyatanya segala program kebaikan yang diobral pada masa kampanye hanyalah janji manis belaka. Seperti pepatah habis manis sepahnya dibuang. Saat rakyat tidak dibutuhkan lagi dengan mudahnya kepentingan rakyat diabaikan.

Pandemi Covid 19 semestinya menjadikan penguasa berbenah diri ternyata tidak dilakukan. Pendapat dari para ahli pun juga tercantum di dalam Undang-undang Kesehatan bahwa saat terjadi pandemi maka dilakukan karantina wilayah juga diabaikan. Sebab jika dilakukan karantina wilayah maka pemerintah harus memenuhi kebutuhan pokok semua masyarakat tanpa terkecuali. Langkah tersebut tidak diambil karena dinilai merugikan dan tidak ada dana yang memadai.

Konsekuensi yang akan terjadi jika tidak melakukan karantina wilayah adalah semakin meluasnya pandemi. Padahal jika berdalih tidak ada dana, nyatanya pemerintah tetap berutang untuk pembangunan infrastruktur, kereta cepat, bahkan pengadaan laptop. Tak sepantasnya dalam menangani pandemi masih menghitung untung rugi. Dalih perekonomian akan lesu bahkan mati selama pandemi jika wilayah dikarantina, juga tidak tepat. PPKM berjilid-jilid pun ternyata tidak efektif menurunkan kasus secara signifikan. Itu pun masih ditambah dengan persoalan ekonomi masyarakat yang sekarat karena masyarakat masih tetap berjuang banting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya walaupun dengan konsekuensi resiko terpapar virus Covid 19.

Butuh Perubahan

Demokrasi yang senantiasa mengutamakan kepentingan para oligarki ini tak layak untuk dipertahankan lagi. Terbukti saat negara mengalami problematika besar yang menyangkut nyawa orang banyak yakni pandemi Covid 19, penguasa tak bisa berkutik sama sekali. Demokrasi telah gagal secara efektif menangani gelombang pandemi Covid 19. Demokrasi berada di ujung tanduk. Tak ada lagi yang bisa diharapkan dari Demokrasi.

Jika hal ini terus dibiarkan, rasanya pesimis pandemi segera berakhir walaupun sudah berjilid-jilid ganti istilah kebijakan. Masyarakat membutuhkan perubahan secara menyeluruh. Perubahan yang mampu merombak segala kebobrokan yang ditanam demokrasi. Perubahan yang mampu merombak pemikiran masyarakat pada tataran pemikiran cemerlang. Perubahan yang menempatkan penguasa sebagai pelayan umat. Perubahan hakiki yang mampu melaksanakan semua itu adalah Islam. Sebab Islam dengan sempurna mampu mengatasi semua problematika yang terjadi.

Saat terjadi pandemi, Islam memiliki langkah-langkah efektif agar pandemi segera berakhir. Karantina wilayah segera dilakukan, tes untuk mendeteksi yang sakit, memisahkan antara yang sakit dan yang sehat, yang sakit segera dirawat di rumah sakit dengan fasilitas kesehatan yang memadai. Kemudian tracing terhadap masyarakat diperluas secara gratis. Tak lupa selama karantina wilayah maka kebutuhan pokok masing-masing individu dipenuhi oleh negara.

Khalifah dengan kekuasaannya berupaya maksimal mengatasi pandemi agar lekas berakhir. Khalifah khawatir jika timbul banyak korban berjatuhan. Sebab satu nyawa yang meninggal karena kelalaian penguasa kelak akan meminta pertanggungjawaban di akhirat. Tentu kondisi seperti ini yang menjadi idaman setiap umat bukan?

Wallahu a’lam bish showab.

Facebook
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Pocket
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *