Oleh : Lia Apriliawati (Ibu Rumah Tangga dan Pendidik Generasi)
Tanpa terasa sudah hampir kurang lebih 6 bulan pandemi akibat virus COVID-19 ini melanda berbagai negara di belahan dunia termasuk Indonesia. Imbas dari pandemi ini melanda berbagai sektor kehidupan baik ekonomi, politik, sosial budaya bahkan pendidikan dan kesehatan. Di sektor ekonomi pandemi ini berimbas pada kesejahteraan masyarakat. Dilansir dari detik.finance.com sabtu (18/07/2020)
Jakarta ”Perekonomian dunia berada diambang ketidakpastian sebagai imbas dari pandemi Virus Corona (COVID-19) begitu juga dengan perekonomian Indonesia yang semula diperdiksi menguat pada kuartal I dan II-2020 kenyataannya mengalami kontraksi yang mengakibatkan adanya isu resesi seperti yang melanda negara tetangga Singapura. Fakta resesi Singapura ditandai dengan 2 kuartal berturut-turut ekonominya mengalami minus.
Namun apakah resesi itu sendiri? secara arti kata resesi adalah kemerosotan. Resesi dalam ekonomi adalah kondisi dimana ketika Produk Domestik Bruto (PDB) atau pertumbuhan ekonomi suatu negara negatif selama 2 kuartal atau lebih dalam satu tahun. Berdasarkan laporan Bank Dunia yang menyebutkan bahwa Indonesia pada edisi Juli 2020, ekonomi Indonesia mengalami resesi sebagai dampak dan infeksi COVID-19 yang semakin banyak.
Hal tersebut pernah dijelaskan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati ”Technically kalau-kalau kuartal berturut-turut negatif memang resesi, kan itu definisi resesi memang bahwa pertumbuhan ekonomi 2 kuartal berturut-turut negatif itu berarti ekonomi mengalami resesi.” kata dia dalam Konferensi Pers Virtual APBN KiTa pada 16 Juni 2020 lalu.
Hal senada diungkapkan Direksi Eksekutif Indef Tauhid Ahmad resesi dapat dilihat masyarakat dari beberapa tanda antara lain pendapatan yang menurun, kemiskinan bertambah, penjualan khususnya motor dan mobil anjlok dan sebagainya.
“Misalnya mulai triwulan III-2020I kalau pasar kebutuhan pokok saya kira tidak ada perubahan. Tapi kalau mal-mal masih sepi ya itu menunjukan resesi. Jadi masyarakat terlihat jelas mulai banyak yg kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya.” kata Tauhid kepada detik.com, sabtu (18/07/2020).
Bagi perbankan bukti resesi terlihat dengan meningkatnya angka kredit macet alias Non Performing Loan (NPL) sementara pada pemerintahan bukti resesi dilihat dengan meningkatnya angka utang luar negeri. Hal ini ditunjukan oleh jumlah utang yang semakin banyak, jumlah utang mendadak banyak tambahannya, tahu-tahu besar sekali.” papar Tauhid.
Gambaran di atas berbanding lurus dengan kenyataan di masyarakat. Akibat pandemi yang semakin merajalela ekonomi masyarakat mulai sulit, lapangan pekerjaan berkurang, PHK dimana-mana, bahkan yang masih mempunyai pekerjaan pun dibayar dengan upah yang tidak maksimal.
Sekedar untuk memenuhi kebutuhan pangan saja masyarakat harus berjibaku terlebih dahulu hanya untuk memperoleh sesuap nasi. Sungguh miris apabila sistem kapitalis yang dianut, dimana pemerintah terkesan abai terhadap kesejahteraan masyarakat, dengan berbagai kebijakan yang membingungkan dan terkesan hanya berpihak pada pihak tertentu saja.
Direktur Riset Center of Reformon Economic (CORE) Ind. Piter Abdulah mengatakan pada detik.finance, Minggu (19/07/2020) menurutnya disaat seperti ini masyarakat jangan boros dan harus mempersiapkan kondisi terburuk untuk mencukupi keuangan.
“Tetapi harus berjaga-jaga mempersiapkan kondisi terburuk yaitu apabila resesi ini berkepanjangan ini perlu stamina yg kuat termasuk juga tabungan yang cukup jangan boros.” ucapnya.
Namun ketika kita menilik pada arah tersebit di atas tidak semua masyarakat siap untuk menghadapi pandemi dan resesi seperti ini atau bahkan untuk bersifat boros saja masyarakat harus berpikir berulang kali dikarenakan simpanan tabungan mereka saja tidak ada
Jika kita menilik kebelakang, apakah pada masa Daulah Islam tegak tidak terjadi resesi ekonomi seperti saat ini?. Ternyata pada masa Daulah Islam tegak pun pernah terjadi masalah ekonomi yaitu pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab. Saat itu terjadi pada 18 H di Jazirah Arab dilanda kemarau dan kelaparan yang sangat hebat bahkan sampai menyebabkan kelaparan massal. Tidak hanya manusia bahkan binatang buas dan hewan ternak pun mati. Orang-orang yang sakit jumlahnya mencapai ribuan, roda perekonomian terseok-seok bahkan sampai level yang membahayakan, hingga tahun tersebut dijuluki dengan tahun kelabu, dimana angin menghembuskam debu seperti abu.
Dalam buku “The Great Leader of Umar bin Khattab” sebagai khalifah dengan sigap, tànggap dan cepat Umar bin Khattab mengambil langkah-langkah yang ditujukan untuk menangani resesi ekonomi tersebut, diantaranya sebagai khalifah (pemimpin) beliau tidak bergaya hidup mewah, makanan beliau seala kadarnya sama dengan rakyat yang paling miskin atau bahkan lebih rendah lagi, beliau memerintahkan untuk membuat posko-posko bantuan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya termasuk bagi orang yang sakit, rakyat yang datang karena membutuhkan makanan segera dipenuhi, menghentikan sementara hukuman bagi pencuri, beliau pun meminta bantuan ke wilayah (daerah) kekhilafahan yang kaya dan mampu memberi bantuan, bahkan beliau sendiri yang memimpin umat untuk bertaubatan nasuha, mendekatkan diri kepada Allah dan meminta pertolongan Allah sebagai sang pemilik alam.
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna dalam menuntaskan setiap problematika kehidupan yang ada. Sudah saatnya segala sesuatu kita kembalikan kepada syariat. Sejatinya resesi ekonomi adalah sunatullah, dimana untuk menyelesaikannya dibutuhkan seorang pemimpin (khalifah). Khalifah disini tidak hanya bertugas untuk mengurusi rakyat (raa’in) namun juga sebagai pelindung atau perisai (junnah) bagi rakyatnya di kala kesusahan. Sudah selayaknya pemerintah saat ini meneladani bagaimana Khalifah terdahulu dalam menangani krisis. Tatkala syariat ditegakan secara kaffah dalam naungan sebuah Daulah Islam maka kehidupan akan tercipta dengan aman, damai dan sejahtera bahkan untuk non muslim sekalipun.
Wallaahu’alam bishshowwab